SELINGKUH



“PREMIUM REMEDIUM” PADA PERSELINGKUHAN

Foto:http://www.google.com/imgres?imgurl=http://cdn.kaskus.com
                                        
Jangan kau dustai aku
Jangan kau sakiti aku
Bila kau cinta padaku
Jangan kau bohongi aku

Jangan kau lukai aku  “

“ Bila kau sayang padaku
Tanpa ku tahu salahku

Tanpa ku tahu dosaku

Kau berbuat semaumu
   Jangan pernah kau selingkuh

  Jangan pernah kau mendua
  Bila kau memang cintaku 

#Lirik: Jangan Pernah Selingkuh_Angkasa band  
                                                              
        Saat melakukan perjalanan kereta malam ini, seorang bapak duduk tepat sebelah penulis tiba-tiba bercerita tentang istrinya yang selingkuh. Dengan khidmat penulis mencoba mendengarnya. Bapak tersebut tidak konsekuen menyebut istrinya itu selingkuh tapi juga menyebut zinah. Memang berbeda yaah? dari  sudut pandang mana? Berhubung keterpaksaan penulis yang pernah belajar hukum maka sengaja mencoba meneropong dari sisi hukumnya.

          Disini mari kita sedikit membahas terkait pemahaman apa sebenarnya selingkuh itu? Zinah itu apa? Apakah selingkuh itu sama dengan Zinah? Kalau beda apa yang membedakan? Dalam hal ini, apakah hukum pidana dapat digunakan sebagai upaya represif atau “Primum Remidium” (Upaya utama)?



            Jadi begini, “selingkuh” sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan 1.Suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; 2.Suka menggelapkan uang; korup; 3. Suka menyeleweng. 




             Sedangkan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) memang tidak diatur secara khusus mengenai istilah perselingkuhan. Namun kita bisa menggunakan istilah yang ada dalam KUHP terjemahan Prof. Oemar Seno Adji, S.H., et al yakni istilah mukah (overspel) (dan tidak menutup kemungkinan ada perbedaan terminologi dalam KUHP terjemahan lain) sehingga untuk kasus ini dapat dikenakan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP.

          Dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal R.Soesilo  menjelaskan lebih lanjut mengenai gendak/overspel atau yang disebut Soesilo sebagai zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Untuk dapat dikenakan pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

            R.Soesilo menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya, apabila Anda mengadukan bahwa suami Anda telah berzinah dengan perempuan lain, maka suami Anda maupun perempuan tersebut yang turut melakukan perzinahan, kedua-duanya harus dituntut.


Apakah benar selingkuh awal dari Perceraian? Apakah selingkuh atau itu juga merupakan alasan perceraian?Terus Zinah apakah merupakan alasan perceraian?
hukum.kompasiana.com



Diketahui aturan pelaksana Undang-undang Perkawinan diatur dimana PP Nomor 9 tahun 1975 , dalam pasal 19 dikatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan sukar di sembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain karena di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat atau kekejaman yang membahayakan pihak lain;
  5. Salah satu pihak mendapatkan cacad badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri;
  6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi berumah tangga;
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang mengakibatkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Dari penjelasan diatas dapat dijawab atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, dimana, selingkuh bukanlah merupakan alasan perceraian, zinah adalah salah satu alasan adanya perceraian, sedangkan selingkuh itu berbeda dengan zinah.


Jika kita hubungkan dengan aturan lainnya, perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berbunyi:


 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.



Terhadap perbuatan tersebut berlaku Pasal 36 UU ITE yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. 



Mengenai pelanggaran terhadap perbuatan tersebut dapat dikenakan dengan Pasal 51 ayat (2) UU ITE, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000.000,00 (dua belas miliar Rupiah). Atau juga dapat dijerat dengan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. 


Praktik KUHP dilapangannya seolah-olah  sanksi bagi pelaku tindak pidana perzinahan justru tidak memberi efek balik dalam meminimalisir terjadinya tindak pidana dimaksud, bahkan justru terdapat kelemahan dari keberadaan aturan tentang tindak pidana perzinahan yang ada dalam hukum pidana materil kita (KUHP), yang sekiranya memberi peluang (dijadikan kesempatan) kepada laki-laki/perempuan yang telah menikah untuk berzinah/selingkuh. 


