Polemik SEMA PK


Marwah Mahkamah Dalam Jagat Ketertiban

“Persoalan-persoalan terus muncul yaitu pemahaman lebih baik antara hukum, paksaan, dan moralitas fenomena sosial.”

“Faktanya, tekstur terbukanya hukum menandakan adanya bidang-bidang tindakan yang disitu banyak hal yang perlu dikembangkan oleh pengadilan atau petugas yang mengupayakan keseimbangan, sesuai keadaan, antara kepentingan-kepentingan yang berlawanan dengan bobot beragam dari kasus ke kasus”
“Di sinilah, di tepi peraturan-peraturan dan di bidang-bidang  yang ditinggalkan terbuka oleh teori perseden ”The Concept Of Law-H.L.A.Hart




Diawal tahun ini kita disambut dengan produk Mahkamah Agung yang cukup kontroversial,  yaitu SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung No.7 Tahun 2014 tentang limitasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali.

Diketahui sebelumnya didasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.34/PUU-XI/2013 yang memutuskan bahwa permohonan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali. Kemudian di penghujung tahun 2014 diterbitkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung No.7 Tahun 2014 tersebut.

MA menganggap putusan MK tidak dapat dieksekusi (nonexecutable) dan  tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam memaknai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA).

SEMA tersebut diposisikan sebagai pemberi dasar bagi pengajuan peninjauan kembali untuk semua perkara, kecuali perkara pidana dan militer. Sebab pengaturan PK untuk perkara pidana dan militer secara khusus sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana permohonan peninjauan kembali yang sebelumnya dibatasi hanya satu kali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP) telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 34/PUU-XI/2013.

Dua pasal tersebut memang mengatur terkait PK dalam perkara Perdata, TUN dan Agama. Sedangkan perkara Pidana diatur khusus dalam KUHAP.

Selain itu permohonan PK yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan PK, yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

MA menganggap SEMA ini sebagai guidance (pedoman) bagi para hakim dalam mengadili dan memutus perkara, hakim tingkat pertama yang akan memutuskan apakah akan meneruskan atau tidak pengajuan PK nya ke MA, dan hakim agung yang akan memutuskan demi keadilan dan kepastian hukum.

Mengesampingkan hal diatas, landasan argumentasi MA terbitkan SEMA inilah justru dianggap merobek kembali pengakuan hak asasi manusia dalam hal tujuan keadilan, sehingga dianggap tidak cermat dan tidak tepat.

Apakah SEMA PK tersebut melanggar konsepsi negara hukum? Negara hukum yang seperti apa? Apakah dapat dikualifikasikan suatu pembangkangan “disobedience” atau pembangkangan terhadap putusan MK? Apakah inkonstitusional? Ada apa dengan MA?

Toh putusan MK bukan untuk mendelegitimasi SEMA yang lama kok. Semangatnya bukan itu, tapi justru untuk melindungi ham warga negara untuk mencari kebenaran materil
    
 Kilas balik kembali terkait SEMA-SEMA yang kurang efektif, pada tahun 2012 yang lalu Mahkamah Agung menerbitkan SEMA  Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang intinya menyatakan bahwa permohonan PK dalam perkara pidana (dalam sidang pemeriksaan permohonan PK di pengadilan negeri) harus dihadiri oleh Terpidana atau ahli warisnya secara langsung, tidak bisa hanya dihadiri oleh Kuasa Hukum.
    
 Hal ini seperti membunuh semut dengan meriam, tujuannya hanyalah ingin menembak lalat namun akhirnya semua ikut kena oleh karena senjatanya tidak proporsional. Jika MA ingin menghindari adanya permohonan PK oleh terpidana yang sedang melarikan diri ya atur saja demikian. Atur saja bahwa dalam sidang pemeriksaan PK pengadilan (dan Penuntut Umum) harus memastikan bahwa Pemohon / Terpidana tidak sedang melarikan diri. Itu saja, tidak perlu mencari-cari justifikasi dengan menafsirkan pasal 265 ayat 2 dan 3 yang pada akhirnya menjadi tidak terlalu tepat.
The Sole Interpreter Of Constitution (Lembaga Penafsir Konstitusi Tertinggi)?

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga penafsir konstitusi tertinggi yang tiap putusannya bersifat final dan mengikat. Dimana setiap putusan MK tidak boleh ditafsirkan lembaga lain atas dasar kewenangannya masing-masing.

