Mediasi Delinkuensi Anak
dan Kepastian Hukum Yang Berkeadilan
(Efektifitas
Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak)
“ …Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia akan belajar memaki...”
“…Jika anak dibesarkan dengan
cemoohan, dia akan belajar rendah diri..”
“…Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, dia akan belajar berkelahi….”
“…Jika anak dibesarkan dengan hinaan, dia akan belajar menyesali diri…”
…Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia akan belajar percaya diri..”
“...Jika anak dibesarkan dengan pujian, dia akan belajar menghargai...”
"..Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, dia akan belajar menaruh kepercayaan…”.
"..Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, dia akan belajar menaruh kepercayaan…”.
“..Jika anak dibesarkan dengan dukungan, dia akan belajar menyenangi diri
sendiri…”
“..Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia akan
belajar menemukan cinta dalam hidupnya..”
“...Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri…”
“..Jika anak
dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan.. “
PENDAHULUAN
I. a.Latar Belakang
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa
yang dalam melekat harkat dan martabatnya wajib dijunjung tinggi tanpa anak
tersebut meminta.
Problematika tindak pidana yang dilakukan oleh anak kini
semakin meningkat di masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang. Dewasa ini banyak kejadian-kejadian kriminal seperti pencurian,
penjambretan ataupun pemerasan dilakukan oleh seorang anak. Pemidanaan pada
dasarnya merupakan gambaran dari sistim moral, nilai kemanusiaan dan pandangan
filosofis suatu masyarakat pada masa tertentu. Jadi, pemidanaan pasti akan
meliputi persoalan filosofis, sosiologis, dan kriminologis.
Negara dituntut tidak hanya menjalankan
sistem peradilan pidana anak semata, tetapi juga menjamin adanya kepastian dan
perlindungan hukum terhadap anak.
Sistem hukum pidana
Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk
pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang
hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun
pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal
dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan
keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan
restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari
perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan
dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims”
Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan
perbuatan atau pelaku atau “daad-dader straftecht”. Ahli hukum telah
memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3
aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi
dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance)
dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara
integral, simultan dan paralel.
Komitmen
untuk menerapkan restorative justice, khususnya dalam hal pelaku adalah
anak-anak, harus didasarkan pada penghargaan terhadap anak sebagai titipan yang
mempunyai kehormatan. Apalagi Indonesia adalah negara pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child)
yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan
prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan
terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai
partisipasi anak.
Restorative justice merupakan
proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (criminal
justice system) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan
pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak
pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan 5 Alenia ketiga Declaration Of The Rights Of The Child
(Proclaimed by General Assembly Resolution 1386(XIV) of 20 November 1959).
Dalam hal ini mediasi merupakan hal yang
paling penting atas terbitnya Restorative justice itu sendiri dimana pada saat mediasi itulah
pertemuan antara korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku,
masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana
yang terjadi dan terciptanya kesepakatan.
Negara sebagai penyelenggara sekaligus penanggung jawab
atas berjalannya suatu system hukum dalam hal ini system peradilan anak masih
terlihat kebingungan dan kedodoran dengan serangan kejadian-kejadian lapangan
yang semakin menunjukan jurang yang lebar antara teori dan aplikasi dilapangan,
antara Das Sein dan Das Sollen serta antara tuntutan harapan
rakyat dan pelaksanaan pada kenyataaannya. Hal ini dapat dilihat pengakuan terhadap konsep keadilan restoratif
dalam hukum positif memang belum menyeluruh. Sebagian baru pada tataran teknis
seperti Surat Keputusan Bersama enam lembaga tentang Anak yang Berhadapan
dengan Hukum (ABH). Tetapi putusan hakim dan doktrin sudah sangat mendukung
penerapan keadilan restoratif pada kasus-kasus pidana tertentu, terutama anak.
Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan
Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014 tentang Diversi pada bulan Agustus tahun 2014.
Peraturan MA ini sendiri muncul karena diamanatkan oleh Undang-undang dimana
tahun 2014 adalah batas akhir dikeluarkannya aturan pelaksana terkait. Namun
sampai hingga kini itu hanya sebatas Peraturan Mahkamah Agung yang dikeluarkan
Diketahui tentunya hanya mengikat pada wilayah Mahkamah Agung bukan seperti
halnya Peraturan Pemerintah yang tentunya mengikat Kepolisian, Kejaksaan dan
terkait pada praktek system peradilan.
Masyarakat
sebagai adressat hukum seakan jelas nyata dipertontonkan akan adanya
Disperitas (perbedaan) pelaksanaan beberapa kasus dalam system peradilan pidana
anak yang berujung pada keberadaan Keadilan Restoratif dan kepastian hukum
yang dituntut tidak hanya legalistik (formal)
semata, namun kepastian hukum yang berkeadilan, yaitu kepastian yang didasarkan
dari tujuan kepastian hukum itu sendiri.
Lantas
banyak pertanyaan yang kemudian bermunculan terkait hal diatas seperti: Apakah
dimungkinkan mediasi pada hukum pidana di Indonesia? Bagaimana keterkaitan
antara Mediasi, Diversi dan upaya
memunculkan keadilan yang restorative? Bagaimana mediasi penal dapat diterapkan
pada tindak pidana anak pada masyarakat? Apakah ini dapat diangkat ke dalam
hukum positif? Apa saja hambatan-hambatan pelaksanaan Mediasi dan Diversi dalam
prakteknya? Bagaimana efektivitas Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014
tentang Diversi terhadap pelaksanaan Mediasi tindak pidana Delinkuensi anak?
Bagaimana pelaksanaan mediasi dan diversi pada kasus-kasus yang telah terjadi
saat ini di Indonesia?
I. b. Ruang
Lingkup dan Rumusan Masalah
Mengingat luasnya
wilayah Indonesia dan beranekaragamnya masyarakat adat di Indonesia, dalam
karya tulis ini, Penulis sengaja memfokuskan beberapa pertanyaan-pertanyaan
tersebut diatas dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana pelaksanaan mediasi dalam tindak Pidana Delinkuensi anak di Indonesia?
2.
Bagaimana efektivitas pelaksanaan mediasi dalam tindak pidana
Delinkuensi anak di Indonesia?
