Mediasi Delinkuensi Anak



Meneropong Disperitas Keadilan Restoratif

dan Kepastian Hukum Yang Berkeadilan
(Efektifitas Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak)




“ …Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia akan belajar memaki...” 
“…Jika anak  dibesarkan dengan cemoohan, dia akan belajar rendah diri..”
“…Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, dia akan belajar berkelahi….”
“…Jika anak dibesarkan dengan hinaan, dia akan belajar menyesali diri…”
 …Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia akan belajar percaya diri..”
“...Jika anak dibesarkan dengan pujian, dia akan belajar menghargai...”  
                                         
"..Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, dia akan belajar menaruh  kepercayaan…”.
 “..Jika anak dibesarkan dengan dukungan, dia akan belajar menyenangi diri sendiri…”
“..Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia akan belajar menemukan cinta dalam  hidupnya..”
“...Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri…”
“..Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan.. “



  BAB I
PENDAHULUAN

       I. a.Latar Belakang
             Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam melekat harkat dan martabatnya wajib dijunjung tinggi tanpa anak tersebut meminta.
            Problematika tindak pidana yang dilakukan oleh anak kini semakin meningkat di masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Dewasa ini banyak kejadian-kejadian kriminal seperti pencurian, penjambretan ataupun pemerasan dilakukan oleh seorang anak. Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistim moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis suatu masyarakat pada masa tertentu. Jadi, pemidanaan pasti akan meliputi persoalan filosofis, sosiologis, dan kriminologis.
Negara dituntut tidak hanya menjalankan sistem peradilan pidana anak semata, tetapi juga menjamin adanya kepastian dan perlindungan hukum terhadap anak.
            Sistem hukum pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad-dader straftecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.
            Komitmen untuk menerapkan restorative justice, khususnya dalam hal pelaku adalah anak-anak, harus didasarkan pada penghargaan terhadap anak sebagai titipan yang mempunyai kehormatan. Apalagi Indonesia adalah negara pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.
Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan 5 Alenia ketiga Declaration Of The Rights Of The Child (Proclaimed by General Assembly Resolution 1386(XIV) of 20 November 1959).
Dalam hal ini mediasi merupakan hal yang paling penting atas terbitnya Restorative justice itu sendiri dimana pada saat mediasi itulah pertemuan antara korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi dan terciptanya kesepakatan.
            Negara sebagai penyelenggara sekaligus penanggung jawab atas berjalannya suatu system hukum dalam hal ini system peradilan anak masih terlihat kebingungan dan kedodoran dengan serangan kejadian-kejadian lapangan yang semakin menunjukan jurang yang lebar antara teori dan aplikasi dilapangan, antara Das Sein dan Das Sollen serta antara tuntutan harapan rakyat dan pelaksanaan pada kenyataaannya. Hal ini dapat dilihat  pengakuan terhadap konsep keadilan restoratif dalam hukum positif memang belum menyeluruh. Sebagian baru pada tataran teknis seperti Surat Keputusan Bersama enam lembaga tentang Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Tetapi putusan hakim dan doktrin sudah sangat mendukung penerapan keadilan restoratif pada kasus-kasus pidana tertentu, terutama anak.
  Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014 tentang Diversi pada bulan Agustus tahun 2014. Peraturan MA ini sendiri muncul karena diamanatkan oleh Undang-undang dimana tahun 2014 adalah batas akhir dikeluarkannya aturan pelaksana terkait. Namun sampai hingga kini itu hanya sebatas Peraturan Mahkamah Agung yang dikeluarkan Diketahui tentunya hanya mengikat pada wilayah Mahkamah Agung bukan seperti halnya Peraturan Pemerintah yang tentunya mengikat Kepolisian, Kejaksaan dan terkait pada praktek system peradilan.
            Masyarakat sebagai adressat hukum seakan jelas nyata dipertontonkan akan adanya Disperitas (perbedaan) pelaksanaan beberapa kasus dalam system peradilan pidana anak yang berujung pada keberadaan Keadilan Restoratif dan kepastian hukum yang dituntut tidak hanya legalistik (formal) semata, namun kepastian hukum yang berkeadilan, yaitu kepastian yang didasarkan dari tujuan kepastian hukum itu sendiri.
            Lantas banyak pertanyaan yang kemudian bermunculan terkait hal diatas seperti: Apakah dimungkinkan mediasi pada hukum pidana di Indonesia? Bagaimana keterkaitan antara Mediasi, Diversi  dan upaya memunculkan keadilan yang restorative? Bagaimana mediasi penal dapat diterapkan pada tindak pidana anak pada masyarakat? Apakah ini dapat diangkat ke dalam hukum positif? Apa saja hambatan-hambatan pelaksanaan Mediasi dan Diversi dalam prakteknya? Bagaimana efektivitas Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014 tentang Diversi terhadap pelaksanaan Mediasi tindak pidana Delinkuensi anak? Bagaimana pelaksanaan mediasi dan diversi pada kasus-kasus yang telah terjadi saat ini di Indonesia?

I. b. Ruang Lingkup dan Rumusan Masalah
      Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan beranekaragamnya masyarakat adat di Indonesia, dalam karya tulis ini, Penulis sengaja memfokuskan beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pelaksanaan mediasi dalam tindak Pidana Delinkuensi anak di Indonesia?
2.      Bagaimana efektivitas pelaksanaan mediasi dalam tindak pidana Delinkuensi anak di Indonesia?

I.c. Maksud dan Tujuan
            Penulisan karya tulis ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Mediasi Hukum adalah untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana disperitas keadilan restoratif dan kepastian hukum yang berkeadilan dalam hal ini khususnya dalam melihat efektifitas pelaksanaan mediasi dalam tindak pidana delinkuensi anak. Di samping itu, tulisan ini diharapkan diharapkan dapat pula  menjadi  masukan  bagi pembaharuan  dan pengembangan ilmu[1] hukum.



BAB II
PEMBAHASAN

II.a Pengaturan Restorative Justice System,  Diversi dan Mediasi Tindak Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Marian Liebmann (2007, 26-28) memberikan beberapa rumusan prinsip dasar restorative justice sebagai berikut:
1.Memperioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;
2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan;
3.Dialog antara korban dan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4.Ada upaya untuk meletakan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5.Pelaku pelanggaran harus sadar tentang bagaimana tidak mengulangi lagi kejahatan  tersebut dimasa datang;
6.Masyarakat turut membantu mengintegrasikan baik korban maupun pelaku.
            Sedangkan Mediasi Penal merupakan proses Restorative Justice dalam hukum pidana yang dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban dengan tujuan untuk mereparasi dimana pelaku membetulkan kembali apa yang telah dirusak, konfrensi pelaku korban yang mempertemukan keluarga dari kedua belah pihak serta tokoh masyarakat. 
Dasar Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia
            Mediasi Penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) yang lebih populer di lingkungan kasus-kasus perdata, namun bukan berarti tidak dapat diterapkan di lingkungan hukum pidana. Ada beberapa aturan yang dapat menjadi dasar hukum pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia (Barda Nawawi Arief, 2007, 37-38) antara lain :
a.       Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR);
Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara  Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482,  surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan. Beberapa point penekanan dalam Surat Kepolisian tersebut antara lain :
-   Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui ADR;
-   Penyelesaian kasus melalui ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berkasus, namun apabila tidak tercapai kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sacara profesional dan proporsional;
-   Penyelesaian perkara melalui ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar;
-   Penyelesaian perkara melalui ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi azas keadilan;
-   Untuk kasus yang telah diselesaikan melalui ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
b.     Delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
c.     Tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
d.     Undang-Undang Nomor. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96).
         Beberapa instrumen hukum diatas dapat menjadi rujukan dalam membantu kerja-kerja paralegal dalam menyelesaikan perkara pidana terutama sekali kasus-kasus Tindak Pidana Ringan.
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai institusi atau lembaga yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan :
 
a. Deklarasi PBB tahun 2000 tentang Prinsip-prinsip pokok tentang Penggunaan Program-Program Keadilan Restoratif dalam permasalahan-permasalahan Pidana (United Nations Declaration on The Basic Principles on the Use of Restoratif Justice Programmes in Criminal Matters)
b. Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice :"Meeting the challanges of the Twenty-First Century") butir 27-28 tentang Keadilan Restoratif.
c. Kongres PBB ke-XI di Bangkok tahun 2005 tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice)pada butir 32 :"Persekutuan Strategis dalam Pencegahan tindak pidana dan peradilan pidana (Synergies and Responses : Strategic Alliances in Crime Prevention and Criminal Justice)"

Gagasan semacam ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan.
            Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Konsep keadilan restorative tersebut muncul di tengah kritikan terhadap proses peradilan pidana yang dianut selama ini.
            Dalam Integrated Criminal Justice System yang dianut selama ini korban dalam proses peradilan pidana, kepentingan hukumnya yang diwakili oleh negara dalam hal ini penuntut umum seringkali ‘terabaikan’ peranannya. Peranan korban dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan seolah ternegasikan hanya sebatas saksi, sebagai salah satu alat bukti dalam rangka membuktikan suatu tindak pidana. Konsekuensi dari hal tersebut, peranan korban selesai dengan selesainya korban memberikan keterangan. Selanjutnya yang berhadapan adalah terdakwa dengan didampingi penasehat hukumnya dengan penuntut umum (baca:negara). Lebih lanjut dalam konsep peradilan yang demikian, hak-hak korban terutama terhadap kerugian (baik moril maupun materiil) yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukan tidak terpulihkan, seolah dengan adanya pernyataan bersalah dan pidana yang dijatuhkan pelaku sudah menyelesaikan permasalahan. Sedangkan mengenai kerugian yang muncul terutama materiil, korban dipersilahkan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian secara perdata, yang tentu saja tidak mudah. Sebenarnya dalam hukum acara pidana juga dianut penggabungan ganti kerugian dalam proses pidana, akan tetapi ternyata praktek yang terjadi selama ini, efektifitasnya masih jauh dari memadai.
            Konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana semakin mendapatkan tempat, karena secara internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa berkaitan dengan manajemen peradilan pidana telah merekomendasikan kepada negara anggota agar mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice function dan alternative dispute resolution. Hal tersebut kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan proses mediasi penal (semacam proses mediasi, yang kemudian telah diadopsi dan dimasukkan sebagai salah satu tahapan dalam proses peradilan perkara perdata). Mediasi penal (pidana) merupakan alternative penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak pidana (dalam hal tertentu melibatkan masyarakat) yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan kepentingan terutama korban yang telah dirugikan akibat perbuatan pelaku tindak pidana.
            Mengembalikan keseimbangan kepentingan ini semakin mendapat tempat dalam perkara anak, dimana tujuan dari proses peradilan pidana (khususnya perkara anak) bukan saja sebagai bentuk balas dendam lagi akan tetapi penjatuhan pidana bahkan proses peradilan pidana itu sendiri benar-benar merupakan ultimum remedium, yang baru digunakan apabila alternatif penyelesaian lainnnya tidak tercapai. Konsep keadilan restoratif, bagi bangsa ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, masyarakat telah menerapkannya sejak lama, hal ini dapat dilihat dari berbagai hukum adat yang dianut di banyak tempat. Meskipun ada berbagai variasi dalam pelaksanaanya akan tetapi salah satu tujuan utama dari proses peradilan adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang terguncang akibat adanya perbuatan yang melanggar hukum, mengembalikan keseimbangan kosmis melalui proses mendudukan pelaku dan korban tindak pidana untuk menyelesaikan permasalahannya dengan pemangku adat sebagai otoritas pengambil keputusan.
Mediasi dan Diversi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak
            Konsep keadilan restoratif yang menjadi tujuan dari proses peradilan pidana, muncul dengan terakomodasinya mediasi penal ke dalam proses peradilan pidana dalam bentuk diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sebagai sesuatu yang baru dalam rangkaian proses peradilan pidana, dalam uu sistem peradilan pidana, diversi ini mendapat pengaturan tersendiri.
            Masuknya proses diversi dalam proses peradilan pidana, salah satu tujuan adalah menhindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, terutama stigma negatif sebagai terpidana. Proses diversi merupakan kewajiban dalam setiap tingkatan proses peradilan pidana, baik penyidikan, penuntutan dan persidangan. Kewajiban melaksanakan diversi tersebut, untuk perkara anak dalam tindak pidana yang diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Dengan melihat bahwa untuk perkara anak ancaman pidana yang digunakan adalah setengah dari ancaman pidana, maka hampir semua tindak pidana masuk ke dalam kategori yang harus dilakukan proses diversi ini.
Proses diversi baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan secara garis besar dilakukan Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif serta dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses diversi adalah kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negative, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
            Diversi yang pada dasarnya adalah proses musyawarah antara korban tindak pidana dengan pelaku tentu hasil yang muncul akan berupa kesepakatan-kesepakatan, akan tetapi ternyata dalam hal tertentu tidak mutlak adanya kesepakatan, yaitu dalam hal tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Terhadap hal tersebut, diberi kewenangan kepada penyidik bersama pelaku (anak) dan keluarga serta pembimbing kemasyarakatan dan tokoh masyarakat untuk merumuskan hasil diversi tanpa adanya keterlibatan korban.
            Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Sedangkan mengenai bentuknya dapat berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan atau pelayanan masyarakat.
Dalam tahap ini jelas ditunjukkan bahwa mediasi memegang peranan yang penting dalam munculnya keadilan restorative. dimana pada saat mediasi itulah pertemuan antara korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi dan terciptanya kesepakatan.

