Opini Hukum
Kembalilah Berprilaku Otentik
Barangkali anak-anak muda
sekarang sudah jengkel mengamati perilaku elite kita yang merujuk aturan undang-undang,
supremasi hukum, dan sebagainya, tetapi yang dipikirkan hanya diri dan
golongannya saja. Seperti halnya ide-ide Thomas
Alva Edison yang hanya bagus di atas kertas sampai munculnya lampu dan listrik yang merevolusi kehidupan
manusia. Demikian pula dengan supremasi hukum, konstitusi dan lain-lain yang
menunggu munculnya “manusia-manusia yang
tidak kerdil” demi menghasilkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa.
Reformasi telah merombak suasana lama menjadi baru. Sisi negatif demokratisasi, kebebasan berbicara dan berpendapat telah melahirkan retorika di kalangan para elite dan melebar ke rakyat luas. Bangsa ini menjadi bangsa yang ahli beretorika. Berbagai masalah, dari krisis ekonomi, social-politik dan lain-lain dihadapi dengan dan diselesaikan melalui omongan-omongan, statement, dan sebagainya. Masalah-masalah semakin banyak diomongkan daripada dipecahkan secara otentik.
Reformasi telah merombak suasana lama menjadi baru. Sisi negatif demokratisasi, kebebasan berbicara dan berpendapat telah melahirkan retorika di kalangan para elite dan melebar ke rakyat luas. Bangsa ini menjadi bangsa yang ahli beretorika. Berbagai masalah, dari krisis ekonomi, social-politik dan lain-lain dihadapi dengan dan diselesaikan melalui omongan-omongan, statement, dan sebagainya. Masalah-masalah semakin banyak diomongkan daripada dipecahkan secara otentik.
Perilaku retorik itu bisa merusak
bekerjanya institusi sesuai tujuannya yang baku. Kredo supremasi hukum
dijalankan melenceng jauh dari tujuannya yang otentik. Itu terjadi karena kredo
supremasi hukum menjadi barang omongan belaka. Hukum, proses hukum penegakan
hukum, hanya dipakai sebagai kosmetik untuk mengesankan bahwa kita serius
dengan penegakan hukum.
Kita harus terus waspada dan
menyadari bahwa hukum tidak otomatis menghasilkan keadilan, tetapi sebaliknya.
Para pelaku yang berperkara pintar sekali melakukan manuver-manuver yang
menyebabkan lolos dari ancaman hukum. Yang lebih menyakitkan manuver itu
dijalankan atas nama hukum, supremasi hukum dan seterusnya. Padahal, disini
hukum telah digunakan menyimpang dari otensitasnya.
Sangat lazim pengadilan sebagai
tempat rakyat mencari keadilan diiringi dengan anasir-anasir non hukum. Dalam
pencapaian keadilan yang materiil dan substansial saangatlah wajar, tinggal penempatan
tujuan hukum, ke istiqomah-an diri
Aparat Penegak Hukum (APH) dan mekanisme yang akuntabel untuk menghadirkan sinar
keadilan.
Bingung dan Jenuh
Persoalan kini hadir bukan hanya dari
banyak informasi media yang harus dibaca dan ditelaah bukan pula pemastian
kebenaran asal dan isi berita namun lebih dari itu seakan-akan yang namanya kebenaran
dan keadilan di depan hukum dan di media menjadi antitesis.
Miris, sekarang ini APH seakan tidak memahami adanya ancaman globalisasi,
persepsi sosial-budaya, politik, ekonomi, pendidikan, IPTEK dan supremasi hukum
sebagai aspek pengubah hukum. Jika tidak peka dan bertindak luar biasa
perubahan pasti terjadi dan berubah diluar yang diharapkan.
Lebih dari itu jika ditarik ke belakang,
terkait hubungan dengan adanya perubahan hukum, sudah banyak ahli hukum dalam
teori-teorinya telah menggambarkan perubahan hukum, yaitu seperti:
b.) Eugen
Ehrlich, dalam Sociological Jurisprudence nya,”Hidupnya
bangsa dan negara dapat seimbang antara keinginan pembaruan hukum dengan
kesadaran dengan perhatikan living law
dan just law sebagai inner order”;[2]
c.) Roscoe
Pound, dalam Pragmatic Legal Realism nya,”hukum yang baik adalah hukum yang hidup di
masyarakat”;[3]
d.) Mochtar
Kusumaatadja,
dalam Hukum Pembangunan nya, ”hukum
tidak boleh menghambat modernisasi, hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat
yang bersumber pada teori (law as a tool
of social engineering) dalam jangkauan dan ruang lingkup yang jelas;[4]
e.) Suhardjo
(Mantan Menteri
Kehakiman), dalam Pengayoman nya, “hukum
itu untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif”;[5]
f.) Soleman
B.Toneko dan Soerjono Soekanto, dalam Perubahan Sosial nya, “ perubahan pada
hukum baru akan terjadi apabila keadaan baru yang timbul dan kesadaran akan
perlunya perubahan pada masyarakat itu bertemu pada satu titik singgung”;[6]
g.) Thomas
T.O’Dea, dalam Sosiologi Fungsional nya, “ agama
memberikan dasar-dasar ketentraman hidup dan identitas yang lebih kuat kepada
manusia dalam kehidupannya yang kadang-kadang bersifat goyah dan penuh dengan
perubahan-perubahan yang cepat”.[7]
Pendapat dan teori para ahli diatas
tak ubah hanya miniatur penghias semata tanpa adanya penelaahan sejarah dibalik
munculnya dan peresapan arti teori secara mendalam oleh para elite dan APH
dalam bertugas dan bernegara.