I.c. Maksud dan Tujuan
Penulisan karya tulis ini sengaja disusun selain untuk
pemenuhan tugas mata kuliah Mediasi Hukum adalah untuk mengetahui lebih dekat
sejauh mana disperitas keadilan restoratif dan kepastian hukum yang berkeadilan
dalam hal ini khususnya dalam melihat efektifitas pelaksanaan mediasi dalam
tindak pidana delinkuensi anak. Di samping itu, tulisan ini diharapkan diharapkan dapat pula menjadi
masukan bagi pembaharuan dan pengembangan ilmu[1] hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
II.a
Pengaturan Restorative Justice System, Diversi
dan Mediasi Tindak Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Marian Liebmann (2007, 26-28)
memberikan beberapa rumusan prinsip dasar restorative justice sebagai
berikut:
1.Memperioritaskan
dukungan dan penyembuhan korban;
2. Pelaku pelanggaran
bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan;
3.Dialog antara korban
dan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4.Ada upaya untuk
meletakan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5.Pelaku
pelanggaran harus sadar tentang bagaimana tidak mengulangi lagi kejahatan tersebut dimasa datang;
6.Masyarakat turut
membantu mengintegrasikan baik korban maupun pelaku.
Sedangkan
Mediasi Penal merupakan proses Restorative Justice dalam hukum pidana
yang dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban dengan tujuan untuk
mereparasi dimana pelaku membetulkan kembali apa yang telah dirusak, konfrensi
pelaku korban yang mempertemukan keluarga dari kedua belah pihak serta tokoh
masyarakat.
Dasar
Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia
Mediasi
Penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Alternative
Dispute Resolution) yang lebih populer di lingkungan kasus-kasus
perdata, namun bukan berarti tidak dapat diterapkan di lingkungan hukum pidana.
Ada beberapa aturan yang dapat menjadi dasar hukum pemberlakuan Mediasi Penal
di Indonesia (Barda Nawawi Arief, 2007, 37-38) antara lain :
a.
Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol :
B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus
Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR);
Surat
ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara
Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407,
482, surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan
proses penyidikan dan penyeledikan. Beberapa point penekanan dalam Surat
Kepolisian tersebut antara lain :
- Mengupayakan
penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaian
dapat diarahkan melalui ADR;
- Penyelesaian
kasus melalui ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berkasus, namun
apabila tidak tercapai kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku sacara profesional dan proporsional;
- Penyelesaian
perkara melalui ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus
diketahui oleh masyarakat sekitar;
- Penyelesaian
perkara melalui ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi
azas keadilan;
- Untuk
kasus yang telah diselesaikan melalui ADR agar tidak lagi disentuh oleh
tindakan hukum lain.
b. Delik yang
dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut
Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila
Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan
dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran
denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
c. Tindak pidana
dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997
(Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan
sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah
8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua,
wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
d. Undang-Undang
Nomor. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM
(yang dibentuk berdasar Kepres Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam
kasus pelanggaran HAM (lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96).
Beberapa instrumen hukum diatas dapat menjadi rujukan dalam
membantu kerja-kerja paralegal dalam menyelesaikan perkara pidana terutama
sekali kasus-kasus Tindak Pidana Ringan.
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai institusi atau lembaga yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan :
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai institusi atau lembaga yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan :
a.
Deklarasi PBB tahun 2000 tentang Prinsip-prinsip pokok tentang Penggunaan
Program-Program Keadilan Restoratif dalam permasalahan-permasalahan Pidana (United
Nations Declaration on The Basic Principles on the Use of Restoratif Justice
Programmes in Criminal Matters)
b.
Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on
Crime and Justice :"Meeting the challanges of the Twenty-First
Century") butir 27-28 tentang Keadilan Restoratif.
c. Kongres
PBB ke-XI di Bangkok tahun 2005 tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan
Pidana (Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal
Justice)pada butir 32 :"Persekutuan Strategis dalam Pencegahan tindak
pidana dan peradilan pidana (Synergies and Responses : Strategic Alliances
in Crime Prevention and Criminal Justice)"
Gagasan semacam ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu
diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan
hukuman pengawasan.
Keadilan
Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan. Konsep keadilan restorative tersebut muncul di
tengah kritikan terhadap proses peradilan pidana yang dianut selama ini.
Dalam
Integrated Criminal Justice System
yang dianut selama ini korban dalam proses peradilan pidana, kepentingan
hukumnya yang diwakili oleh negara dalam hal ini penuntut umum seringkali
‘terabaikan’ peranannya. Peranan korban dalam penyidikan, penuntutan maupun
persidangan seolah ternegasikan hanya sebatas saksi, sebagai salah satu alat
bukti dalam rangka membuktikan suatu tindak pidana. Konsekuensi dari hal
tersebut, peranan korban selesai dengan selesainya korban memberikan
keterangan. Selanjutnya yang berhadapan adalah terdakwa dengan didampingi
penasehat hukumnya dengan penuntut umum (baca:negara). Lebih lanjut dalam
konsep peradilan yang demikian, hak-hak korban terutama terhadap kerugian (baik
moril maupun materiil) yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukan tidak
terpulihkan, seolah dengan adanya pernyataan bersalah dan pidana yang
dijatuhkan pelaku sudah menyelesaikan permasalahan. Sedangkan mengenai kerugian
yang muncul terutama materiil, korban dipersilahkan untuk mengajukan gugatan
ganti kerugian secara perdata, yang tentu saja tidak mudah. Sebenarnya dalam
hukum acara pidana juga dianut penggabungan ganti kerugian dalam proses pidana,
akan tetapi ternyata praktek yang terjadi selama ini, efektifitasnya masih jauh
dari memadai.
Konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana semakin mendapatkan tempat, karena secara internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa berkaitan dengan manajemen peradilan pidana telah merekomendasikan kepada negara anggota agar mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice function dan alternative dispute resolution. Hal tersebut kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan proses mediasi penal (semacam proses mediasi, yang kemudian telah diadopsi dan dimasukkan sebagai salah satu tahapan dalam proses peradilan perkara perdata). Mediasi penal (pidana) merupakan alternative penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak pidana (dalam hal tertentu melibatkan masyarakat) yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan kepentingan terutama korban yang telah dirugikan akibat perbuatan pelaku tindak pidana.
Konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana semakin mendapatkan tempat, karena secara internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa berkaitan dengan manajemen peradilan pidana telah merekomendasikan kepada negara anggota agar mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice function dan alternative dispute resolution. Hal tersebut kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan proses mediasi penal (semacam proses mediasi, yang kemudian telah diadopsi dan dimasukkan sebagai salah satu tahapan dalam proses peradilan perkara perdata). Mediasi penal (pidana) merupakan alternative penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak pidana (dalam hal tertentu melibatkan masyarakat) yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan kepentingan terutama korban yang telah dirugikan akibat perbuatan pelaku tindak pidana.
Mengembalikan
keseimbangan kepentingan ini semakin mendapat tempat dalam perkara anak, dimana
tujuan dari proses peradilan pidana (khususnya
perkara anak) bukan saja sebagai bentuk balas dendam lagi akan tetapi
penjatuhan pidana bahkan proses peradilan pidana itu sendiri benar-benar
merupakan ultimum remedium, yang baru digunakan apabila alternatif penyelesaian
lainnnya tidak tercapai. Konsep keadilan restoratif, bagi bangsa ini sebenarnya
bukan merupakan hal yang baru, masyarakat telah menerapkannya sejak lama, hal
ini dapat dilihat dari berbagai hukum adat yang dianut di banyak tempat.
Meskipun ada berbagai variasi dalam pelaksanaanya akan tetapi salah satu tujuan
utama dari proses peradilan adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang
terguncang akibat adanya perbuatan yang melanggar hukum, mengembalikan
keseimbangan kosmis melalui proses mendudukan pelaku dan korban tindak pidana
untuk menyelesaikan permasalahannya dengan pemangku adat sebagai otoritas
pengambil keputusan.
Mediasi
dan Diversi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak
Konsep
keadilan restoratif yang menjadi tujuan dari proses peradilan pidana, muncul
dengan terakomodasinya mediasi penal ke dalam proses peradilan pidana dalam
bentuk diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sebagai sesuatu yang baru
dalam rangkaian proses peradilan pidana, dalam uu sistem peradilan pidana,
diversi ini mendapat pengaturan tersendiri.
Masuknya
proses diversi dalam proses peradilan pidana, salah satu tujuan adalah
menhindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, terutama stigma negatif sebagai
terpidana. Proses diversi merupakan kewajiban dalam setiap tingkatan proses
peradilan pidana, baik penyidikan, penuntutan dan persidangan. Kewajiban
melaksanakan diversi tersebut, untuk perkara anak dalam tindak pidana yang
diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak
pidana. Dengan melihat bahwa untuk perkara anak ancaman pidana yang digunakan
adalah setengah dari ancaman pidana, maka hampir semua tindak pidana masuk ke
dalam kategori yang harus dilakukan proses diversi ini.
Proses diversi baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan secara garis besar dilakukan Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif serta dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses diversi adalah kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negative, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Proses diversi baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan secara garis besar dilakukan Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif serta dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses diversi adalah kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negative, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Diversi
yang pada dasarnya adalah proses musyawarah antara korban tindak pidana dengan
pelaku tentu hasil yang muncul akan berupa kesepakatan-kesepakatan, akan tetapi
ternyata dalam hal tertentu tidak mutlak adanya kesepakatan, yaitu dalam hal
tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana
tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat. Terhadap hal tersebut, diberi kewenangan kepada penyidik
bersama pelaku (anak) dan keluarga serta pembimbing kemasyarakatan dan tokoh
masyarakat untuk merumuskan hasil diversi tanpa adanya keterlibatan korban.
Hasil
kesepakatan diversi dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban,
rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali,
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS
paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga)
bulan. Sedangkan mengenai bentuknya dapat berupa perdamaian dengan atau tanpa
ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam
pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga)
bulan atau
pelayanan
masyarakat.
Dalam tahap ini jelas ditunjukkan bahwa
mediasi memegang peranan yang penting dalam munculnya keadilan restorative. dimana pada saat mediasi itulah pertemuan
antara korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat
serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi
dan terciptanya kesepakatan.
Mediasi dan Diversi di Tingkat Penyidikan
Penyidikan
sebagai ujung tombak proses peradilan pidana dalam Integrated Criminal Justice System, dalam proses diversi juga
mendapat porsi lebih dalam undang-undang system peradilan anak. Selama proses
penyidikan, apabila dapat dicapai kesepakatan diversi, maka hasilnya dituangkan
dalam bentuk kesepakatan diversi yang kemudian paling lama harus dilaporkan ke
pengadilan negeri setempat, selanjutnya dalam waktu paling lama tiga hari
pengadilan sudah harus mengeluarkan penetapan dan penetapan tersebut dalam
waktu paling lama tiga hari sejak ditetapkan harus sudah disampaikan kepada
pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum dan hakim. Selanjutnya
setelah menerima penetapan dari pengadilan negeri tersebut, Penyidik
mengeluarkan Penetapan Penghentian Penyidikan.
Dalam
prakteknya Mediasi di tingkat Penyidikan sangat jarang dilakukan karena
kurangnya pemahaman penyidik, masih membudayanya hukum menghakimi, serta
mediasi para pihak terkait dihalang-halang halangi oleh pihak-pihak penyidik
maupun penasihat hukum agar perkara dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya
dengan dalih tidak adanya kesepakatan para pihak
Mediasi dan Diversi di Tingkat Penuntutan
Setelah
proses penyidikan selesai, maka proses selanjutnya adalah penuntutan yang
menjadi kewenangan dari Penuntut Umum. Dalam proses Penuntutan, Penuntut Umum
juga berkewajiban untuk melakukan proses diversi. Kewajiban melakukan diversi
oleh Penuntut Umum dapat muncul karena ketidakberhasilan proses diversi di
tingkat penyidikan, akan tetapi dapat juga terjadi karena kesepakatan diversi
(yang berhasil dilaksanakan sewaktu tingkat penyidikan) ternyata hasilnya tidak
dilaksanakan. Kewajiban untuk memastikan dilaksanakannya kesepakatan diversi
ada pada pembimbing kemasyarakatan untuk melaporkan kepada pejabat yang bertanggungjawab
sesuai tingkat pemeriksaan, yang kemudian dalam waktu paling lama tujuh hari
harus menindaklanjuti dengan melanjutkan proses peradilan pidana anak.