Mediasi dan Diversi di Tingkat Penyidikan
            Penyidikan sebagai ujung tombak proses peradilan pidana dalam Integrated Criminal Justice System, dalam proses diversi juga mendapat porsi lebih dalam undang-undang system peradilan anak. Selama proses penyidikan, apabila dapat dicapai kesepakatan diversi, maka hasilnya dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi yang kemudian paling lama harus dilaporkan ke pengadilan negeri setempat, selanjutnya dalam waktu paling lama tiga hari pengadilan sudah harus mengeluarkan penetapan dan penetapan tersebut dalam waktu paling lama tiga hari sejak ditetapkan harus sudah disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum dan hakim. Selanjutnya setelah menerima penetapan dari pengadilan negeri tersebut, Penyidik mengeluarkan Penetapan Penghentian Penyidikan.
            Dalam prakteknya Mediasi di tingkat Penyidikan sangat jarang dilakukan karena kurangnya pemahaman penyidik, masih membudayanya hukum menghakimi, serta mediasi para pihak terkait dihalang-halang halangi oleh pihak-pihak penyidik maupun penasihat hukum agar perkara dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya dengan dalih tidak adanya kesepakatan para pihak
Mediasi dan Diversi di Tingkat Penuntutan
            Setelah proses penyidikan selesai, maka proses selanjutnya adalah penuntutan yang menjadi kewenangan dari Penuntut Umum. Dalam proses Penuntutan, Penuntut Umum juga berkewajiban untuk melakukan proses diversi. Kewajiban melakukan diversi oleh Penuntut Umum dapat muncul karena ketidakberhasilan proses diversi di tingkat penyidikan, akan tetapi dapat juga terjadi karena kesepakatan diversi (yang berhasil dilaksanakan sewaktu tingkat penyidikan) ternyata hasilnya tidak dilaksanakan. Kewajiban untuk memastikan dilaksanakannya kesepakatan diversi ada pada pembimbing kemasyarakatan untuk melaporkan kepada pejabat yang bertanggungjawab sesuai tingkat pemeriksaan, yang kemudian dalam waktu paling lama tujuh hari harus menindaklanjuti dengan melanjutkan proses peradilan pidana anak.
            Secara garis besar, pelaksanakan proses diversi di tingkat penuntutan adalah maksimal tujuh hari sejak berkas perkara diterima oleh Penuntut Umum dari Penyidik (P.21 istilah yang digunakan dalam praktek). Penuntut Umum diberikan waktu maksimal tiga puluh hari untuk melaksanakan proses diversi tersebut. Apabila dapat tercapai kesepakatan maka Penuntut Umum menyampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk kemudian dibuatkan penetapan.
            Jika dalam tingkat penyidikan, penyampaian hasil kesepakatan diversi telah ditentukan batasan waktunya, demikian pula batasan waktu dari ketua pengadilan negeri untuk menyampaikan penetapan, maka dalam proses penuntutan kedua batasan waktu tersebut tidak secara tegas disebutkan. Maka dengan melakukan penafsiran secara sistematikan maka batasan waktu dalam tingkat penyidikan, tentunya dapat juga digunakan dalam tingkat penuntutan dengan penyesuaian seperlunya. Demikian juga sebaliknya jika dalam tingkat penyidikan hanya menyebutkan pengadilan negeri, yang tentunya dapat berarti ketua pengadilan negeri maupun hakim dan atau majelis hakim, sedangkan dalam tingkat penuntutan secata tegas disebutkan kewenangan mengeluarkan penetapan hasil proses diversi ada di tangan ketua pengadilan negeri, sehingga dengan metode penafsiran yang sama maka hendaknya kewenangan tersebut hanya ada di tangan ketua pengadilan negeri (hal ini lebih sejalan dengan proses diversi di tingkat pemeriksaan pengadilan negeri).
            Dalam prakteknya Mediasi di tingkat Penuntutan sangat jarang dilakukan karena kurangnya pemahaman penyidik, masih membudayanya hukum menghakimi, serta mediasi para pihak terkait dihalang-halang halangi oleh pihak-pihak penyidik maupun penasihat hukum agar perkara dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya dengan dalih tidak adanya kesepakatan para pihak
Mediasi dan Diversi di Tingkat Pemeriksaan Persidangan
            Sebagaimana di tingkat penyidikan dan penuntutan, persidangan sebagai salah satu tahapan proses peradilan pidana juga dibebabi kewajiban untuk melakukan diversi dalam perkara anak ini. Bahkan uu sistem peradilan pidana mengancamkan sanksi administrasi maupun sanksi pidana bagi hakim dan pejabat pengadilan lainnya terkait dengan kewajiban diversi ini, akan tetapi sebelum sempat berlaku pasal mengenai ancaman pidana tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi setelah diajukan judicial review.
            Dalam undang-undang sistem peradilan anak, hanya mengatur mengenai proses diversi pada saat pemeriksaan di persidangan pengadilan negeri. Sedangkan untuk proses banding atau kasasi, tidak ada satupun pasal yang menyebutkan kewajiban untuk melakukan proses diversi tersebut, pun sebaliknya juga tidak ada larangan untuk melakukannya. Hal ini tentu dapat menimbulkan perbedatan dalam praktek, karena meskipun setelah ada putusan pengadilan negeri, telah terstigma bahwa anak telah terbukti melakukan tindak pidana, akan tetapi bukankah dengan dilakukan upaya hukum (biasa) maka putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, yang juga berarti stigma (negatif) atas kesalahan anak tersebut juga belum berkekuatan hukum tetap, sehingga seharusnya kewajiban untuk melakukan diversi tersebut juga seharusnya tetap melekat pada pemeriksaan tingkat banding maupun kasasi. Asumsi bahwa pemeriksaan tingkat banding dan kasasi tidak lagi memeriksa secara langsung fakta (berhadapan langsung) akan tetapi hanya memeriksa berkas, seharusnya tidak boleh menutup proses diversi, seandainya di luar proses pidana yang berlangsung tersebut ternyata ada kesepakatan yang dapat dicapai, bukankah tujuan pokok diversi adalah mencari penyelesaian diluar proses hukum pidana.