Pasal 284 KUHP tentang Perzinahan

Pasal ini terdiri dari lima (5) ayat, namun pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk mencoba mencermati dan menganalisa Pasal 284 ayat 1 ke 1e KUHP, karena memang pasal ini yang kerap dilanggar (lazim terjadi) dan diterapkan kepada pelaku-pelaku dalam tindak pidana perzinahan, yang berbunyi ; Dihukum Penjara selama-lamanya sembilan bulan, (a). Laki-laki yang beristri berbuat zinah, sedang diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata berlaku padanya, (b). Perempuan yang bersuami, berbuat zinah.

  

hukum.kompasiana.com
Zinah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengandung arti Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin (nikah) dengan perempuan atau laki-lai bukan istri atau suaminya, persetubuhan dimaksud dilakukan atas dasar suka sama suka.

Maka unsur-unsur terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus dipenuhi secara menyeluruh guna menghukum seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan adalah :

               a.Salah satu pihak telah menikah sah (Sah-nya perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Kalau pasangan (laki-laki/perempuan) yang melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut hukum adat kemudian hidup bersama (layaknya suami istri, apalagi kalau sudah dikarunia anak) dan dalam perjalanan hidup bersama tersebut, ada salah satu pihak tertangkap tangan berzinah gimana? 

Tentu pihak yang tertangkap tangan berzinah itu tidak dapat dihukum dengan Pasal Perzinahan, oleh karena belum adanya perkawinan yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


   Prakteknya, ada yurisprodensi MA, dimana seorang laki-laki yang awalnya dituntut sebagai pelaku perzinahan dibebaskan dari tuntutan sebagai pelaku perzinahan, walaupun saat itu yang bersangkutan tertangkap tangan berzinah dengan perempuan yang bukan istrinya, dan bahkan dalam pemeriksaan yang bersangkutan bersama pasangannya mengakui dengan jujur perbuatan mereka, selain daripada itu  pelaku perzinahan dimaksud, saat melakukan perbuatannya sadar bahwa mereka masih terikat perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan hakim dalam membebaskan orang tersebut dari tuntutan perzinahan oleh karena, orang tersebut telah mengembalikan tanda adat kepada keluarga istrinya, dimana menurut hukum adat yang dianut saat itu oleh keduanya (laki-laki yang berzinah dan istri sah-nya tersebut tunduk pada satu hukum adat), pengembalian tanda adat itu menandakan bahwa mereka telah dianggap bercerai dalam hukum adat mereka, walaupun perceraian atas perkawinan mereka melalui Putusan Lembaga Peradilan belum ada.


Terhadap yurisprudensi ini, maka saya berpendapat seharusnya aparat penegak hukum dibidang pidana juga dapat memeriksa dan menuntut salah satu pihak yang berzinah walaupun mereka baru melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut hukum adat, dengan catatan mereka (kedua pasangan calon suami istri tadi) tunduk pada satu hukum adat. Saya katakan demikian, karena ada hukum adat yang setelah melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut hukum adat, kedua calon pasangan hidup tadi sudah dianggap dan atau dapat hidup bersama sebagai suami istri sah menurut adat, walaupun mereka belum melangsungkan perkawinan menurut amanat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (ini banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat indonesia). Dan ternyata dalam perjalanan hidup mereka, ada pasangan yang berzinah tentu pasangan yang satu akan mengalami kerugian kerugian Moril/penderitaan psikis yang tidak dapat diukur (terutama pihak perempuan).

  

             b.Adanya persetubuhan atas dasar suka sama suka (menekankan bahwa persetubuhan sudah harus benar-benar terjadi).


Persetubuhan menurut penjelasan KUHP adalah Peraduan antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk kedalam anggota kelamin perempuan sehingga mengeluarkan air mani). Hal ini jelas akan mengalami kesulitan dalam pembuktiannya, mengapa demikian, karena tidak mungkin orang bersetubuh, dilakukan ditempat yang sekiranya dapat disaksikan dengan mata telanjang, sehingga pembuktian terhadap unsur persetubuhan ini, biasanya hanya bergantung pada Pengakuan pasangan zinah serta pembuktian secara medis.


Pengakuan Zinah?

Pengakuan pasangan zinah agak sulit kita dapati (kalau pencuri mengaku maka penjara sudah pasti penuh. Syukur-syukur kalau ada yang jujur mengakui, tetapi biasanya pasangan zinah yang mengakui dengan jujur perbuatannya oleh karena sudah memantapkan pilihannya menjadikan zinah sebagai alasan untuk bercerai), sedangkan pembuktian secara medis akan sangat sulit apabila sebelumnya pasangan zinah tersebut sudah pernah (sering) melakukan persetubuhan, lain hal kalau ketika pasangan zinah tersebut ditangkap walaupun mereka tidak dalam keadaan sedang bersetubuh, tetapi pada mereka didapati sperma yang baru saja keluar, maka sudah tentu pemeriksaan medis dapat membuktikan hal tersebut.