Secara
garis besar, pelaksanakan proses diversi di tingkat penuntutan adalah maksimal
tujuh hari sejak berkas perkara diterima oleh Penuntut Umum dari Penyidik (P.21
istilah yang digunakan dalam praktek). Penuntut Umum diberikan waktu maksimal
tiga puluh hari untuk melaksanakan proses diversi tersebut. Apabila dapat
tercapai kesepakatan maka Penuntut Umum menyampaikan kepada ketua pengadilan
negeri setempat untuk kemudian dibuatkan penetapan.
Jika dalam tingkat penyidikan, penyampaian hasil
kesepakatan diversi telah ditentukan batasan waktunya, demikian pula batasan
waktu dari ketua pengadilan negeri untuk menyampaikan penetapan, maka dalam
proses penuntutan kedua batasan waktu tersebut tidak secara tegas disebutkan.
Maka dengan melakukan penafsiran secara sistematikan maka batasan waktu dalam
tingkat penyidikan, tentunya dapat juga digunakan dalam tingkat penuntutan
dengan penyesuaian seperlunya. Demikian juga sebaliknya jika dalam tingkat
penyidikan hanya menyebutkan pengadilan negeri, yang tentunya dapat berarti
ketua pengadilan negeri maupun hakim dan atau majelis hakim, sedangkan dalam
tingkat penuntutan secata tegas disebutkan kewenangan mengeluarkan penetapan
hasil proses diversi ada di tangan ketua pengadilan negeri, sehingga dengan
metode penafsiran yang sama maka hendaknya kewenangan tersebut hanya ada di
tangan ketua pengadilan negeri (hal ini lebih sejalan dengan proses diversi di
tingkat pemeriksaan pengadilan negeri).
Dalam
prakteknya Mediasi di tingkat Penuntutan sangat jarang dilakukan karena
kurangnya pemahaman penyidik, masih membudayanya hukum menghakimi, serta
mediasi para pihak terkait dihalang-halang halangi oleh pihak-pihak penyidik
maupun penasihat hukum agar perkara dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya
dengan dalih tidak adanya kesepakatan para pihak
Mediasi dan Diversi di Tingkat Pemeriksaan
Persidangan
Sebagaimana di tingkat penyidikan dan penuntutan,
persidangan sebagai salah satu tahapan proses peradilan pidana juga dibebabi
kewajiban untuk melakukan diversi dalam perkara anak ini. Bahkan uu sistem
peradilan pidana mengancamkan sanksi administrasi maupun sanksi pidana bagi
hakim dan pejabat pengadilan lainnya terkait dengan kewajiban diversi ini, akan
tetapi sebelum sempat berlaku pasal mengenai ancaman pidana tersebut telah
dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi setelah
diajukan judicial review.
Dalam undang-undang sistem peradilan
anak, hanya mengatur mengenai proses diversi pada saat pemeriksaan di
persidangan pengadilan negeri. Sedangkan untuk proses banding atau kasasi,
tidak ada satupun pasal yang menyebutkan kewajiban untuk melakukan proses
diversi tersebut, pun sebaliknya juga tidak ada larangan untuk melakukannya.
Hal ini tentu dapat menimbulkan perbedatan dalam praktek, karena meskipun
setelah ada putusan pengadilan negeri, telah terstigma bahwa anak telah
terbukti melakukan tindak pidana, akan tetapi bukankah dengan dilakukan upaya
hukum (biasa) maka putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, yang juga
berarti stigma (negatif) atas kesalahan anak tersebut juga belum berkekuatan
hukum tetap, sehingga seharusnya kewajiban untuk melakukan diversi tersebut
juga seharusnya tetap melekat pada pemeriksaan tingkat banding maupun kasasi.
Asumsi bahwa pemeriksaan tingkat banding dan kasasi tidak lagi memeriksa secara
langsung fakta (berhadapan langsung) akan tetapi hanya memeriksa berkas,
seharusnya tidak boleh menutup proses diversi, seandainya di luar proses pidana
yang berlangsung tersebut ternyata ada kesepakatan yang dapat dicapai, bukankah
tujuan pokok diversi adalah mencari penyelesaian diluar proses hukum pidana.
II.b.Pelaksanaan
Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia
II.b.1.Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak berdasarkan UU
Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997.
Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak yang diharapkan menjadi jawaban atas
masih belum terpenuhinya kepentingan terbaik anak yang diatur dalam beberapa
aturan-aturan sebelumnya belum mampu memperlihatkan kekhususan dalam penanganan
anak. hal ini terlihat dalam beberapa kelemahan-kelemahan mendasar dalam
substansinya. Kelemahan mendasar pertama terlihat dalam penggunaan legal
term anak nakal dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, merupakan bentuk
pengingkaran terhadap Riyadh Guidelines.
Dalam
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak pada proses penyidikan
dan penuntutan juga tidak menyediakan alternatif lain dalam penanganan anak
yang berkonflik dengan hukum melalui mekanisme diversi untuk mengindari
stigmatisasi negatif terhadap proses peradilan. Sementara The beijing rules
menekankan pentingnya diversi yang dijalankan melalui kewenangan diskresi
aparat kepolisian sejak kontak awal antara polisi dengan anak yang berkonflik
dengan hukum. Hal ini secara tegas dijelaskan Butir 11 Ayat (1), (2), (3), (4),
juga diatur bahwa:
1) Apabila perlu, pertimbangan harus diberikan kepada pejabat yang
berwenang dalam menangani anak pelaku tindak pidana tanpa mengikuti proses
peradilan.
2) Polisi, jaksa, atau Lembaga lain yang menangani kasus anak-anak
nakal harus diberi kewenangan untuk menangani kasus tersebut dengan kebijakan
mereka tanpa melalui peradilan formal, sesuai dengan kriteria yang tercantum
dalam tujuan sistem hukum yang berlaku dan sesuai dengan asas-asas dalam
ketentuan lain.
3) Setiap diversi yang melibatkan penyerahan kepada masyarakat
atau pelayanan lain yang dipandang perlu, membutuhkan persetujuan anak, atau
orang tua, atau walinya. Keputusan untuk mengalihkan kasus harus tunduk pada
peninjauan kembali pejabat yang berwenang pada prakteknya.