Putusan MK Tidak Berpengaruh pada UU MA?
Apakah pembatasan peninjauan kembali adalah penegasan wewenang MA?Apakah dapat dibenarkan pendapat PK itu cuma sekali, dan itu penegasan karena Undang-Undang MA, undang-undang kementerian tidak dibatalkan, Jadi di situ PK tidak dibatalkan maka PK hanya sekali?Apakah ini sebuah terobosan baru? Terus kordinasi penanganan esekusi dengan kejaksaan agung bagaimana? Atau apakah inkonstitusional karena bertentangan dengan putusan MK yang membolehkan PK lebih dari satu kali?
Aturan pembatasan PK tidak hanya dimuat di KUHAP tetapi juga di UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Lantas apakah dapat dibenar MK boleh saja menghapus aturan di KUHAP tapi tidak di dua UU lainnya?Apakah dibenarkan pendapat dimana putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta menghapus dua UU yang mengatur PK? Apakah salah alasan jika putusan MK yang membolehkan PK berkali-kali diterapkan justru praktiknya banyak ditemui kendala di lapangan?

Norma di dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA
MK tidak sekaligus membatalkan norma pembatasan PK dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA. Sebab selain PK perkara pidana, dikenal PK perkara perdata, TUN dan Agama. Jadi norma di dua undang-undang tersebut bersifat umum, tetapi putusan MK itu khusus untuk PK perkara pidana sudah dinyatakan inkonstitusional.  
Ingat, putusan MK bersifat “Erga Omnes” (berlaku untuk semua) yaitu harus ditaati oleh semua orang, sedangkan putusan MA bersifat “ Inter Partes” yang hanya mengikat pihak yang berperkara saja. Dalam hal ini bukan putusan MA namun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, SEMA berada di bawah Undang-Undang. Hal ini pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi ketentuan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat untuk kemudian disampaikan pada pemerintah, DPR, dan MA untuk ditaati dan ditindaklanjuti.

Kepastian Hukum yang Adil,
Upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak diadakan pembatasan, namun upaya pencapaian keadilan hukum tidaklah demikian karena keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian hukum,"
(petikan putusan MK yang dibuat di era Ketua MK Akil Mochtar pada 20 Juli 2013).
Sedikit kilas balik, Putusan MK tentang permohonan PK berawal dari permohonan Antasari Azhar terpidana 18 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Nazaruddin Zulkarnaen. Mantan Ketua KPK itu memohon bisa mengajukan PK berkali-kali dengan dasar adanya penemuan bukti baru berdasar ilmu pengetahuan (konstitusional bersyarat). Tapi, Antasari kaget dengan putusan MK pada 6 Maret 2014 yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) YY No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, yaitu MK memutuskan menghapus pasal 268 ayat 3 KUHAP sehingga PK bisa dilakukan berkali-kali.

Pada halaman 87 putusan MK disebutkan, PK satu kali membatasi hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu kebebasan dan kehidupan manusia. Lagipula pengajuan PK tidak terkait dengan jaminan pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan tidak terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

Dasar pertimbangan MK tersebut saat itu adalah memberi keadilan substansial dalam hal menjunjung tinggi asas kehati-hatian memutus perkara. Sebab dalam hukum pidana dikenal prinsip lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah (in dubio proreo).

Terkesan putusan MK itu tidak memperhatikan asas kepastian hukum. Lantas asas kepastian hukum itu untuk siapa? Sudah layaknya kita memahami pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung (MA), kejaksaan dan penegak hukum terkait lainnya ia lahir dan hidup dalam posisi lebih kuat dibandingkan dengan terpidana/terdakwa, karena menjamin kepastian hukum yang adil bagi terpidana dalam KUHAP adalah hal utama.

Namun praktiknya banyak kasus PK yang diajukan narapidana tapi tidak membawa pada adanya bukti baru atau novum "penumpang gelap" memanfaatkannya, gembong narkoba tak bisa dieksekusi dengan dalih peninjauan kembali (PK) lagi. Mahkamah Agung (MA) turun tangan dengan mengeluarkan Surat Edaran MA, PK hanya sekali.

Dimana Asas “litis finiri oportet” (setiap perkara harus ada akhirnya) ?
     Menurut MK, asas setiap perkara harus ada akhirnya tersebut hanya terkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan tidak bisa diterapkan. Lantas dilapangan  muncul pertanyaan, Bagaimana asas kemanfaatan hukumnya? Sebuah asas yang tidak bisa dikesampingkan dibanding asas keadilan dan kepastian hukum belaka. Putusan MK yang mengagungkan asas keadilan, dalam realitanya malah membuat eksekusi gembong narkoba susah dilaksanakan. Memang seharusnya PK tidak bisa menghalangi eksekusi putusan pengadilan dalam hal ini eksekusi hukuman mati, namun Jika tidak ada kepastian hukum apakah eksekusi tidak akan berjalan?

Intervensi dalam Kekosongan Hukum ?
SEMA ini untuk siapa? Untuk apa? Untuk pencitraan sematakah? Dilandaskan atas kasuistis atau hasil pengamatan dan penelitian yang komprehensif? Itulah beberapa pertanyaan pengamat hukum yang menghubung-hubungkan dengan indikasi kuat adanya intervensi dari pemerintah.

Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman termasuk membatasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan perbuatan dilarang dalam UUD 1945. Memang praktiknya diduga terjadi indikasi intervensi pemerintah sebagai upaya pengalihan tanggung jawab eksekusi mati kepada MA. Namun ironisnya, justru MA terjebak dan membuka ruang dengan melakukan pembatasan pengajuan PK.

Alasan kekosongan hukum dan melihat praktek dilapangan digunakan sebagai celah hukum para penjahat dengan kepastian hukum memang berujung pada tujuan terciptanya keteraturan dan ketertiban, namun keteraturan dan ketertiban dalam negara hukum yang seperti apa?

Terlepas semestinya MA melaksanakan putusan MK dengan menerima pengajuan PK dari terpidana di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dengan ketentuan tersendiri yang progresif, maupun praktiknya MA justru memberikan SEMA dan memberikan jalan lurus untuk eksekusi semata.

Ini berbahaya jika benar adanya intervensi pemerintah. Kedaulatan MA sebagai mahkamah pemberi keadilan harus ditempatkan diposisi tertinggi diatas segala kepentingan.

MA seharusnya hati-hati dan dalam menerbitkan SEMA tersebut, semisal dengan meminta pendapat kembali dari para hakim MK serta penelitian secara komprehensif, bukan terkesan seperti kejar setoran produk hukum semata, meski dengan dasar kepastian hukum dan alasan-alasan diatas.
Lantas apakah PK perdata sama dengan PK pidana?

MA harusnya bisa jelaskan yang boleh lebih dari satu kali itu diberi syarat-syarat. Ada novum (yang valid) misalnya. Kalau alasan salah penerapan hukum, hanya sekali?
Wacana PK dua kali?

MA seharusnya bisa mengatur jumlah berapa kali PK yang akan diajukan. Sehingga bukan sama sekali membatasi hanya sekali. Dalam hal ini penulis setuju dengan Hakim Agung yang mewacanakan agar PK bisa diusulkan sebanyak dua kali. Sebabnya ia menilai tidak mungkin juga PK dilakukan 5 hingga 10 kali karena terlalu banyak.

MA pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi adalah mahkamah pemberi keadilan yang bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.

Disinilah letak tragedi hukum modern, hukum yang semakin jauh dari keadilan masyarakat. Selama ini cara berhukum yang dianut telah membelenggu dan seolah-olah tidak bisa keluar dari persepsi hukum sebagai berhukum secara universal. Hukum yang berwibawa diharapkan mampu membantu keluar dari kungkungan cara berhukum yang sudah dianggap baku.

  Penulis dalam hal ini sengaja berusaha mengingatkan kembali akan cita-cita hukum yang berwibawa oleh masing-masing pihak dalam hal ini Mahkamah selaku pemberi keadilan.

   Seharusnya perilaku berhukum progresif yang diklaim masing-masing pihak memang dimaksudkan untuk mengatasi tragedi tersebut, dengan cara lebih memperhatikan isu-isu sosial dan keadilan. Namun, pendekatan ini sendiri dapat dituding mempromosikan wacana bagi interpretasi hukum yang bebas dari seluruh ikatan, jelaslah bahwa hal itu bukan menjadi tujuan hukum yang progresif itu sendiri. Karena apabila dipahami lebih dalam progresif dalam hal ini yaitu menitikberatkan akan hilangnya keseimbangan antara keadilan dan kepastian karena paradigma 'otonomi hukum' di Indonesia yang terlalu kaku.

   Hal ini sejalan dengan pandangan  Adriaan Bedner yang mengatakan,Pada prakteknya hukum progresif  terlihat tidak positif membicarakan istilah negara hukum, definisi negara hukum sangat berbeda. Tujuan kritiknya adalah terhadap definisi yang kaku itu, dan tidak dimaksudkan membuka interpretasi yang Iain terhadap negara hukum “

Dalam menjaga kedaulatan Mahkamah, baik Mahkamah Agung maupun Mahkmah Konstitusi selaku lembaga pemberi keadilan sudah selayaknya bersama-sama semua pihak termasuk eksekutif dalam memahami lebih mendalam penerapanTeaching order finding disordermenurut Prof. Satjipto Rahardjo yaitu sudah saatnya  berprilaku mengajarkan keteraturan dan menemukan ketidakteraturan yang ada. Sudah seharusnya marwah Mahkmah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pemberi keadilan dijaga dengan keteraturan dan ketertiban  untuk menciptakan ketertiban itu sendiri.


*)Tulisan ini disarikan dari banyak sumber  dan semata-mata pandangan pribadi Penulis yang rindu akan hukum Indonesia yang berwibawa.
Referensi:
H.L.A Hart, Konsep Hukum,  Penerbit Nusa Media, Bandung, 2009.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1986.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditra Bakti, Bandung, 1991.

Komentar

Postingan Populer