              

    Ada anggapan bahwa walaupun pasangan zinah tidak mengakui pernah melakukan persetubuhan, dan pada mereka tidak didapati tanda-tanda yang dapat dijelaskan secara medis bahwa mereka baru saja melakukan persetubuhan, namun sepasang pasangan zinah “sudah dapat dianggap” telah melakukan persetubuhan karena keadaan-keadaan sebagai berikut; mereka berdua berlainan jenis kelamin, bukan suami istri sah, tidak ada hubungan keluarga, kedapatan berduaan didalam kamar hotel, kamar kost dan lain sebagainya, bahkan mereka berdua mengaku dengan jujur saling mencitai, akan tetapi saya tegaskan bahwa keadaan inipun tidak/belum menjelaskan definisi persetubuhan diatas guna memenuhi unsur pasal ini. Kecuali akibat dari perzinahan itu, istri yang berzinah atan perempuan pasangan zinah hamil atau mempunyai anak dan kemudian pemeriksaan medis (Test DNA) mampu membuktikannya, maka walaupun tidak ada pengakuan akan perbuatan persetubuhan, tetapi keadaan diatas telah menjelaskannya.

       

    Biasanya seorang suami/istri yang menjadi korban dari sebuah tindak pidana perzinahan, ketika menangkap “basah” suami/istrinya dengan pasangan zinahnya, berduaan didalam kamar hotel, kamar kost bahkan suami/istri pasangan zinah tadi ketika ditangkap mengakui dengan jujur bahwa ia mencintai pasangannya dan sudah menjalin hubungan cinta untuk waktu yang cukup lama, lalu melaporkan secara pidana kepada aparat negara penegak hukum dan melalui serangkaian proses hukum, kemudian suami/istri yang berzinah tadi tidak dapat diproses lebih lanjut oleh karena tidak dapat dibuktikan adanya unsur persetubuhan, kemudian menyalahkan aparat penegak hukum karena seolah-olah aparat penegak hukum tidak merespon laporannya, tetapi mau bagaimana lagi, hukum pidana kita memang mensyaratkan demikian.

c.Harus ada Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan.    

(unsur ini menggambarkan bahwa pidana perzinahan sebagai sebuah delik aduan yang absolut, tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan).

       Tindak Pidana perzinahan merupakan delik aduan absolut karena tindak pidana perzinahan tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban dari tindakan perzinahan. Atas pernyataan ini, beberapa kalangan sering mempertanyakan, jika tindak pidana perzinahan merupakan delik aduan absolut, maka mengapa polisi tanpa adanya pengaduan, juga melakukan pemeriksaan terhadap pasangan yang diduga berzinah ?

       Polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan bila mendapat laporan adanya dugaan terjadinya peristiwa perzinahan, bahkan pada saat-saat tertentu harus mengambil tindakan-tindakan kepolisian untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan serta menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Pemenuhan unsur inilah yang menjadi dilematis bagi korban perzinahan. Mengapa demikian, Karena jarang sekali terjadi seorang suami/istri yang melaporkan suami/istrinya karena berzinah, membiarkan suami/istrinya diproses hingga mendapat putusan pengadilan yang inkrah, lalu di tahan di lembaga pemasyarakatan sebagai terpidana dan setelah suami/istrinya selesai menjalani hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan baru mereka hidup normal lagi sebagai suami istri dalam sebuah rumah tangga. 


Hanya sebatas Efek Jera?

        Keinginan agar supaya suami/istrinya yang berzinah dapat ditahan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat membuat efek jera, akan tetapi hukum pidana positif kita tidak “mengakomodir keinginan” ini.



        Selain dilematisnya pemenuhan ketiga unsur pasal dari tindak pidana perzinahan diatas, salah satu persoalan penting yang juga menyebabkan aturan tentang tindak pidana perzinahan ini seolah-olah tidak memberi “tekanan psikologi“ yang berarti bagi setiap orang untuk tidak berbuat tindak pidana perzinahan adalah tidak dapat dikenakannya tindakan “Penahanan” terhadap pelaku tindak pidana perzinahan. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa seorang suami/istri yang menjadi korban dari sebuah tindak pidana perzinahan, ketika menangkap “basah” suami/istrinya dengan pasangan zinahnya, tentu lebih menginginkan suaminya/istrinya yang berzinah tadi dikenakan penahanan, karena dengan tindakan penahanan sedikit tidaknya terobati rasa keterpukulan psikis yang dialaminya.