4) Untuk mempermudah disposisi kebijakan kasus-kasus anak, upaya-upaya
harus dilakukan untuk mengadakan program masyarakat seperti seperti pengawasan
dan panduan secara temporer, restitusi, dan kompensasi kepada korban.
Pasal
22 Undang-Undang Pengadilan Anak mengisyaratkan bahwa terhadap anak nakal hanya
dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Lebih lanjut mengenai ketentuan sanksi tindakan ini diatur dalam pasal 24
Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai berikut :
(1)
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a.
mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b.
menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai
dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pemenjaraan
sebagai upaya utama (premium remidium) dalam menangani anak yang
berkonflik dengan hukum sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam Resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Nomor 45/113 tentang Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak
yang Kehilangan Kebebasannya menyatakan bahwa :
Rule 1.1 Imprisonment should be used a last resort ( pidana
penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir) Rule 1.2. Deprivation of the liberty of a juvenile should be a
disposition of last resort and the minimum necessary period and should be
limited to exceptional cases ( perampasan kemerdekaan anak harus ditetapkan
sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang minimal yang diperlukan,
serta dibatasi untuk kasuskasus yang luar biasa/eksepsional)
Lembaga
pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang banyak mengalami over capacity tidak
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak sehingga pelayanan hak anak selama
di dalam penjara tidak terpenuhi dengan baik. Keadaan ini tidak bersesuaian
dengan prinsip yang terdapat dalam pasal 3 konvensi hak anak yang menyatakan
bahwa :
1. Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum,
penguasa administrative atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik
anak harus merupakan pertimbangan utama.
2. Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan
perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan
memperhatikan hak-hak[2] dan
kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang
secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan
legislatif dan administratif yang tepat.
3. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga,
pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan
tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan
oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan,
dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang.
Pemenjaraan
yang tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak juga merupakan bentuk
pelanggaran hak anak selama dalam tahanan. Pelanggaran hak ini dapat
berimplikasi pada pemenjaraan terhadap anak tidak akan menjerakan anak tapi
malah akan mendorong anak mengulagi tindak pidananya lagi mengingat kondisi
lembaga pemasyarakatan yang tidak mampu menyediakan pelayanan pemulihan bagi
anak secara maksimal.
Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinilai masih berorientasi pada
model keadilan yang retributif dimana Sanksi pidana lebih diutamakan dengan sanksi
tindakan. penggunaan sanksi pidana yang lebih dominan dalam penanganan anak
yang berkonflik dengan hukum tidak mampu menghindarkan anak dari stigma negatif
dari proses peradilan pidana dan tidak mampu memulihkan anak dari perilaku
kenakalannya yang berdampak adanya pengulangan kenakalan (re-offending).
Oleh karena itu terjadi pergeseran model keadilan retributif ke arah keadilan
restoratif dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.
Pasal
5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
merupakan bentuk penegasan atas penggunaan pendekatan restorative model
keadilan restoratif. Dalam pasal ini disebutkan :
(1) Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini;
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana
atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
Diversi menyangkut pengalihan dari
proses peradilan pidana dan, sering kali, diarahkan ke layanan dukungan
masyarakat, umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam banyak sistem
hukum. Praktek ini berfungsi untuk mencegah efek negatif dari proses berikutnya
dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma dari putusan dan hukuman).
di banyak kasus, nonintervensi akan menjadi respon terbaik. Dengan demikian,
diversi pada permulaan dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) layanan mungkin
respon yang optimal. Hal ini terutama terjadi dimana pelanggaran bersifat tidak
serius dan di mana keluarga, sekolah atau lembaga kontrol sosial informal
lainnya telah bereaksi, atau cenderung bereaksi, dengan cara yang tepat dan
konstruktif dalam pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
system peradilan pidana anak dinyatakan bahwa pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan
diversi. Adapun secara Lebih spesifik, tindak pidana yang wajib diupayakan
diversi diatur dalam pasal 7 di mana dijelaskan sebagai berikut :
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2)
Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Bila
dikaitkan dengan definisi diversi dalam Instrumen internasional anak di atas,
Ada pemahaman yang berbeda dalam memahami diversi. Diversi dalam undang-undang
sistem peradilan pidana anak dimaknai sebagai proses pengalihan yang bisa
dilaksanakan dalam setiap tahapan sistem peradilan pidana anak. Sementara diversi
dalam Beijing Rule dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari proses
formal peradilan pidana yang memberikan stigma negatif bagi anak. Lebih lanjut
ditegaskan dalam komentar 11.1 Beijing Rules bahwa diversi dimaksudkan
untuk menghindari stigma negatif selama anak diproses dalam system peradilan
anak. Diversi harus dilakukan pada saat anak yang berkonflik dengan hukum
melakukan kontak pertama dengan penyidik. Oleh karena itu perlu adanya
pelatihan khusus bagi penyidik agar mampu menjalankan program diversi ini
dengan baik.
Konsep-konsep
pemidanaan tersebut terus berkembang dalam teori-teori keadilan dari yang
tradisional seperti retributive justice, rehabilitative justice,
sampai ke teori yang lebih modern seperti alternative justice, transitional
justice dan belakangan berkembang teori restorative justice. Restorative
justice oleh sebagian pakar hukum pidana, psikolog dan pakar perilaku anak
dipandang tepat dan baik dalam sistem peradilan pidana anak guna penyelesaian
permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum, baik itu dari sisi pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban, maupun stakeholder lainnya demi
diperolehnya rasa keadilan yang ada di tengah masyarakat.
Restorative
justice yang menjadi ruh dari UU-SPPA ini merupakan upaya korektif
terhadap konsep keadilan yang pernah ada dalam sistem peradilan pidana
sebelumnya dengan melibatkan partisipasi stakeholder yang lebih luas
yang selama ini belum terjangkau dari rasa keadilan, guna secara bersama-sama
mencari penyelesaian yang lebih adil dan dapat diterima oleh semua pihak.
Dengan dasar itulah mediasi diterapkannya
mediasi dalam system peradilan anak dalam salah satu tahapannya. Dimana mediasi
ini sangat penting dan saling mempengaruhi tahapan lain serta tujuan system
peradilan anak pada umumnya, yaitu munculnya keadilan restorative.