Daniel
S.Lev jauh-jauh telah mengatakan, “Perubahan hukum
terjadi akibat perubahan tingkah laku aparat penegak hukum”, lebih sistematis
Lawrence M.Friedman juga telah
sampaikan adanya Legal structure
(lembaga), Legal Substance (Aturan)
dam Legal Culture (Budaya).
Kenyataannya sekarang ini hukum dirasa
tetap rapuh, rakyat semakin kian pesimis atas institusi dan semakin tingginya
keraguan kemampuan APHnya, “transisional
justice” makin tenggelam, Independensi, integritas dan impersialitas
sebagai harga mati masih saja diragukan. Para pemimpin dan APH seakan bingung
menempatkan diri dalam formal dan non formalnya perilaku dalam ketatanegaraan.
Ini
demokrasi atau bangkitnya “preman”? Kini seakan menghukum itu tidak lagi dirasa
mendamaikan. Dimana jalannya siasat mengubah mobilisasi hukum dari supremasi
hukum?
Kemana Arah Politik Hukum Kita?
Politik dan hukum merupakan
subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi-fungsi
tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara menyeluruh. Hukum
memberi dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat
hukum menjadi lebih efektif. Hukum tidak bisa ditafsirkan sebagai bagian dari system
politik, demikian pula sebaliknya. Dalam realitas hubungan hukum dan politik
tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsip-prinsip yang diatur dalam system konstitusi,
tetapi lebih ditentukan pada komitmen rakyat dan elite politik untuk
bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan
jiwanya.
Satjipto
Rahardjo [8]menyampaikan
bahwa politik hukum itu sendiri adalah “aktivitas untuk menentukan suatu
pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan
hukum dalam masyarakat”. Harus
diketahui, politik hukum tidak dapat hanya menyandarkan diri pada hukum positif
atau hukum yang dikonstruksi menguntungkan para penguasa. Penentuan orang salah
dan benar tergantung murni justifikasi penegak hukum itu sendiri.
Apakah kita masih saja belum
belajar dan mengerti? Semakin hari semakin menjadi jelas, bangsa kita masih
saja lebih “bertindak dengan retorika” belaka. Hukum, proses hukum, yang
sebetulnya siap untuk digunakan sebagai sarana keluar dari krisis, masih belum
dipakai secara otentik, tetapi lebih banyak untuk kepentingan dan keuntungan
sendiri. Bangsa kita dewasa ini masih jauh dari tindakan otentik dan jujur. Sudah
saatnya hukum diontentikkan dan ditegakkan, bukan retorika-retorika semata.
Bertindak “sesuai prosedur “ saja tidak cukup, berpikir
dan berprilakulah dalam sikap bathinmu yang luar biasa. Matahari sudah terbit
tinggi untuk bekerja secara jujur dengan taruhan luar biasa mahal, yaitu
kedamaian dan kesejahteraan bangsa. Terutama mereka yang jelata.
[1]Gerarld J.
Postema, Bentham and The Common Law
Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986, hlm.404.
[2] W.Friedmann,
Legal Theory, Stevens & Sons Limited,3rd Edition, 1953, hlm.191.
[3] Ibid, hlm.230.
[4] Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan
Pembinaan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm.8 .
[5] Dudu Duswara
Mahyudin, Pengantar Ilmu HukumSebuah
Sketsa, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm.26-27.
[6] Soerjono
Soekanto, et al.,Pendekatan Sosiologi
Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1993, hlm.17.
[7] Thomas O’Dea,
Sosiologi Agama:Suatu Pengantar, CV.Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 3.
[8] Satjipto
Rahardjo, Pembaruan Hukum Perdata untuk Pembangunan Masyarakat, Makalah pada
Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional, BPHN, Yogyakarta, 1981.hlm.30.
Komentar
Posting Komentar