         Salah satu kekhasan dari Hukum Pidana daripada hukum-hukum lainnya adalah “adanya penderitaan yang bersifat khusus”, dikatakan penderitaan yang bersifat khusus oleh karena dalam hukum pidana adanya hukuman yang langsung menyentuh pada subyek secara jasmani batiniah berupa hukuman penjara, bahkan perampasan nyawa oleh negara melalui perangkat-perangkatnya, Memang pada hukum lainpun juga mengenal adanya suatu penderitaan yang dialami sebagai suatu akibat hukum, Misalnya pada Hukum Perdata, adanya penyitaan harta benda milik seseorang, yang sudah tentu juga menimbulkan penderitaan bagi yang terkena tindakan penyitaan tersebut, akan tetapi hukuman penjara pada hukum pidana sedikit tidak mempunyai nilai lebih khusus oleh karena merampas kebebasan hidup bergerak dan lain sebagainya.

            Tidak dikenakannya penahanan terhadap pelaku tindak pidana perzinahan, membuat seorang pelaku tindak pidana perzinahan “bergerak lebih leluasa (terutama pihak suami)” untuk melepaskan diri dari jeratan proses hukum yang dialami. Saya katakan bergerak lebih leluasa untuk melepaskan diri dari jeratan proses hukum oleh karena apabila ada seorang istri melaporkan suaminya berzinah, karena ia menangkap basah suaminya berzinah, sudah tentu polisi sebagai penyidik akan memeriksa suami yang berzinah tadi, serta pemeriksaan saksi-saksi guna dilakukannya pemberkasan menjadi sebuah berkas perkara yang nantinya dikirim kepada jaksa selaku penuntut umum untuk kemudian diajukan ke pengadilan. Akan tetapi setelah menjalani pemeriksaan di polisi/penyidik, si suami yang berzinah tadi dilepaskan (tidak dikenakan penahanan, biasanya hanya dikenakan wajib lapor), maka  si suami tentu akan kembali kerumah bertemu dan menjalani kehidupan bersama dengan istrinya (yang baru saja melaporkannya) dalam rumah tangga mereka. Disinilah kita bisa membayangkan bagaimana tekanan batin yang dialami oleh istrinya yang baru saja melaporkan suaminya berzinah tetapi beberapa saat kemudian ia harus menjalani kehidupan bersama suaminya (serumah), karena suaminya tidak ditahan atas laporan yang baru saja ia sampaikan. Sudah tentu si suami akan memberi “tekanan (dalam pengertian yang luas)” kepada istrinya untuk segera mencabut laporannya. Saya percaya pasti si istri akan mencabut laporannya, apalagi bila dalam kehidupan sehari-hari, kelangsungan hidup rumah tangga mereka itu dinafkahi oleh si suami (tulang punggung ekonomi keluarga), kalaupun si istri tadi adalah seorang yang berpenghasilan tetap dan bisa saja tidak tergantung sepenuhnya pada suami dalam hal pemenuhan ekonomi rumah tangga, tetapi demi keutuhan kehidupan rumah tangganya dan kemartabatan perempuannya ia pasti dapat mencabut laporannya. (biasanya yang tidak mau mencabut laporannya, karena sudah memantapkan pilihan untuk tidak mau lagi hidup bersama sebagai suami istri/cerai). Karena jarang sekali terjadi (sebagaimana saya katakan diatas), seorang istri yang melaporkan suaminya berzinah dan membiarkan hingga proses peradilan berjalan atas suaminya, kemudian suaminya menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan, setelah selesai suaminya menjalani hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan, baru mereka hidup normal lagi sebagai suami istri.


      Selain dapat memberi ruang bagi seorang suami yang melakukan tindak pidana perzinahan untuk memberi tekanan dalam tanda kutip terhadap istrinya akibat tidak dikenakan penahanan, seorang suami yang melakukan tindak pidana perzinahan namun pada dirinya tidak dilakukan tindakan penahanan, maka akan memberi waktu yang cukup bagi si suami untuk berusaha melakuan upaya-upaya yang menjurus pada “mafia peradilan” dalam penanganan perkaranya. Karena kita tahu bahwa rentang waktu dari adanya suatu laporan tindak pidana perzinahan hingga mendapat putusan pengadilan yang inkrah memakan waktu yang cukup lama, dan selama itu pula si suami yang melakukan tindak pidana perzinahan tadi, “berkeliaran bebas” tanpa merasa adanya suatu tekanan batin malah sebaliknya, sepanjang waktu itu juga ia memberi tekanan kepada istrinya.