Dengan kata lain, lahirnya UU-SPPA ini menandai diawalinya
pembaruan hukum pidana anak dengan semangat Restorative Justice dengan mulai dimasukkannya pemahaman mediasi
penal meski belum dapat dilaksanakan secara efektif.
II.b.2 Pelaksanaan Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
UU
Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA yang berlaku sejak bulan Juli 2014 telah
mengadopsi paradigma keadilan restoratif dan diversi merupakan sebuah
jawaban bagi perlindungan terhadap hak-hak anak yang berhadapan dengan
hukum. Proses peralihan dari paradigma retributif kepada keadilan
restoratif ini menjadi suatu permasalahan bagi komponen subsistem peradilan
pidana yang akan menegakkan hukum terhadap anak yang melakukan tindak
pidana sehingga diperlukan suatu kesiapan dari masing masing Iembaga
penegak hukum.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
tepatnya pasal 7 ayat (1) pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi (mediasi, red). Ayat
(2) diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b.
bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Konsep
keadilan restoratif dan diversi memang sudah diperkenalkan lewat UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA). Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
terkait untuk bersama-sama mencari solusi yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana.
Undang-Undang
SPPA merupakan salah satu alat bagi Indonesia untuk menerapkan perlindungan
terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Memberikan keadilan restoratit
kepada anak yang berhadapan dengan hukum tak didasarkan pada aksi balas dendam,
sebagaimana konsep penghukuman selama ini dipahami.
Upaya
mediasi dan diversi ini menurut UU SPPA wajib dilakukan oleh para penegak hukum
berdasarkan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA. Apabila diabaikan maka
penegak hukum dapat dikenai pidana meskipun kemudian ketentuan ini dibatalkan
oleh MK dengan Putusan No. 110/PUU-X/2012.
Dalam
makalah ini penulis sengaja paparkan beberapa kasus terkait tindak pidana anak
di Indonesia, seperti diantaranya :
1.Kasus AQJ ”Dibebaskan dari Segala Tuntutan Pidana
dan Dikembalikan Kepada Orangtuanya “
Kasus penabrakan yang menewaskan sejumlah penumpang dan terluka di Tol
Jagorawi dari arah Jakarta menuju Bogor pada 8 September 2013, Abdul Qodir Jaelani alias “Dul” atau
AQJ tidak dipenjara. Sebab, dalam kitab hukum acara pidana (KUHAP) menyatakan
anak usia 13 tahun dapat dituntut secara pidana.Peradilan anak dapat mengacu
pada UU No. 11 Tahun 2012 yang terdapat klausul atau pasal tentang "restoratif justice" . Dimana Hakim
dalam sidang putusan di PN Jakarta Timur tersebut AQJ bersalah lantaran
melanggar Pasal 310 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, membebaskan dari segala tuntutan pidana dan agar
dikembalikan kepada orangtuanya.
Hakim
menyatakan AQJ menunjukan sikap sopan dan bertindak baik selama menjalani
persidangan, serta dianggap bukan anak yang nakal. Hal lain yang meringankan
hukuman AQJ karena adanya perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para
korban.Majelis hakim menganggap AQJ kurang perhatian orang tua sehingga masih
bisa diberikan pembinaan.
Sidang
kasus perploncoan yang menewaskan siswa SMA 3 Setiabudi, Jakarta, Afriand
Caesar. Sebelumnya diberitakan majelis
hakim PN Jaksel, telah memvonis empat siswa SMAN 3 dengan kasus yang sama pada
Selasa (26/8) lalu. Keempatnya divonis hukuman percobaan yang jauh dari
tuntutan jaksa yaitu tiga tahun penjara. Keempat terpidana sebelumnya juga
mengajukan sidang diversi dan ditolak sehingga majelis hakim melanjutkan proses
persidangan pidana tersebut. Sidang yang melibatkan anak-anak ini digelar
secara tertutup.
Terdakwa
diadili sesuai dengan UU no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam UU itu, tersangka anak berhak mengajukan diversi yaitu penyelesaian kasus
pidana dengan acara khusus. Dalam kasus tersebut, apabila orangtua korban
menyetujui diversi itu maka para terdakwa akan dibebaskan dari pidana dan akan
dikembalikan ke orangtua masing-masing.
Dari
hasil penelitian KPAI[4], pada
tahun 2011 tercatat 6271 anak yang ditahan di 16 lapas yang tersebar di
Indonesia. Dari 32 anak yang diwawancara KPAI, 16 anak mengaku mengalami
penganiayaan selama proses penyidikan di kepolisian.7Dunia hukum dalam beberapa
tahun ini telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang
melakukan kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai
meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat represif dikarenakan
kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat
kriminalitas yang dilakukan oleh anak.
Selain
contoh temuan kasus diatas, pada akhir bulan Agustus 2014[5],Mahkamah
Agung (MA) membebaskan seorang anak SMK berinisial SP yang terbukti telah mengedarkan
narkotika. SP ditangkap Polres Staba, Langkat, Sumatera Utara, pada tanggal 16
Juni 2010 karena menjadi bandar ganja dengan pasar teman-temannya. Saat
tertangkap, SP memiliki 35 paket ganja siap edar. Atas perbuatannya, SP diadili
dengan dakwaan Pasal 111 dan Pasal 114 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dengan ancaman 15 tahun penjara. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut SP dihukum 5
tahun penjara. Namun demikian, pada 25 Januari 2011 Pengadilan Negeri (PN)
Stabat membebaskan SP dari tuntutan dan mengembalikannya ke orang tua. Vonis
ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan pada tanggal 7 Juni 2011 dan kembali
dikuatkan oleh MA. Adapun alasan yang dipergunakan oleh majelis hakim untuk
membebaskan SP adalah keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam UU No 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Disparitas
terjadi diakibatkan perbedaan pendekatan peraturan yang dipergunakan penegak
hukum dalam kedua kasus ini. Pada kasus SP, hakim mempergunakan pendekatan
keadilan restoratif yang diatur dalam UU SPPA. Akan tetapi, pada kasus mencuri
bebek, pendekatan restoratif hanya dipergunakan sebagai pendekatan awal,
pemutusan perkara dilakukan dengan pendekatan UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Kontroversi ini tentunya tidak akan
muncul apabila masyarakat memahami konsep keadilan restoratif.