II.b.Pelaksanaan Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia
II.b.1.Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak berdasarkan UU Pengadilan Anak  No. 3 Tahun  1997.
            Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak yang diharapkan menjadi jawaban atas masih belum terpenuhinya kepentingan terbaik anak yang diatur dalam beberapa aturan-aturan sebelumnya belum mampu memperlihatkan kekhususan dalam penanganan anak. hal ini terlihat dalam beberapa kelemahan-kelemahan mendasar dalam substansinya. Kelemahan mendasar pertama terlihat dalam penggunaan legal term anak nakal dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, merupakan bentuk pengingkaran terhadap Riyadh Guidelines.
            Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak pada proses penyidikan dan penuntutan juga tidak menyediakan alternatif lain dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum melalui mekanisme diversi untuk mengindari stigmatisasi negatif terhadap proses peradilan. Sementara The beijing rules menekankan pentingnya diversi yang dijalankan melalui kewenangan diskresi aparat kepolisian sejak kontak awal antara polisi dengan anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini secara tegas dijelaskan Butir 11 Ayat (1), (2), (3), (4), juga diatur bahwa:
1) Apabila perlu, pertimbangan harus diberikan kepada pejabat yang berwenang dalam menangani anak pelaku tindak pidana tanpa mengikuti proses peradilan.
2) Polisi, jaksa, atau Lembaga lain yang menangani kasus anak-anak nakal harus diberi kewenangan untuk menangani kasus tersebut dengan kebijakan mereka tanpa melalui peradilan formal, sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam tujuan sistem hukum yang berlaku dan sesuai dengan asas-asas dalam ketentuan lain.
3) Setiap diversi yang melibatkan penyerahan kepada masyarakat atau pelayanan lain yang dipandang perlu, membutuhkan persetujuan anak, atau orang tua, atau walinya. Keputusan untuk mengalihkan kasus harus tunduk pada peninjauan kembali pejabat yang berwenang pada prakteknya.
4) Untuk mempermudah disposisi kebijakan kasus-kasus anak, upaya-upaya harus dilakukan untuk mengadakan program masyarakat seperti seperti pengawasan dan panduan secara temporer, restitusi, dan kompensasi kepada korban.
            Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak mengisyaratkan bahwa terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Lebih lanjut mengenai ketentuan sanksi tindakan ini diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai berikut :
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
            Pemenjaraan sebagai upaya utama (premium remidium) dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 45/113 tentang Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya menyatakan bahwa :
Rule 1.1 Imprisonment should be used a last resort ( pidana penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir) Rule 1.2. Deprivation of the liberty of a juvenile should be a disposition of last resort and the minimum necessary period and should be limited to exceptional cases ( perampasan kemerdekaan anak harus ditetapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang minimal yang diperlukan, serta dibatasi untuk kasuskasus yang luar biasa/eksepsional)
            Lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang banyak mengalami over capacity tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak sehingga pelayanan hak anak selama di dalam penjara tidak terpenuhi dengan baik. Keadaan ini tidak bersesuaian dengan prinsip yang terdapat dalam pasal 3 konvensi hak anak yang menyatakan bahwa :
1. Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administrative atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.
2. Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak[2] dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.
3. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang.
            Pemenjaraan yang tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak juga merupakan bentuk pelanggaran hak anak selama dalam tahanan. Pelanggaran hak ini dapat berimplikasi pada pemenjaraan terhadap anak tidak akan menjerakan anak tapi malah akan mendorong anak mengulagi tindak pidananya lagi mengingat kondisi lembaga pemasyarakatan yang tidak mampu menyediakan pelayanan pemulihan bagi anak secara maksimal.
            Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinilai masih berorientasi pada model keadilan yang retributif dimana Sanksi pidana lebih diutamakan dengan sanksi tindakan. penggunaan sanksi pidana yang lebih dominan dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum tidak mampu menghindarkan anak dari stigma negatif dari proses peradilan pidana dan tidak mampu memulihkan anak dari perilaku kenakalannya yang berdampak adanya pengulangan kenakalan (re-offending). Oleh karena itu terjadi pergeseran model keadilan retributif ke arah keadilan restoratif dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.
            Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan bentuk penegasan atas penggunaan pendekatan restorative model keadilan restoratif. Dalam pasal ini disebutkan :
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
            Diversi menyangkut pengalihan dari proses peradilan pidana dan, sering kali, diarahkan ke layanan dukungan masyarakat, umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam banyak sistem hukum. Praktek ini berfungsi untuk mencegah efek negatif dari proses berikutnya dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma dari putusan dan hukuman). di banyak kasus, nonintervensi akan menjadi respon terbaik. Dengan demikian, diversi pada permulaan dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) layanan mungkin respon yang optimal. Hal ini terutama terjadi dimana pelanggaran bersifat tidak serius dan di mana keluarga, sekolah atau lembaga kontrol sosial informal lainnya telah bereaksi, atau cenderung bereaksi, dengan cara yang tepat dan konstruktif dalam pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak dinyatakan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Adapun secara Lebih spesifik, tindak pidana yang wajib diupayakan diversi diatur dalam pasal 7 di mana dijelaskan sebagai berikut :
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
            Bila dikaitkan dengan definisi diversi dalam Instrumen internasional anak di atas, Ada pemahaman yang berbeda dalam memahami diversi. Diversi dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak dimaknai sebagai proses pengalihan yang bisa dilaksanakan dalam setiap tahapan sistem peradilan pidana anak. Sementara diversi dalam Beijing Rule dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari proses formal peradilan pidana yang memberikan stigma negatif bagi anak. Lebih lanjut ditegaskan dalam komentar 11.1 Beijing Rules bahwa diversi dimaksudkan untuk menghindari stigma negatif selama anak diproses dalam system peradilan anak. Diversi harus dilakukan pada saat anak yang berkonflik dengan hukum melakukan kontak pertama dengan penyidik. Oleh karena itu perlu adanya pelatihan khusus bagi penyidik agar mampu menjalankan program diversi ini dengan baik.
            Konsep-konsep pemidanaan tersebut terus berkembang dalam teori-teori keadilan dari yang tradisional seperti retributive justice, rehabilitative justice, sampai ke teori yang lebih modern seperti alternative justice, transitional justice dan belakangan berkembang teori restorative justice. Restorative justice oleh sebagian pakar hukum pidana, psikolog dan pakar perilaku anak dipandang tepat dan baik dalam sistem peradilan pidana anak guna penyelesaian permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum, baik itu dari sisi pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, maupun stakeholder lainnya demi diperolehnya rasa keadilan yang ada di tengah masyarakat.
            Restorative justice yang menjadi ruh dari UU-SPPA ini merupakan upaya korektif terhadap konsep keadilan yang pernah ada dalam sistem peradilan pidana sebelumnya dengan melibatkan partisipasi stakeholder yang lebih luas yang selama ini belum terjangkau dari rasa keadilan, guna secara bersama-sama mencari penyelesaian yang lebih adil dan dapat diterima oleh semua pihak.
 Dengan dasar itulah mediasi diterapkannya mediasi dalam system peradilan anak dalam salah satu tahapannya. Dimana mediasi ini sangat penting dan saling mempengaruhi tahapan lain serta tujuan system peradilan anak pada umumnya, yaitu munculnya keadilan restorative.
Dengan kata lain, lahirnya UU-SPPA ini menandai diawalinya pembaruan hukum pidana anak dengan semangat Restorative Justice dengan mulai dimasukkannya pemahaman mediasi penal meski belum dapat dilaksanakan secara efektif.

II.b.2   Pelaksanaan Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 

            UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA yang berlaku sejak bulan Juli 2014 telah mengadopsi paradigma keadilan restoratif dan diversi merupakan sebuah jawaban bagi perlindungan terhadap hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Proses peralihan dari paradigma retributif kepada keadilan restoratif ini menjadi suatu permasalahan bagi komponen subsistem peradilan pidana yang akan menegakkan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana sehingga diperlukan suatu kesiapan dari masing masing Iembaga penegak hukum.
            Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tepatnya pasal 7 ayat (1) pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi (mediasi, red). Ayat (2) diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
            Konsep keadilan restoratif dan diversi memang sudah diperkenalkan lewat UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari solusi yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
            Undang-Undang SPPA merupakan salah satu alat bagi Indonesia untuk menerapkan perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Memberikan keadilan restoratit kepada anak yang berhadapan dengan hukum tak didasarkan pada aksi balas dendam, sebagaimana konsep penghukuman selama ini dipahami.
            Upaya mediasi dan diversi ini menurut UU SPPA wajib dilakukan oleh para penegak hukum berdasarkan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA. Apabila diabaikan maka penegak hukum dapat dikenai pidana meskipun kemudian ketentuan ini dibatalkan oleh MK dengan Putusan No. 110/PUU-X/2012.
            Dalam makalah ini penulis sengaja paparkan beberapa kasus terkait tindak pidana anak di Indonesia, seperti diantaranya :
1.Kasus AQJ ”Dibebaskan dari Segala Tuntutan Pidana dan Dikembalikan Kepada Orangtuanya “
              Kasus penabrakan yang menewaskan sejumlah penumpang dan terluka di Tol Jagorawi dari arah Jakarta menuju Bogor pada 8 September 2013, Abdul Qodir Jaelani alias “Dul” atau AQJ tidak dipenjara. Sebab, dalam kitab hukum acara pidana (KUHAP) menyatakan anak usia 13 tahun dapat dituntut secara pidana.Peradilan anak dapat mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 yang terdapat klausul atau pasal tentang "restoratif justice" . Dimana  Hakim dalam sidang putusan di PN Jakarta Timur tersebut AQJ bersalah lantaran melanggar Pasal 310 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, membebaskan dari segala tuntutan pidana dan agar dikembalikan kepada orangtuanya.
            Hakim menyatakan AQJ menunjukan sikap sopan dan bertindak baik selama menjalani persidangan, serta dianggap bukan anak yang nakal. Hal lain yang meringankan hukuman AQJ karena adanya perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para korban.Majelis hakim menganggap AQJ kurang perhatian orang tua sehingga masih bisa diberikan pembinaan.