      Seorang Pegawai Negeri Sipil, apabila ia melakukan tindak pidana perzinahan, terhadap dirinya tidak serta merta dapat dikenakan tindakan disiplin sesuai peraturan disiplin pegawai negeri sipil, mengapa demikian, karena belum ada putusan pengadilan yang inkrah bahwa ia bersalah melakukan tindak pidana perzinahan, disamping itu ia masih dapat menjalankan tugasnya sehar-hari dikantor oleh karena ia tidak di tahan. Akan tetapi apabila ketika dilaporkan sebagai pelaku tindak pidana perzinahan, kemudian melalui serangkaian pemeriksaan di polisi/penyidik didapat bukti yang cukup dan diikuti dengan tindakan hukum berupa “penahanan”, tentu saja akan berdampak pada terbengkelainya tugas yang diemban sehingga dapat mempengaruhi reputasi kerjanya, oleh karena untuk sekian waktu (selama ditahan) ia tidak dapat menjalani tugasnya sehari-hari sebagai seorang pegawai negeri sipil. Maka hal ini akan membawa dampak psikologi bagi dirinya agar mempertimbangkan secara matang apabila ingin melakukan tindak perzinahan sebab sesaat setelah ia dilaporkan berzinah dan padanya didapati bukti yang cukup kemudian dilakukan penahanan atas dirinya, maka ia akan mengalami “dampak ikutan” setelah laporan itu, yakni kerugian moril dalam membangun kembali keharmonisan keluarganya serta juga pada karier dan pekerjaannya. Benar bahwa kalaupun tidak ditahan namun bila diputus bersalah oleh pengadilan ia juga mengalami hal yang sama, akan tetapi sebagaimana dijelaskan diatas, rentang waktu dari adanya laporan tentang sebuah tindak pidana perzinahan hingga mendapat putusan pengadilan yang inkrah memakan waktu yang cukup lama sehingga kita bisa membayangkan, bagaimana seorang suami istri yang sementara berperkara di Pengadilan tinggal serumah (ingat sebagaimana saya sebutkan diatas : dengan tidak ditahan, suami yag berzinah tadi dapat memberi tekanan balik pada istri dan mempunyai waktu yang cukup untuk bergerak kearah mafia peradilan). Oleh banyak kalangan menilai bahwa, walaupun seseorang Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan tindak pidana perzinahan tidak dikenakan penahanan, namun ia tetap mengalami yang namanya kerugian moril,  menurut saya pernyataan ini benar adanya, akan tetapi bagaimana dengan pelaku yang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi dan berpikir bahwa bila tertangkap berzinahpun ia tidak ditahan kok dan buktikan dulu melalui proses hukum bahwa ia bersalah karena berzinah.



     Andaikan saja ada seorang suami/istri, yang mengerti benar keberadaan aturan tentang unsur-unsur yang membangun kontruksi aturan tindak pidana perzinahan sebagaimana dijelaskan, bisa saja tanpa rasa malu dan takut dengan istrinya/suaminya atau khalayak umum dan atau jeratan hukum, ia dengan “bebas” dan “berani” menjalin hubungan dengan pasangan zinah-nya.

           

        Dari penjelasan diatas dapat dijawab atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, dimana, selingkuh bukanlah merupakan alasan perceraian, zinah adalah salah satu alasan adanya perceraian, sedangkan selingkuh itu berbeda dengan zinah.


Bukankah hukum Pidana  hendaknya dipandang sebagai Ultimum Remedium ? Lantas sifat hukum  yang responsif dikemanakan? Kemauan melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat dikemanakan? Jika (KUHP) sebagai Ultimum Remedium dalam mengatur perilaku hidup manusia yang berzinah (selingkuh) saja sudah tidak mempan, lalu harus bagaimana lagi ? Dapatkah Premium Remidium dimunculkan? Terus bagaiman sifat dasar dari hukum pidana itu sendiri?


Memang masih banyak faktor yang dapat digunakan mengubah perilaku hidup manusia. Karena hukum dan prilaku menjadi suatu yang saling berkaitan erat, dimana hidup baik (prilaku baik) adalah dasar hukum yang baik.


“Kejahatan bisa terjadi bukan saja karena ada niat si pelaku, tapi kejahatan juga bisa terjadi karena ada kesempatan. Waspadalah….. “_Bang Napi







Referensi:

Sumber-sumber terkait



 

Komentar

Postingan Populer