Seto Mulyadi[6], Ketua
Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), mengatakan dalam
UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan pelaku
anak-anak harus ada diversi. Sejauh keluarga korban bisa memaafkan itu yang
terbaik daripada sekadar memenjarakan. Itu sudah menjadi komitmen
undang-undang, untuk anak-anak berbeda dengan orang dewasa.
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang merupakan
pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menganut double track system. Yang dimaksud dengan double track
system adalah sistem dua jalur dimana selain mengatur sanksi pidana juga
mengatur tindakan.[7] Terkait
dengan sanksi yang dijatuhkan terhadap anak nakal, UU sistem peradilan pidana
anak telah mengaturnya yaitu dalam Pasal 71 yaitu pidana pokok terhadap anak
yang melakukan tindak pidana adalah pidana peringatan, pidana dengan syarat,
dan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat serta perampasan keuntungan
yang diperoleh dari tindak pidana.
Dalam
hukum positif di Indonesia sebenarnya telah diakui adanya sanksi selain pidana
yaitu tindakan. Meskipun didalam KUHP Pasal 10 hanya mengatur single track
system yaitu sanksi pidana saja. Ini membuktikan bahwa dalam UU sistem
peradilan pidana anak terdapat salah satu cara mediasi penal untuk menangani
perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Sanksi tindakan dalam UU sistem
peradilan pidana anak diatur dalam Pasal 82 yaitu berupa pengembalian terhadap
orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan dirumah sakit jiwa,
kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan yang diadakan oleh pemerintah,
perawatan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pencabutan surat
izin mengemudi dan perbaikan akibat tindak pidana.
Ditinjau
dari teori-teori pemidanaan, sanksi pidana lebih menekankan pada unsur
pembalasan karena dengan beranggapan bahwa suatu pemidanaan dapat mencapai tiga
hal, yakni untuk melindungi tata tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan
kejahatan dan untuk membuat orang jera melakukan kejahatan.[8] Sedangkan sanksi tindakan
lebih bersifat mendidik, tidak membalas guna menciptakan pencegahan khusus
yaitu tujuan yang ingin dicapai adalah membuat jera, memperbaiki, dan membuat
penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan itu lagi. Singkatnya,
sanksi pidana merupakan implementasi dari pengenaan sanksi pidana pada pelaku
dan sanksi tindakan berorientasi pada keamanan dan perlindungan masyarakat.
Pasal 60 ayat (3) UU SPPA mewajibkan
kepada hakim untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan
dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara.
Menurut Pasal 1 angka 13 UU SPPA, Pembimbing Kemasyarakatan adalah
pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan,
pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar
proses peradilan pidana yang berada di bawah balai pemasyarakatan (Bapas). Persoalan
Peraturan Pelaksana UU SPPA
Terkait
UU SPPA, permasalahannya adalah UU ini tidak langsung berlaku ketika
diundangkan. UU SPPA baru berlaku dua tahunterhitung sejak tanggal diundangkan
padatanggal 30 Juli 2012 sehingga baru berlakupada tanggal 30 Juli 2014. Tidak
langsung berlakunya UU ini dimaksudkan untuk memberi waktu kepada para penegak
hukum, pemerintah dan masyarakat untuk dapatmemahami nilai-nilai baru yang
terdapat dalam UU SPPA. Kondisi inilah yang menurut penulismembuat beberapa
kasus pidana anak terjadiinkonsistensi dalam memberlakukan ketentuanperaturan
perundang-undangan. Seperti padakasus pencurian bebek, pada tahap awal hinggake
persidangan konsep diversi dalam UU SPPA telah diberlakukan sedangkan pada
vonis,hakim tetap mempergunakan pendekatan UU
Menurut Prof.
Muladi[9], ahli hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang, tujuan utama
keadilan restoratif adalah mereparasi kerugian korban, pengakuan pelaku atas
kerugian akibat tindak pidana yang dia lakukan, konsiliasi atau rekonsiliasi
antara pelaku, korban dan masyarakat, reintegrasi pelaku, dan menyelesaikan
konflik secara damai.
Karena itu pula,
dalam sebuah acara di BPHN (26/8), Prof
Muladi [10]menggarisbawahi
pentingnya menjaga keamanan dan konfidentialitas para pihak dalam proses mencapai
keadilan restoratif. Termasuk memperhatikan syarat dan fakta yang relevan
dengan peristiwa. Jika tidak tercapai kata sepakat, maka kemungkinan besar
kasus itu akan dikembalikan kepada sistem peradilan pidana.
Permasalahan Terkait Mediasi dan Diversi
Ada
satu kewajiban yang dibebankan kepada pengadilan negeri, dalah hal ini ketua
pengadilan negeri terkait dengan proses diversi, baik yang dilaksanakan di
tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan. Terhadap hasil proses
diversi yang menghasilkan kesepakan di setiap tingkatan proses peradilan
pidana, ada kewajiban untuk melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
yang kemudian wajib untuk mengeluarkan Penetapan. Mengenai apa isi penetapan
tersebut, sama sekali tidak disebutkan dalam undang-undang sistem peradilan
anak. Apabila dilihat dari bahwa kesepakatan diversi adalah berupa
kesepakatan-kesepakatan (antara korban dan terdakwa anak) maka isi yang harus
termuat adalah semacam penghukuman kepada kedua belah pihak untuk menaati
apa-apa yang telah disepakatinya tersebut. (semacam putusan perdamaian dalam
perkara perdata dimana proses mediasi berhasil).
Masih terkait dengan penetapan ketua pengadilan tersebut, tentu secara administratif akan diperlukan register dan atau penomoran dalam rangka tertib administrasi. Selanjutnya apakah ketua pengadilan dalam mengeluarkan penetapan tersebut hanya semacam stempel pengesahan saja, ataukah ada kewenangan untuk menilai isi kesepakatan diversi (jangan sampai melanggar hukum apa-apa yang telah disepakati, misalnya), tentang hal ini juga tidak secara jelas ada diatur.
Selanjutnya terkait dengan penetapan dari ketua pengadilan terhadap kesepakatan diversi, apabila pada tahap penyidikan dan penuntutan, penetapan tersebut bukan merupakan produk akhir, maka dalam proses diversi di tingkat persidangan maka penetapan ketua pengadilan merupakan produk akhir yang akan mengakhiri proses peradilan pidana anak.