2. Mediasi Kasus Plonco Siswa SMA di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan[3]
            Sidang kasus perploncoan yang menewaskan siswa SMA 3 Setiabudi, Jakarta, Afriand Caesar.  Sebelumnya diberitakan majelis hakim PN Jaksel, telah memvonis empat siswa SMAN 3 dengan kasus yang sama pada Selasa (26/8) lalu. Keempatnya divonis hukuman percobaan yang jauh dari tuntutan jaksa yaitu tiga tahun penjara. Keempat terpidana sebelumnya juga mengajukan sidang diversi dan ditolak sehingga majelis hakim melanjutkan proses persidangan pidana tersebut. Sidang yang melibatkan anak-anak ini digelar secara tertutup.
            Terdakwa diadili sesuai dengan UU no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UU itu, tersangka anak berhak mengajukan diversi yaitu penyelesaian kasus pidana dengan acara khusus. Dalam kasus tersebut, apabila orangtua korban menyetujui diversi itu maka para terdakwa akan dibebaskan dari pidana dan akan dikembalikan ke orangtua masing-masing.
            Dari hasil penelitian KPAI[4], pada tahun 2011 tercatat 6271 anak yang ditahan di 16 lapas yang tersebar di Indonesia. Dari 32 anak yang diwawancara KPAI, 16 anak mengaku mengalami penganiayaan selama proses penyidikan di kepolisian.7Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat represif dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak.
            Selain contoh temuan kasus diatas, pada akhir bulan Agustus 2014[5],Mahkamah Agung (MA) membebaskan seorang anak SMK berinisial SP yang terbukti telah mengedarkan narkotika. SP ditangkap Polres Staba, Langkat, Sumatera Utara, pada tanggal 16 Juni 2010 karena menjadi bandar ganja dengan pasar teman-temannya. Saat tertangkap, SP memiliki 35 paket ganja siap edar. Atas perbuatannya, SP diadili dengan dakwaan Pasal 111 dan Pasal 114 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman 15 tahun penjara. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut SP dihukum 5 tahun penjara. Namun demikian, pada 25 Januari 2011 Pengadilan Negeri (PN) Stabat membebaskan SP dari tuntutan dan mengembalikannya ke orang tua. Vonis ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan pada tanggal 7 Juni 2011 dan kembali dikuatkan oleh MA. Adapun alasan yang dipergunakan oleh majelis hakim untuk membebaskan SP adalah keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
            Disparitas terjadi diakibatkan perbedaan pendekatan peraturan yang dipergunakan penegak hukum dalam kedua kasus ini. Pada kasus SP, hakim mempergunakan pendekatan keadilan restoratif yang diatur dalam UU SPPA. Akan tetapi, pada kasus mencuri bebek, pendekatan restoratif hanya dipergunakan sebagai pendekatan awal, pemutusan perkara dilakukan dengan pendekatan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Kontroversi ini tentunya tidak akan muncul apabila masyarakat memahami konsep keadilan restoratif.
Seto Mulyadi[6], Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), mengatakan dalam UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan pelaku anak-anak harus ada diversi. Sejauh keluarga korban bisa memaafkan itu yang terbaik daripada sekadar memenjarakan. Itu sudah menjadi komitmen undang-undang, untuk anak-anak berbeda dengan orang dewasa.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menganut double track system. Yang dimaksud dengan double track system adalah sistem dua jalur dimana selain mengatur sanksi pidana juga mengatur tindakan.[7] Terkait dengan sanksi yang dijatuhkan terhadap anak nakal, UU sistem peradilan pidana anak telah mengaturnya yaitu dalam Pasal 71 yaitu pidana pokok terhadap anak yang melakukan tindak pidana adalah pidana peringatan, pidana dengan syarat, dan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat serta perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
            Dalam hukum positif di Indonesia sebenarnya telah diakui adanya sanksi selain pidana yaitu tindakan. Meskipun didalam KUHP Pasal 10 hanya mengatur single track system yaitu sanksi pidana saja. Ini membuktikan bahwa dalam UU sistem peradilan pidana anak terdapat salah satu cara mediasi penal untuk menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Sanksi tindakan dalam UU sistem peradilan pidana anak diatur dalam Pasal 82 yaitu berupa pengembalian terhadap orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan dirumah sakit jiwa, kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan yang diadakan oleh pemerintah, perawatan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pencabutan surat izin mengemudi dan perbaikan akibat tindak pidana.
            Ditinjau dari teori-teori pemidanaan, sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan karena dengan beranggapan bahwa suatu pemidanaan dapat mencapai tiga hal, yakni untuk melindungi tata tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan kejahatan dan untuk membuat orang jera melakukan kejahatan.[8] Sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat mendidik, tidak membalas guna menciptakan pencegahan khusus yaitu tujuan yang ingin dicapai adalah membuat jera, memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan itu lagi. Singkatnya, sanksi pidana merupakan implementasi dari pengenaan sanksi pidana pada pelaku dan sanksi tindakan berorientasi pada keamanan dan perlindungan masyarakat.
            Pasal 60 ayat (3) UU SPPA mewajibkan kepada hakim untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Menurut Pasal 1 angka 13 UU SPPA, Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana yang berada di bawah balai pemasyarakatan (Bapas). Persoalan Peraturan Pelaksana UU SPPA
            Terkait UU SPPA, permasalahannya adalah UU ini tidak langsung berlaku ketika diundangkan. UU SPPA baru berlaku dua tahunterhitung sejak tanggal diundangkan padatanggal 30 Juli 2012 sehingga baru berlakupada tanggal 30 Juli 2014. Tidak langsung berlakunya UU ini dimaksudkan untuk memberi waktu kepada para penegak hukum, pemerintah dan masyarakat untuk dapatmemahami nilai-nilai baru yang terdapat dalam UU SPPA. Kondisi inilah yang menurut penulismembuat beberapa kasus pidana anak terjadiinkonsistensi dalam memberlakukan ketentuanperaturan perundang-undangan. Seperti padakasus pencurian bebek, pada tahap awal hinggake persidangan konsep diversi dalam UU SPPA telah diberlakukan sedangkan pada vonis,hakim tetap mempergunakan pendekatan UU
            Menurut Prof. Muladi[9], ahli hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang, tujuan utama keadilan restoratif adalah mereparasi kerugian korban, pengakuan pelaku atas kerugian akibat tindak pidana yang dia lakukan, konsiliasi atau rekonsiliasi antara pelaku, korban dan masyarakat, reintegrasi pelaku, dan menyelesaikan konflik secara damai.
             Karena itu pula, dalam sebuah acara di BPHN (26/8), Prof Muladi [10]menggarisbawahi pentingnya menjaga keamanan dan konfidentialitas para pihak dalam proses mencapai keadilan restoratif. Termasuk memperhatikan syarat dan fakta yang relevan dengan peristiwa. Jika tidak tercapai kata sepakat, maka kemungkinan besar kasus itu akan dikembalikan kepada sistem peradilan pidana.

Permasalahan Terkait Mediasi dan Diversi
            Ada satu kewajiban yang dibebankan kepada pengadilan negeri, dalah hal ini ketua pengadilan negeri terkait dengan proses diversi, baik yang dilaksanakan di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan. Terhadap hasil proses diversi yang menghasilkan kesepakan di setiap tingkatan proses peradilan pidana, ada kewajiban untuk melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat yang kemudian wajib untuk mengeluarkan Penetapan. Mengenai apa isi penetapan tersebut, sama sekali tidak disebutkan dalam undang-undang sistem peradilan anak. Apabila dilihat dari bahwa kesepakatan diversi adalah berupa kesepakatan-kesepakatan (antara korban dan terdakwa anak) maka isi yang harus termuat adalah semacam penghukuman kepada kedua belah pihak untuk menaati apa-apa yang telah disepakatinya tersebut. (semacam putusan perdamaian dalam perkara perdata dimana proses mediasi berhasil).
            Masih terkait dengan penetapan ketua pengadilan tersebut, tentu secara administratif akan diperlukan register dan atau penomoran dalam rangka tertib administrasi. Selanjutnya apakah ketua pengadilan dalam mengeluarkan penetapan tersebut hanya semacam stempel pengesahan saja, ataukah ada kewenangan untuk menilai isi kesepakatan diversi (jangan sampai melanggar hukum apa-apa yang telah disepakati, misalnya), tentang hal ini juga tidak secara jelas ada diatur.
Selanjutnya terkait dengan penetapan dari ketua pengadilan terhadap kesepakatan diversi, apabila pada tahap penyidikan dan penuntutan, penetapan tersebut bukan merupakan produk akhir, maka dalam proses diversi di tingkat persidangan maka penetapan ketua pengadilan merupakan produk akhir yang akan mengakhiri proses peradilan pidana anak.
Dalam tingkat penyidikan dan penuntutan, setelah adanya penetapan ketua pengadilan negeri, penyidik atau penuntut umum sesuai tingkat pemeriksaan yang kemudian akan mengeluarkan produk hukum yang akan mengakhiri perkara, yaitu baik berupa penetapan penghentian penyidikan maupun penetapan penghentian penuntutan, kedua produk hukum tersebut (penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan) adalah memang merupkan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik dan penuntut umum yang selama ini sudah dikenal. Tentu ketentuan dalam undang-undang sistem peradilan anak mengenai diversi ini sebagai alasan yang dapat digunakan untuk penyidik dan penuntut umum menggunakan kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut.
            Lalu bagaimana dengan penetapan ketua pengadilan terhadap hasil kesepakatan diversi yang dilakukan pada tahan persidangan. Apabila mencermati bunyi pasal dalam undang-undang sistem peradilan anak, maka produk berupa penetapan ketua pengadilan tersebut yang akan menjadi akhir dari suatu proses peradilan pidana dalam perkara anak. Selama ini asas umum, bahwa pengadilan yang menerima perkara akan menyidangkan perkara sampai dengan putusan (dalam hal ini akan ditentukan status hukum atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, apakah terbukti, lepas atau tidak terbukti dan bebas). Dengan penetapan ketua pengadilan negeri (yang isinya berupa penghukuman untuk menaati hasil kesepakatan diversi) yang kemudian mengakhiri perkara, maka selanjutnya jaksa yang akan melaksanakan penetapan (dalam hal ini memastikan bahwa isi kesepakatan diversi terlaksana dengan baik) sehingga dengan demikian berkas perkara akan menjadi arsip di pengadilan negeri.
Kesepakatan Mediasi dan Diversi Tidak Dilaksanakan
            Meskipun pada dasarnya kesepakatan diversi adalah hasil musyawarah mufakat antara korban dan terdakwa anak/keluarganya, bukan tidak mungkin terjadi wanprestasi di dalamnya. Hal ini juga sudah di atur dalam undang-undang sistem peradilan anak. Terkait hal tersebut apabila diversi masih pada tahap penyidikan dan penuntutan maka tidak akan terlalu menimbulkan permasalahan, dalam arti penyidik atau penuntut umum yang telah mengeluarkan penetapan penghentian penyidikan dan atau penuntutan tinggal membuka kembali berkas dan melanjutkan proses hukum sesuai dengan tahapannya. Akan menimbulkan kesulitan ketika proses diversi yang terjadi di tahap persidangan, apabila ternyata penetapan ketua pengadilan yang menghentikan perkara (tidak dikenal dalam hukum acara secara umum, sebagaimana penghentikan penyidikan dan atau penuntutan) berdasar kesepakatan diversi, ternyata isi kesepakatan tidak dilaksanakan maka bagaimana mekanisme membuka kembali perkara tersebut. Jika dalam penyidikan dan penuntutan sepenuhnya kewenangan penyidik atau penuntut umum, maka dalam proses persidangan selain pengadilan (ketua pengadilan dan atau hakim/majelis hakim) di dalamnya juga terlibat penuntut umum dan penasehat hukum terdakwa anak. Apabila perkara dibuka kembali, apakah dengan demikian akan diberi nomor baru (atau melanjutkan nomor yang lama), selanjutnya ditunjuk hakim/majelis hakim baru atau yang lama, dan seperti persidangan perkara pidana pada umumnya maka pada siding pertama ada kewajiban penuntut umum untuk langsung menghadirkan terdakwa berikut saksi korban, selanjutnya apakah dimungkinkan untuk proses diversi kembali, adalah beberapa hal yang akan muncul dan menyulitkan dalam praktek apabila tidak ada pengaturan lebih lanjut.
            Konsep mediasi dalam memunculkan keadilan restoratif di Indonesia memang masih baru. Konsep ini, menurut Mahfud M.D.[11], merupakan perkembangan dari teori keadilan dengan suatu pendekatan berbeda. Tindak pidana dipandang sebagai penyakit masyarakat yang harus disembuhkan, bukan sekadar sebagai tindakan melanggar aturan hukum. Penyembuhan inilah yang menjadi perhatian utama, bukan pada penghukuman terhadap pelaku. Dengan kata lain, terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan suatu tindakan pidana lebih diutamakan untuk diberikan sanksi berupa tindakan seperti pengembalian kepada orang tua atau mengikuti pendidikan dan pelatihan.
             Konsep keadilan restoratif juga masih belum sepenuhnya dipahami oleh penegak hukum. Pendekatan yang digunakan masih sangat kaku karena menunggu terbentuknya Peraturan Pemerintah terkait UU SPPA. Suhadi sangat berpergang pada asas legalitas dan kepastian hukum.
            Kondisi ini sudah diprediksi sehingga kemungkinan adanya keadilan restoratif dapat berbenturan dengan asas legalitas dan tujuan kepastian hukum. Namun demikian, benturan itu dengan sendirinya akan terselesaikan ketika yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah kepastian hukum yang adil.
            Apabila semua hakim memiliki pendekatan seperti hakim Suhadi tentunya pemberlakuan UU SPPA haruslah menunggu setidak-tidaknya sampai dengan tanggal 30 Juli 2015. Kondisi ini dimungkinkan oleh UU SPPA sendiri karena berdasakan Pasal 107 UU SPPA, peraturan pelaksanaan ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU SPPA diberlakukan. Hingga saat ini memang belum ada satupun PP terkait UU SPPA. Dalam beberapa kesempatan seperti pertemuan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai leading sector dari pembuatan PP terkait UU SPPA menyatakan
bahwa awal bulan Agustus 2014, PP akan selesai. Kenyataannya hingga saat ini hal ini tidak terlaksana. Salah satu penyebabnya adalah sistem penganggaran tidak memungkinkan pembahasan dilakukan pada tahun 2013 sehingga pembahasannya baru dapat dilakukan pada tahun 2014 bersamaan dengan berlakunya UU SPPA.
            Implementasi diversi bagaimanapun juga harus dilakukan secara selektif setelah melalui berbagai pertimbangan sebagaimana dikemukakan Ferli Hidayat bahwa kenakalan anak dapat dipertimbangkan dari kategori kenakalan atau kejahatan yang dilakukannya dalam tiga kategori yaitu tingkat ringan, sedang, dan berat. Secara umum anak-anak yang melakukan kenakalan ringan sedapat mungkin diversi dilakukan. Untuk kejahatan berat maka diversi bukanlah pilihan. Kejahatan yang tergolong ringan sebagai petty crime, seperti pencurian ringan, penyerangan ringan tanpa menimbulkan luka, atau kerusakan ringan pada harta benda. Kenakalan atau kejahatan yang tergolong sedang adalah tipe kejahatan yang di dalamnya terdapat kombinasi antara semua kondisi. Semua kondisi menjadi pertimbangan untuk menentukan ketepatan untuk dilakukan diversi atau tidak dilakukan diversi. Untuk kejahatan berat seperti penyerangan seksual dan penyerangan fisik yang menimbulkan luka parah. Keadaan-keadaan yang terdapat pada anak sebagai pelaku kejahatan berbeda-beda. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat menjadi pertimbangan implementasi diversi perlu dicermati. Beberapa faktor situasi yang menjadi pertimbangan implementasi diversi, dapat dikemukakan sebagai berikut[12]:
(i) Tingkat keseriusan perbuatan: ringan, sedang atau berat. Latar belakang perbuatan timbul dapat menjadi pertimbangan,
(ii) Pelanggaran yang sebelumnya dilakukan
(iii) Derajat keterlibatan anak dalam kasus
(iv) Sikap anak terhadap perbuatan tersebut. Jika anak mengakui dan menyesali, hal ini dapat menjadi pertimbangan.
(v) Reaksi orang tua dan/atau keluarga terhadap perbuatan tersebut,
(vi) Usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan atau meminta maaf pada korban,
(vii) Dampak perbuatan terhadap korban,
(viii) Pandangan korban tentang metode penanganan yang ditawarkan.
(ix) Dampak sanksi atau hukuman yang sebelumnya pernah diterima oleh pelaku anak.
(x) Apabila demi kepentingan umum, maka proses hukum harus dilakukan.
            Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Ferli Hidayat terdapat faktor-faktor penghambat terhadap upaya implementasi ide diversi dalam system peradilan pidana anak Indonesia saat ini. Faktor-faktor tersebut[13] yaitu:
1) Hambatan Internal. Walaupun keadilan Restoratif Justice dan Diversi sudah mulai dikenal sebagai alternatif penanganan anak berhadapan dengan hukum dari peradilan pidana dan mulai mendapatkan dukungan banyak pihak masih banyak hambatan yang dihadapi oleh sistem peradilan anak yaitu:
(i) Kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan sumber daya (baik personel maupun fasilitas)
(ii) Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum dan korban di antara aparat penegak hukum
(iii) Kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat (aparat penegak hukum dan pekerja sosial anak),
(iv) Permasalahan etika dan hambatan birokrasi dalam penukaran data dan informasi antara aparat penegak hukum
(v) Koordinasi antara aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Bapas, Rutan, Lapas) masih tersendat karena kendala ego sektoral
(vi) Belum ada persamaan persepsi antar-aparat penegak hukum mengenai penanganan anak berhadapan dengan hukum untuk kepentingan terbaik bagi anak
(vii) Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan dengan hukum selama proses pengadilan (pra dan pasca putusan pengadilan)
(viii) Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses rehabilitasi social anak nakal dalam hal ini Departemen social atau Organisasi sosial kemasyarakat yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja sehingga dapat dikirim ke panti sosial untuk dibina secara khusus diberi pemulihan mental dan perilaku
(ix) Kurangnya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana namun kehendak demikian tidaklah mudah dilakukan karena kerena ketentuan dalam system pemasyakatan anak saat ini tidak memberi peluang yang demikian
(x) Pandangan penegak hukum sisem peradilan pidana anak masih berpangkal pada tujuan pembalasan atas perbuatan jahat pelaku anak, sehingga hakim akan menjatuhkan pidana semata-mata diharapkan agar anak jera.
2) Hambatan Eksternal. Bahwa dalam menerapkan sistem Restoratif Justice dan Diversi masih banyak  hambatan eksternal yang ditimbulkan yaitu:
(i) Ketiadaan payung hukum. Belum adanya payung hukum menyebabkan tidak semua pihak memahami implementasi keadilan restorative dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Akibatnya sering ada pihakpihak yang mengintervensi jalanya proses mediasi. Banyak pihak yang belum memahami prinsip dalam ketentuan pasal 16 ayat (3) Undang-Undang tentang perlindungan anak yang menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan, penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya terakhir. Selain itu Undang- Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup. Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dan Kepentingan Terbaik bagi Anak bagi implementasi ide diversi. Namun demikian sebenarnya jika melihat pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Keputusan Presiden tentang Pengesahan Hak-Hak Anak, terdapat ketentuan yang mengarah dan menghendaki implementasi diversi. Patut disayangkan karena penegak hukum cenderung melalaikan hal tersebut.
(ii) Inkonsistensi penerapan peraturan. Belum adanya payung hukum sebagai landasan dan pedoman bagi semua lembaga penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan di lapangan dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum masalah yang paling sederhana dapat dilihat pada beragamnya batasan yang menjadi umur minimal seorang anak pada peraturan-peraturan yang terkait.
Akibatnya aparat penegak hukum membuat putusan yang tidak konsisten dalam kasus anak berhadapan engan hukum yang memiliki kemiripan unsur-unsur perbuatan,
(iii) Kurangnya dukungan dan kerja sama antar lembaga. Masalah ini merupakan hambatan yang lain yang masih banyak terjadi dalam menegakkan suatu ketentuan hukum, termasuk penanganan anak berhadapan dengan hukum banyak kalangan professional hukum yang masih menganggap mediasi sebagai metode pencarian keadilan kelas dua dengan berpandangan bahwa mediasi tidak berhasil mencapai keadilan sama sekali karena tidak lebih dari hasi kompromi pihak-pihak yang terlibat, padahal saat ini hakim adalah satu-satu pihak yang bisa memediasi perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak seperti mediasi perdata yang memper-bolehkan non-hakim menjadi mediator di pengadilan.
(iv) Pandangan masyarakat terhadap perbuatan tindak pidana. Ide diversi masih terhalang adanya pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.


II.c Efektivitas Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014 Tentang Diversi Tindak Pidana Delinkuensi Anak

            Sistem diversi adalah pengalihan penyelesaian hukum dari peradilan formal ke luar peradilan formal. Dengan cara musyawarah yang melibatkan tokoh masyarakat. Dimana mediasi dalam hal ini menjadi tahap terpenting dalam menghasilkan keadilan yang restorative.
            Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak yang seyogianya sudah harus diterapkan per 1 Agustus 2014 sebagai pengganti UU Nomor 3 Tahun 2007.
            Mahkamah Agung merespon Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan sangat progresif. Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Hatta Ali menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan sebelum Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU SPPA dikeluarkan. Poin penting PERMA tersebut bahwa Hakim wajib menyelesaikan persoalan ABH dengan acara Diversi yang merupakan prosedur hukum yang masih sangat anyar dalam sistem dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Disamping itu juga, PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan Hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.
            Selanjutnya diatur dalam UU 11 tahun 2012 dan PERMA 4 tahun 2014
Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
            Menurut PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.
            Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
            Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undang-undang semata tetapi juga memodfikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukumpun tercapai. Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah untuk mufakat”. Sehingga muediasi dan diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
            Jika kesepakan mediasi dan diversi diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.
            Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :
            a. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
b.Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
c.Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
            Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.
            Perma No. 4 Tahun 2014 salah satu upaya MA untuk mengisi kekosongan hukum acara tentang pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan anak. Aturan itu hanya ditujukan untuk internal hakim, tetapi bisa saja diikuti penegak hukum lain (tidak wajib). Karena itu, MA tidak bisa menunggu lagi karena per 1 Agustus 2014 UU SPPA harus sudah diberlakukan. Makanya itulah alasan konvensional Mahkamah Agung dalam menerbitkan Perma itu.
            Penegakan hukum menjadi kunci agar terjaganya norma-norma yang ada di masyarakat. Dengan penegakan hukum yang profesional dan proporsional akan dapat menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukumnya sendiri sehingga kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan terwujud. Bila hal ini dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat maka tidak akan pernah terjadi penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat diselesaikan dengan cara-cara yang melanggar hukum.
            Kejahatan atau tindak pidana sebagai salah satu bentuk dan perilaku menyimpang, bukanlah merupakan sikap bawaan sejak lahir (hereditas) atau karena warisan biologis seseorang, tetapi kejahatan dapat timbul dari banyak sebab. Salah satunya adalah dampak negatif dan reformasi yang ditafsirkan secara keliru oleh masyarakat.
            Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana). Secara kasar dapatlah dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik-beratkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
            Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
            Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut[14] :
  1. Penanganan konflik (conflict handling/confliktbearbeitung) :
Tugas mediator­ adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2.      Berorientasi pada proses (process orientation/prozessorientierung):
 Mediasi penal lebih beror­ientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.
3.      Proses informal (informal proceeding/informalität) :
 Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
4. Partisipasi aktif dan otonom para pihak (active and autonomous partici-pation-           parteiautonomie/subjektivie-rung)
5.  Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
            Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflic dan conflic of roles). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi kesenjangan peranan (role-distance).
            Untuk mengatasi hal ini, menurut Satjipto Rahardjo[15] pemecahannya dapat dibantu dengan menggunakan teori fungsi (functie theorie) yang dikemukakan oleh Herman Heller bahwa fungsi institusi negara adalah untuk melindungi masyarakat dan segala macam kepentingan yang bertentangan dengan hukum yang dapat menimbulkan ketidaktertiban. Untuk itu harus ada instansi yang mengatur dan sekaligus mempunyai fungsi atau wewenang agar tidak terjadi kekacauan. Dalam pengertian fungsi terkandung arti tugas, task atau werking yang meliputi lingkungan pekerjaan dan suatu institusi dalam hal mana ditetapkan tugas dan wewenang yang menjadi kompetensinya. Juga dalam pengertian fungsi terkadung pengertian hubungan timbal balik antara instansi atau aparatur yang ada kaitannya dengan tugas ketertiban tersebut.
            Berdasarkan posisi yang dijelaskan di a­tas, tampak bahwa institusi negara atau lembaga pemerintahan (termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia), adalah sebagai instrumen masyarakat (the state in an instrument of social man). Jadi, teori ini mencoba menjawab bahwa setiap organisasi negara atau lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan sekaligus dalam melaksanakan tugas/wewenang tersebut mempunyai hubungan timbal
            Lahirnya kewenangan diskresi pada kepolisian didasarkan pada Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Replik Indonesia, Pasal 18 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
            Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
            Dalam praktek penanganan anak yang berhadapan dengan hukum pada tingkat kepolisian sebagai pelaku maupun baik bagai saksi/korban tidak mempedomani peraturan-peraturan tentang anak seperti:
1.Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak;
2.Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
3.Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
4.Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri;
5.Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.                                  Menurut konsep diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang berhadapan dengan hukum, yang dikeluarkan oleh Kabareskrim Polri disebutkan, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaki kembali. Menghindarkan anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif.
            Keuntungan pelaksanaan mediasi dan diversi tersebut bagi anak, yakni[16]:
a. Anak tidak perlu ditahan (menghindari penahanan);
b. Menghindari stigma/cap/ sebagai penjahat;
c. Peluang bagi anak meningkatkan keterampilan hidup;
d. Peluang bagi anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
e. Tidak melakukan pengulangan tindak pidana;
f. Mencegah memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan;
g. Bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal;
h.Menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan menjauhkan anak-anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan;

Menjadi masalah serius di Indonesia yaitu ketika Undang-undang itu dibuat tetapi belum ada peraturan pelaksanaannya sehingga dalam praktiknya bisa menimbulkan perbedaan pemahaman Bahwa peraturan pemerintah belum ada yang mengaturnya, sehingga kadang kala sering terbentur ketika ditolak pada saat pelimpahan. PP-nya belum terbit, untuk sementara menggunakan Perma RI Nomor 4 Tahun 2014 sejauh tidak menyalahi UU.
Koordinasi terkait terjadinya perpanjangan penahanan itu sangatlah tidak efektif dan menunjukkan bahwa adanya lubang “hole” dalam aturan itu sendiri. Diperlukan subjektivitas yang konsisten dan dapat dipertanggung jawabkan dalam memilah mana yang cocok untuk di-diversi dan mana yang harus dilanjutkan. Jika memang sudah diupayakan untuk diversi tapi tidak menemui hasil maka harus dilanjutkan, karena hukum pidana itu upaya terakhir jika diversi tidak dapat tercapai.
            Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 mengatur tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA. Dalam kasus anak berkelahi atau mencuri jambu, penyidik tidak boleh melakukan penahanan tapi harus memanggil pihak-pihak terkait untuk mediasi.
Penyidik itu terlebih dahulu harus melakukan proses diversi. Memanggil pihak-pihak terkait. Orang tuanya, pelaku, korban, badan pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakan. Itu harus dipanggil semua untuk duduk bersama kemudian didengarkan. Kalau itu berhasil, berarti ada kesepakatan diversi. Misalnya kalau dipukul, diobati luka-lukanyanya, dimaafkan. Diversi berhasil jika ada perdamaian. Jika diversi berhasil dilakukan tetapi anak yang menjadi pelaku melanggar kesepakatan, maka diversi dianggap batal
            Perma No. 4 Tahun 2014 salah satu upaya MA untuk mengisi kekosongan hukum acara tentang pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan anak. Aturan itu hanya ditujukan untuk internal hakim, tetapi bisa saja diikuti penegak hukum lain (tidak wajib).

            Kekurangan Perma diversi juga membutuhkan peraturan teknis mengenai sertifikasi hakim, jaksa, dan penyidik yang menangani kasus tindak pidana yang melibatkan anak. Sertifikasi itu penting, pihak kejaksaan dan kepolisian juga perlu menyediakan ruang khusus diversi atau mediasi. Ini semua mesti diatur dalam Peraturan Pemerintah.














BAB III
PENUTUP

            Dari pemaparan diatas secara garis besar Efektivitas Pelaksanaan Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut:          

1.      Dasar aturan Pelaksanaan mediasi dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia pada dasarnya mengacu pada Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Mediasi dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak pada dasarnya merupakan bentuk penanganan non formal yang mulai dimasukkan (dipositifkan) dalam aturan Sistem Peradilan Anak yang mengusung ketercapaian keadilan restoratif ditiap tahapannya tanpa mengabaikan legalitas dan kepastian hukum, yaitu kepastian yang didasarkan tujuan kepastian hukum itu sendiri.

2.      Efektivitas pelaksanaan Mediasi dalam tindak pidana Delinkuensi anak di Indonesia masih jauh dari efektif. Hal ini diantaranya disebabkan karena:
a.       Keinginan besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara bukan saja membuat  penjara penuh, tetapi juga menghambat penerapan keadilan restoratif. Bahkan dalam hal pelaku tindak pidana anak-anak, kultur menghukum yang tumbuh subur di masyarakat akan menghambat penerapan mediasi dan diversi dalam memunculkan keadilan yang restorative justice.
b.      Inkonsistensi pemberlakuan peraturan peradilan pidana anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) tidak langsung berlaku pada saat diundangkan. Jeda waktu pemberlakuan UU menjadi celah ukum terkait konsep keadilan restoratif pada pidana anak yang mengedepankan penyelesaian kasus dengan mementingkan hak anak melalui pemulihan pada keadaan semula.
c.       Dalam praktiknya menimbulkan perbedaan pemahaman karena peraturan pemerintah belum ada yang mengaturnya, sehingga terbentur ketika ditolak pada saat pelimpahan. Sedangkan penggunaan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2014 sejauh tidak menyalahi Undang-undang membuktikan kebingunan dari negara dalam hal ini Mahkamah Agung itu sendiri, karena Peraturan Mahkamah Agung hanya mengikat Hakim dan tidak mengikat instansi Kepolisian dan Kejaksaan serta instansi terkait lainnya yang merupakan ranah Peraturan Pemerintah.

Saran :
  1. Diperlukan adanya Optimalisasi continue dan konsisten terkait pemahaman dalam pelaksanaan dan pengawasan penegakan hukum terkait mediasi tiap tahapan baik dimulai dari penyidikan, penuntutan hingga sampai di persidangan.
  2. DPR perlu lebih mempertimbangkan konsekuensi UU jika tidak diberlakukan segera setelah diundangkan. DPR juga perlu mendesak pemerintah untuk segera mengundangkan peraturan pemerintah dan menyosialisasikan pentingnya konsep keadilan restorative di masyarakat.
  3. Diharapkan dapat dimasukkannya variasi antara konsep restorative justice dengan mediasi penal berdasarkan kearifan lokal yang pada hakikatnya dijalankan masyarakat adat dan kini hendaknya dapat diangkat ke dalam hukum positif dalam hal ini dalam Rancangan KUHP yang akan mendatang.



















 

Lampiran.1

Pelaksanaan Mediasi Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak berdasarkan  UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

No
PERIHAL
UU SPPA
(UU NO. 11 TAHUN 2012)
UU PENGADILAN ANAK
(UU NO. 3 TAHUN 1997)
1.        
Penuntutan Perkara Anak
Penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum Anak, dalam hal belum ada tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa (Pasal 41)
Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP (Pasal 54)
2.        
Diversi pada tingkat Penuntutan
Penuntut Umum wajib melakukan diversi (Pasal 7, Pasal 42 )
Tidak diatur
3.        
Ketentuan Diversi Pada Tingkat Penuntutan
1.Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.
2.Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
3.Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan:
-Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
4.Dalam hal Diversi gagal:
-Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan penelitian kemasyarakatan
 (Pasal 42ayat 1 s/d 4)

4.        
Penunjukkan Hakim Pemeriksa Perkara Anak
Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum (Pasal 52 (1)

5.        
Hakim Pemeriksa Perkara Anak
1.Hakim (pertama/banding/kasaksi) memeriksa dan memutus perkara Anak dengan hakim tunggal (Pasal 44 (1),  Pasal 47 (1) , Pasal 50 (1)
2.KPN/KPT/KMA dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya (Pasal 44 (2),  Pasal 47 (2) , Pasal 50 (2)
3.Dalam setiap persidangan Hakim dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti (Pasal 44 (3),  Pasal 47 (3) , Pasal 50 (3)
1.Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.
2.Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
3.Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti (Pasal 11, 14, 18)
6.        
Syarat Menjadi Hakim Anak
1.    telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum;
2.    mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak;
Memahami: 1) pembinaan Anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin Anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik; 2) pertumbuhan dan perkembangan Anak; dan 3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang memengaruhi kehidupan Anak;dan
3.    telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(Pasal 43 ayat (2), Pasal 46, Pasal 49)
Catatan:
Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi syarat UU SPPA, Hakim pada pengadilan yang telah ditetapkan sebagai Hakim Anak berdasarkan SK KMA sesuai UU No. 3 Tahun 1997  ditetapkan sebagai Hakim Anak berdasarkan UU SPPA (Pasal 10 Perma No. 4 Tahun 2014)
a.    telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan
b.    mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak
(Pasal 10, 13 dan 17)
7.        
Diversi pada tingkat
pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri
- Hakim wajib melakukan diversi (Pasal 7, Pasal 52)
- Yang melakukan diversi dinamakan dengan Fasilitator Diversi yakni Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan (Pasal 1 angka 2 PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPA)
- Diversi dilakukan melalui Musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak terkait (Pasal 8 ayat 1) dan menurut Pasal 1 angka 1 Perma Diversi, musyawarah diversi adalah musyawarah antara para pihak untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan Keadilan Restoratif.
Tidak diatur
8.        
Ketentuan Diversi Pada pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri
1.    Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.
2.Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari
3.Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.
(Pasal 52 ayat 2,3 dan 4)

9.        
Syarat Perkara Anak yang Wajib di Laksanakan Diversi
a.Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat 2)
b.Dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan Subsidaritas, alternative, kumulatif, maupun kombinasi (Pasal 2 PERMA No. 4 Tahun 2014)

10.    
Diversi menghasilkan Kesepakatan
Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan Hakim menyampaikan :
- berita acara Diversi beserta
-  kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan (Pasal 52 ayat 5)

11.    
Diversi tidak berhasil/ tidak menghasilkan Kesepakatan
Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan (Pasal 52 ayat 6)

12.    
Pengawasan Proses dan Hasil Kesepakatan Diversi
1.Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan (KPN).
2.Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, PK wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan (Pasal 14 ayat 1, 2)

13.    
Hasil Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan oleh Anak
1.Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, PK segera melaporkannya kepada KPN (Pasal 14 ayat 3)
2.KPN wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari (Pasal 14 ayat 4)
Bentuk dari “menindaklanjuti laporan”??
1.Pendapat Pertama : bentuk tindak lanjut laporan adalah KPN mengeluarkan Penetapan untuk mencabut hasil kesekatan diversi dan perintah untuk meelanjutkan penyidikan/penuntutan/persidangan;
2.Pendapat Kedua: digunakan langkah teguran terhadap anak (mengadopsi teguran dalam perkara perdata) yakni
- Anak ditegur untuk melaksanakan kesepakatan diversi tersebut, karena ada klausula “KPN wajib menindaklanjuti laporan”
- Jika anak setelah ditegur tetap tidak melaksanan Kesepakatan Diversi maka Ketua mengeluarkan Penetapan untuk mencabut hasil kesekatan diversi dan perintah untuk meelanjutkan penyidikan/penuntutan/persidangan;
3.Sidang Anak dilanjutkan karena menurut :
- Pasal 13 huruf b Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan
Pasal 52 ayat 6, Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan

14.    
Permasalahan dalam Pelaksanaan Diversi di pengadilan negeri
1.  Langkah hukum jika terdapat berkas perkara yang wajib dilakukan diversi akan tetapi diversi tidak dilaksanakan oleh Penyidik/Penuntut Umum?
2. Proses dan Tata Cara melakukan Diversi ?
3. Keterlibatan Penuntut Umum dalam diversi di PN ?
4.    Pihak yang berkewajiban melakukan pemanggilan terhadap para pihak terkait  dalam diversi ?
5.    Dapatkah dilakukan upaya paksa untuk menghadirkan pihak yang harus hadir dalam diversi yang telah dipanggil patut tetapi tidak hadir ?
6.    Biaya panggilan pihak yang terkait diversi ?
7.    Dikenal ataukah tidak dikenal Biaya perkara diversi, seperti biaya perkara pidana atau perdata atau tidak dikenal sama sekali?
8.    Status perkara yang diversinya berhasil, cukup dengan Penetapan dari KPN ataukah Hakim membuat putusan/penetapan terkait perkara tersebut ?
Karena untuk Penyidik setelah ada PENETAPAN dari KPN harus menerbitkan penetapan penghentian penyidikan dan Penuntut Umum harus menerbitkan penetapan penghentian penuntutan (Pasal 12 ayat 5)
9.    Hakim dan KPN dapat merubah/memperbaiki Hasil Kesepakatan diversi ?
10. Pengaturan Barang Bukti dalam hal diversi berhasil ?
11. Upaya hukum jika hasil kesepakatan diversi tidak dilaksanakan anak ?
12. Dalam hal hasil kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, apakah memerlukan penetapan baru untuk mencabut penetapan diversi berhasil dari KPN ?
13. Dalam hal hasil kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan maka sidang dilanjutkan, hal ini menimbulkan masalahan mengenai asas praduga tidak bersalah dan asas pembuktian?
Pembuktian dalam Diversi “menganggu” pembuktian persidangan.
14. Hakim PT dan Kasasi bisa melakukan diversi ?

15.    
Pelaksanaan Diversi di Pengadilan Negeri menurut PERMA Diversi
1.    Persiapan Diversi
2.    Tahapan Musyawarah Diversi
3.    Kesepakatan Diversi

16.    
Persiapan Diversi menurut PERMA Diversi
1.    Setelah menerima Penetapan KPN untuk menangani perkara anak yang wajib diupayakan Diversi Hakim mengeluarkan PENETAPAN HARI MUSYAWARAH DIVERSI
2.    PENETAPAN Hakim memuat perintah kepada Penuntut Umum yang melimpahkan perkara anak untuk menghadirkan :
-    Anak dan orang tua/Walinya atau Pendampingnya
-    Korban dan/atau orang tua/Walinya
-    Pembimbing Kemasyarakatan
-    Pekerja Sosial Profesional
-    Perwakilan masyarakat
-    Pihak-pihak terkait lainnya
3.  PENETAPANHakim mencantumkan hari, tanggal, waktu serta tempat dilaksanakannya Musyawarah Diversi (Pasal 4 Perma No. 4 Tahun 2014)

17.    
Tahapan Musyawarah Diversi menurut PERMA Diversi
1.    Musyawarah Diversi dibuka oleh Fasilitator Diversi dengan perkenalan para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakatai para pihak yang hadir
2.    Fasilitator diversi menjelaskan tugas fasilitator diversi
3.    Fasilitator diversi menjelaskan ringkasan dakwaan dan PK memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan social Anak serta memberikan saran  untuk memperoleh penyelesaian.
4.    Fasilitator diversi wajib memberikan kesempatan kepada :
a.    Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
b.    Orangtua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitana dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
c.     Korban/Anak Korban/Orang tua/wali untuk memberi tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
5.    Pekerja social professional memberikan informasi tentang keadaan social anak korban serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian yang diharapkan
6.    Bila dipandang perlu Fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian.
7.    Bila dipandang perlu, Fasilitator diversi dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus) dengan para pihak.
8.    Fasilitator diversi menuangkan hasil musyawarah diversi ke dalam Kesepatan Diversi
9.    Dalam menyusun kesepakatan diversi, Fasilitator diversi memperhatikan dan mengarahkan agar kesepakatan tidak bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, atau memuat hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan anak atau memuat itikad tidak baik.
(Pasal 5 Perma No. 4 Tahun 2014)

18.    
Kesepakatan Diversi menurut PERMA Diversi
1.    Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi dan ditandatangani oleh Fasilitator diversi dan Panitera/ Panitera Pengganti
2.    Kesepakatan diversi ditandatangani oleh Para Pihak dan dilaporkan kepada KPN oleh Fasilitator Diversi
3.    KPN mengeluarkan PENETAPAN Kesepakatan Diversi berdasarkan kesepatakan diversi.
-    Penetapan KPN atas kesepakatan diversi memuat pula penentuan status barang bukti yang telah disita dengan memperhatikan Kesepakatan Diversi (Pasal 9 Perma No. 4 Tahun 2014)
4.    KPN dapat mengembalikan Kesepakatan Diversi untuk diperbaiki Fasilitator Diversi apabila tidak memenuhi syarat Pasal 5 ayat 9, selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari.
5.    Setelah menerima penetapan dari KPN, Hakim menerbitkan Penetapan Penghentian Pemeriksaan Perkara (Pasal 6 Perma No. 4 Tahun 2014)
6.    Fasilitator Diversi tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi Kesepakatan Diversi.
(Pasal 8 Perma No. 4 Tahun 2014)

19.    
Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan Anak menurut PERMA Diversi
1.    Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan hasil laporan dari PK Bapas, Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan hukum acara Peradilan Pidana Anak
2.    Dalam menjatuhkan putusan, Hakim wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian Kesepakatan Diversi.
(Pasal 7 Perma No. 4 Tahun 2014)

20.    
Cara Pelaksanaan Diversi tanpa persetujuan Korban (Pasal 9 ayat (2) UUSPA)
Dalam UU SPPA dan PERMA belum diatur mengenai teknis dan pedoman pelaksanaannya

21.    
Diversi terhadap perkara anak yang didakwa melakukan tindak pidana tanpa korban
Dalam UU SPPA dan PERMA belum diatur mengenai teknis dan pedoman pelaksanaannya

Contoh dalam perkara narkotika anak didakwa sebagai Pengguna Narkotika dengan ancaman pidana minimal 1 tahun:
1.        Terhadap perkara tersebut apakah dapat dilakukan diversi ?
2.       Bagaimana teknis pelaksanaan diversinya ?
3.       Siapakah pihak yang harus hadir dalam diversi tersebut ?
4.       Apakah di tingkat pemeriksaan di persidangan dimungkinkan adanya diversi tanpa korban ?

Catatan :
Untuk di tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri, apakah dimungkin hakim melakukan diversi terhadap perkara anak tanpa korban, sehingga oleh karena Negara berkepentingan terhadap akibat tindak pidana yang dilakukan maka Negara dalam hal ini diwakili Penuntut Umum menjadi pihak dalam diversi selain anak.
Sehingga Hakim dapat melakukan diversi dengan menempatkan anak dan Penuntut Umum secara berhadapan, dalam proses ini terdapat langkah musyawarah untuk mencari kesepakatan

Contoh : dalam kasus anak pengguna narkotika, diversi dilakuan antara anak (orang tua/PK) dengan Penuntut Umum (Peksos), dalam diversi tersebut disepakati bentuk hukuman atau tindakan yang tepat untuk anak, misalnya penuntut umum meminta anak direhab selama 1 tahun dan anak menyetujuinya maka hal itu dapat diputuskan dalam diversi.
Atau memang tidak dikenal sama sekali proses Diversi perkara tanpa korban pada tingkat penuntuttan dan persidangan ?

22.    
Pemeriksaan Perkara Anak dilakukan di ruang khusus, harus di dahulukan dan bersifat Tertutup
1.    Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak (Pasal 53 ayat 1)
2.    Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa (Pasal 53 ayat 2)
3.    Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa (Pasal 53 ayat 3)
4.    Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan (Pasal 54)
Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara.
Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum (Pasal 57  ayat1)
23.    
Acara/Proses Persidangan Perkara anak
1.    Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta:
-       orang tua/Wali,

-       Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan
-       Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56)
1.    Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa dipanggil masuk beserta:
-       orang tua, wali, atau orang tua asuh,
-       Penasihat Hukum, dan

-       Pembimbing Kemasyaratan
(Pasal 57 ayat 1)
2.    Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain (Pasal 57 ayat 1)
Penjelasan Pasalnya : Ketentuan “tanpa kehadiran Anak“ dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang memengaruhi jiwa Anak Korban dan/atau Anak Saksi.
2.    Tidak ada pembacaan Litmas
3.    Pada saat memeriksa Anak Korban dan/atau Anak Saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Anak dibawa keluar ruang sidang dan :
- orang tua/Wali,

- Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan
-Pembimbing Kemasyarakatan
tetap hadir (Pasal 58 ayat 1, 2)
Sidang Anak dilanjutkan setelah Anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi pada saat Anak berada di luar ruang sidang pengadilan (Pasal 59)
3. Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang dan
- orang tua, wali, atau orang tua
asuh,
-Penasihat Hukum, dan

-Pembimbing Kemasyarakatan
tetap hadir (Pasal 58 ayat 1, 2)
4.    Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada :

-    orang tua/Wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak.

-    Anak Korban untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan (Pasal 60 ayat 1, 2)
4.    Hakim sebelum mengucapkan putusannya, memberikan kesempatan kepada :
-    orang tua, wali, atau orangtua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak (Pasal 59 1)
5.    Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara, dan jika tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan batal demi hukum (Pasal 60 ayat 3, 4)
Batal demi hukum dalam ketentuan ini adalah tanpa dimintakan untuk dibatalkan dan putusan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5.    Putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 59 ayat 2)
Penjelasan Pasal 59, Yang dimaksud dengan "wajib" dalam ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan batal demi hukum.
6.    Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak (Pasal 61)
6.    Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 59)
24.    
Pihak yang wajib hadir dalam sidang anak
Hakim wajib memerintahkan :

-          orang tua/Wali atau pendamping,
-          Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan
-          Pembimbing Kemasyarakatan
untuk mendampingi Anak (Pasal 55 ayat 1)
Pasal 55 Ayat (1) Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan tanggung jawab Anak sendiri, tetapi karena dalam hal ini terdakwanya adalah Anak, Anak tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua/Wali.
Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi :
-          orang tua, wali, atau orang tua asuh,
-          Penasihat Hukum, dan
-          Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 57 ayat 1)
25.    
Pihak yang dapat memberikan Bantuan Hukum bagi Anak
Bantuan hukum bagi anak menurut SPPA dapat diberikan oleh :
-          Penasihat Hukum/Advokat dan
-          “pemberi bantuan hukum lainnya” yaitu paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum (vide penjelasan Pasal 18 UU SPPA).
Bagaimana Teknis dari pemberian bantuan hukum dari paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dipersidangan ??
-          harus ada surat izin beracara?
-          Harus ada surat kuasa Khusus dari Anak ?
-          Memiliki hak untuk bertanya di persidangan ?
-          Memiliki hak untuk mewakili anak melakukan upaya hukum di persidangan mis. Mengajukan pembelaan ?
-          Memiliki hak unuk mewaliki anak mengajukan upaya hukum atas putusan perkara anak ?

26.    
Kehadiran Orang tua/Wali dan/atau pendamping dalam sidang Anak
1.    Orang tua/wali/pendamping wajib diperintahkan Hakim untuk mendampingi anak;
2.    Dalam hal orang tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi:
-          Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau
-          Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 55 ayat 2)
Tidak ada pengaturan secara khusus
27.    
Kehadiran Advokat dalam Sidang Anak
1.    Anak DAPAT tidak dampingi oleh Advokat karena Pasal 55 ayat 2 menyatakan “sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya DAN/ATAU Pembimbing Kemasyarakatan jadi anak bisa didampingi oleh :
-    Advokat dan PK,
-    Advokat saja,
-    PK saja
2.    Anak HARUS didampingi oleh Advokat karena :
-    Pasal 56 menyatakan, Anak dipanggil masuk beserta: Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, DAN Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56)
-    Pasal 23 ayat 1 UU SPPA, Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh PK atau pendamping lain.

28.    
Kehadiran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam Sidang Anak
1.    Anak DAPAT tidak dampingi oleh PK karena Pasal 55 ayat 2 menyatakan “sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya DAN/ATAU Pembimbing Kemasyarakatan jadi anak bisa didampingi oleh :
-    Advokat dan PK,
-    Advokat saja,
-    PK saja
2.    Anak HARUS didampingi oleh PK karena :
- Pasal 23 ayat 1 UU SPPA, Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh PK atau pendamping lain.
-Pasal 56 menyatakan, Anak dipanggil masuk beserta: Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, DAN Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56)
-Pasal 57, ada kewajiban PK untuk membacakan litmas anak

29.    
Akibat Hukum jika Pihak yang wajib hadir dalam sidang anak tidak hadir
Sidang Anak batal demi hukum, jika Hakim tidak melaksanakan ketentuan anak didampingi oleh Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau PK apabila orang tua tidak hadir (Pasal 55 ayat 3)

30.    
Penyerahan Hasil Litmas untuk kepentingan Sidang Anak
PK membacakan hasil Litmas setelah surat dakwaan dibacakan (Pasal 57 ayat  1)
Sebelum sidang dibuka, PK menyampaikan laporan Litmas (Pasal 56 ayat 1)
31.    
Isi dan bentuk Laporan Litmas
Laporan berisi:
a.data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial;
b.latar belakang dilakukannya tindak pidana;
c.keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa;
d.hal lain yang dianggap perlu;
e.berita acara Diversi; dan
f.kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 57 ayat 2)
Laporan berisi :
a.       data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak; dan






b.      kesimpulan atau pendapat dari PK (Pasal 56 ayat 2)
32.    
Anak Korban atau Anak Saksi memberikan keterangan dipersidangan wajib didampingi
1.    Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh :
-    orang tua dan/atau
-    orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau
-    Pekerja Sosial (Pasal 23 ayat 2)
2.    Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang diperiksa, kewajiban untuk didampingi oleh orang tua tidak berlaku (Pasal 23 ayat 3)

33.    
Korban dan Anak saksi tidak dapat memberikan keterangan di persidangan
Hakim dapat memerintahkan Anak Korban dan/atau Anak Saksi didengar keterangannya:
a.    di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau
b.    melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya
Pasal 58 ayat 3
Tidak ada aturan secara khusus
34.    
Kewajiban Pemberian Petikan Putusan Perkara Anak
Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada :
-Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya,
-Pembimbing Kemasyarakatan, dan
-Penuntut Umum.
(Pasal 62 ayat 1)






Sumber: www.guseprayudi.blogspot.com, SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BAGIAN 3 Monday, September 8, 2014, diakses pada tanggal 10 Desember 2014


DAFTAR PUSTAKA


Daftar Buku :
Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2002.
Widnyana, I Made, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT Pikahati Aneska, Jakarta, 2009.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta, 2001.
Friedman, M. Lawrence, American Law, An Introduction, W.W. Norton, New York, 1986.
Fakrulloh, Zudan Arif, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang
Nonet, Philip and Philip Selznik, Law and Society in Transition : Toward Responsive Lw, Harper Colophon Books, Harper & Row, Publisher, New York, 1978.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988.
Peters, A.A.G., Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan Sosial, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
Rahardjo. Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1986.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditra Bakti, Bandung, 1991.
Seidman, B. Robert, Law and Development, University Wisconsin Madison.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, Surabaya: Lembaga Bantuan Hukum, 1985.
A. Masyur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum, Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum, (Jakarta, 2004)
Achmad Gunaryo, “Konflik dan Pendekatan Terhadapnya”, dalam buku M. Mukhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Semarang:WMC IAIN Walisongo, 2007.
Rahardjo Sujipto. 2006. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Manan, Bagir, 2006, Mediasi sebagai alternatif Menyelesaikan Sengketa, Majalah Hukum XXI,No. 248Juli 2006.
Arief, Barda Nawawi. 1996. Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.
Kusumaningrum, Santi. Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. (Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson) http://Santi Kusumaningrum -diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf.
Marlina. 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana. Medan. USU Press.
Soerjono, Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1996.
Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 40
Satjipto Rahardjo, Menuju Produk Hukum Progresif, Kompas, Jakara, 2004, hal.84.
Santi Kusumaningrum, Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. (Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson) http://Santi Kusumaningrum -diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia
Indonesia,1990.
Sukanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
Young Offenders Act 1997 C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Darwan Prinst, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Nandang Sambas,2010, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju,Bandung
Setya Wahydi, 2011, Implementasi Tindakan Diversi dalam Pembaruan

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)

Daftar Wabsite:
http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidana-anak-di-Indonesia, diakses 10-12-2014, Pukul 16.35 wib.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/mhv/article/view/4439/3359. JURNAL MAGISTER HUKUMUDAYANA Vol. 2 No.1 tahun 2013 > MAYA SARI diakses 07-11-2014 http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidana-anak-di-Indonesia, diakses 10-12-2014, Pukul 17.35 wib.
http://Kmfh-unud.blogspot.com/2013/04/artikel-tentang diversi-dalam-sistem.html, diakses tanggal 29-11-2014, Pukul 17.35 wib.
http://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt540036e7e328c/ma-berharap-ppdiversi- segera-terbit, diakses tanggal 20 Desember 2014, Pukul 17.35 wib. “Duh! MA Membebaskan Siswa SMK Pengedar Narkotika”,
http://news.detik.com/read/2014/08/29/103303/2675864/10/duh-ma-bebaskan-siswa-smk-pengedarnarkotika?nd772205mr, diakses tanggal 4September 2014. “Hakim Ini Penjarakan 3 Anak yang Mencuri 3 Ekor Bebek”
http://anekainfounik. net/2014/08/27/hakim-ini-penjarakan-3-anak-yang-mencuri-3-ekor-bebek/, diaksestanggal 1 Desember 2014“Perma No. 4 Tahun 2014, Ini Contoh Kasus Anak yang Sebisa Mungkin Tak Dipenjara”,
http://palingaktual.com/914329/inicontoh- kasus-anak-yang-sebisa-mungkintak-
dipenjara/read/, diakses tanggal 4  Desember 2014. “Agar Vonis Pencurian Bebek Tak Terulang,Aparat Diminta Terapkan UU SPPA”,
NN. 1 Juli 2008. Kasus Kejahatan Anak Meningkat Di Jawa Timur. http://detektifromantika.wordpress.com/2008/07/01/kasus-kejahatan-anak-meningkat-di-jawa-timur/. diakses pada tanggal 1 Desember 2014.
NN. Dua Bersaudara Tewas Gantung Diri di Polsek Sijunjung. http://hukum.kompasiana.com/2012/01/08/dua-bersaudara-tewas-gantung-diri-di-polsek-sijunjung/. diakses pada tanggal 1 Desember 2014.
Oke Zone. Com. Kasus Kekerasan Anak Meroket. Kamis. 24 Desember 2009. http://getsa.wordpress.com/2009/12/24/kasus-kekerasan-anak-meroket
NN, 1 Juli 2008, Kasus Kejahatan Anak Meningkat Di Jawa Timur, http://detektifromantika.wordpress.com/2008/07/01/kasus-kejahatan-anak-meningkat-di-jawa-timur/, diakses pada tanggal 22 /11/2014, Pukul 20.35 wib.
NN, Dua Bersaudara Tewas Gantung Diri di Polsek Sijunjung, http://hukum.kompasiana.com/2012/01/08/dua-bersaudara-tewas-gantung-diri-di-polsek-sijunjung/, diakses pada tanggal 1 Desember 2014. Pukul 14.35 wib.
Oke Zone. Com, Kasus Kekerasan Anak Meroket, Kamis, 24 Desember 2009. http://getsa.wordpress.com/2009/12/24/kasus-kekerasan-anak-meroket
http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInformasi/Attachments/61/Restorative %20Justice,%20Diversionary%20Schemes%20and%20Special%20Children%E2%80%99s%20Courts%20in%20Indonesia.pdf diakses 22 /11/2014, Pukul 16.35 wib.





[1]  Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum  dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui  kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.  
[2] Linda Amalia Sari Gumelar, Sambutan Pada Pembukaan Workshop Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dengan Pendekatan Restoratif Justice di Hotel Salak Bogor, 5 April 2010, hlm.3

[3]  Lihat www.Poskotanews.com . Mediasi Kasus Plonco Siswa SMA di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 24 September 2014, diakses pada hari kamis 29 Novembet 2014, pukul 10:48 WIB)
[4]Lihat www.kpai.go.id Penelitian KPAI tahun 2011, diakses pada hari kamis 29 Novembet 2014, pukul 10:48 WIB)
[5] www.Oke Zone. Com, Kasus Kekerasan Anak Meroket, Kamis, 24 Desember 2009. Diakses pada 3 Desember 2014 Pukul 20.35 wib. http
[7] Damang, Double Track System, Diakses terakhir pada tanggal: 21 Januari 2013, http://www.negarahukum.com/hukum/double-track-system.html.
[8] P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
[9] www.Hukumonline.com.Rabu, 3 Desember 2014
[10]Ibid
[11] Lihat, www. LENSAINDONESIA.COM, Selasa, 09 September 2014 16:02 WIB, diakses pada 03 Desember 2014 pukul 09.38 wib.
[12] Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 2, Agustus 2013.Hal. 149
[13] http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidana-anak-di-Indonesia, diakses 10-12-2014, Pukul 16.35 wib.

[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid.

Komentar

Postingan Populer