Masih terkait dengan penetapan ketua pengadilan tersebut, tentu secara administratif akan diperlukan register dan atau penomoran dalam rangka tertib administrasi. Selanjutnya apakah ketua pengadilan dalam mengeluarkan penetapan tersebut hanya semacam stempel pengesahan saja, ataukah ada kewenangan untuk menilai isi kesepakatan diversi (jangan sampai melanggar hukum apa-apa yang telah disepakati, misalnya), tentang hal ini juga tidak secara jelas ada diatur.
Selanjutnya terkait dengan penetapan dari ketua pengadilan terhadap kesepakatan diversi, apabila pada tahap penyidikan dan penuntutan, penetapan tersebut bukan merupakan produk akhir, maka dalam proses diversi di tingkat persidangan maka penetapan ketua pengadilan merupakan produk akhir yang akan mengakhiri proses peradilan pidana anak.
Dalam
tingkat penyidikan dan penuntutan, setelah adanya penetapan ketua pengadilan
negeri, penyidik atau penuntut umum sesuai tingkat pemeriksaan yang kemudian
akan mengeluarkan produk hukum yang akan mengakhiri perkara, yaitu baik berupa
penetapan penghentian penyidikan maupun penetapan penghentian penuntutan, kedua
produk hukum tersebut (penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan)
adalah memang merupkan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik dan penuntut umum
yang selama ini sudah dikenal. Tentu ketentuan dalam undang-undang sistem
peradilan anak mengenai diversi ini sebagai alasan yang dapat digunakan untuk
penyidik dan penuntut umum menggunakan kewenangan penghentian penyidikan dan
penuntutan tersebut.
Lalu
bagaimana dengan penetapan ketua pengadilan terhadap hasil kesepakatan diversi
yang dilakukan pada tahan persidangan. Apabila mencermati bunyi pasal dalam
undang-undang sistem peradilan anak, maka produk berupa penetapan ketua
pengadilan tersebut yang akan menjadi akhir dari suatu proses peradilan pidana
dalam perkara anak. Selama ini asas umum, bahwa pengadilan yang menerima
perkara akan menyidangkan perkara sampai dengan putusan (dalam hal ini akan
ditentukan status hukum atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, apakah
terbukti, lepas atau tidak terbukti dan bebas). Dengan penetapan ketua
pengadilan negeri (yang isinya berupa penghukuman untuk menaati hasil
kesepakatan diversi) yang kemudian mengakhiri perkara, maka selanjutnya jaksa
yang akan melaksanakan penetapan (dalam hal ini memastikan bahwa isi
kesepakatan diversi terlaksana dengan baik) sehingga dengan demikian berkas
perkara akan menjadi arsip di pengadilan negeri.
Kesepakatan Mediasi dan Diversi Tidak
Dilaksanakan
Meskipun
pada dasarnya kesepakatan diversi adalah hasil musyawarah mufakat antara korban
dan terdakwa anak/keluarganya, bukan tidak mungkin terjadi wanprestasi di dalamnya.
Hal ini juga sudah di atur dalam undang-undang sistem peradilan anak. Terkait
hal tersebut apabila diversi masih pada tahap penyidikan dan penuntutan maka
tidak akan terlalu menimbulkan permasalahan, dalam arti penyidik atau penuntut
umum yang telah mengeluarkan penetapan penghentian penyidikan dan atau
penuntutan tinggal membuka kembali berkas dan melanjutkan proses hukum sesuai
dengan tahapannya. Akan menimbulkan kesulitan ketika proses diversi yang
terjadi di tahap persidangan, apabila ternyata penetapan ketua pengadilan yang
menghentikan perkara (tidak dikenal dalam hukum acara secara umum, sebagaimana
penghentikan penyidikan dan atau penuntutan) berdasar kesepakatan diversi,
ternyata isi kesepakatan tidak dilaksanakan maka bagaimana mekanisme membuka
kembali perkara tersebut. Jika dalam penyidikan dan penuntutan sepenuhnya
kewenangan penyidik atau penuntut umum, maka dalam proses persidangan selain
pengadilan (ketua pengadilan dan atau hakim/majelis hakim) di dalamnya juga
terlibat penuntut umum dan penasehat hukum terdakwa anak. Apabila perkara
dibuka kembali, apakah dengan demikian akan diberi nomor baru (atau melanjutkan
nomor yang lama), selanjutnya ditunjuk hakim/majelis hakim baru atau yang lama,
dan seperti persidangan perkara pidana pada umumnya maka pada siding pertama
ada kewajiban penuntut umum untuk langsung menghadirkan terdakwa berikut saksi
korban, selanjutnya apakah dimungkinkan untuk proses diversi kembali, adalah
beberapa hal yang akan muncul dan menyulitkan dalam praktek apabila tidak ada
pengaturan lebih lanjut.
Konsep
mediasi dalam memunculkan keadilan restoratif di Indonesia memang masih baru.
Konsep ini, menurut Mahfud M.D.[11],
merupakan perkembangan dari teori keadilan dengan suatu pendekatan berbeda.
Tindak pidana dipandang sebagai penyakit masyarakat yang harus disembuhkan,
bukan sekadar sebagai tindakan melanggar aturan hukum. Penyembuhan inilah yang
menjadi perhatian utama, bukan pada penghukuman terhadap pelaku. Dengan kata
lain, terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan suatu tindakan pidana
lebih diutamakan untuk diberikan sanksi berupa tindakan seperti pengembalian
kepada orang tua atau mengikuti pendidikan dan pelatihan.
Konsep keadilan restoratif juga masih belum
sepenuhnya dipahami oleh penegak hukum. Pendekatan yang digunakan masih sangat
kaku karena menunggu terbentuknya Peraturan Pemerintah terkait UU SPPA. Suhadi
sangat berpergang pada asas legalitas dan kepastian hukum.
Kondisi
ini sudah diprediksi sehingga kemungkinan adanya keadilan restoratif dapat
berbenturan dengan asas legalitas dan tujuan kepastian hukum. Namun demikian,
benturan itu dengan sendirinya akan terselesaikan ketika yang dimaksud dengan
kepastian hukum adalah kepastian hukum yang adil.
Apabila
semua hakim memiliki pendekatan seperti hakim Suhadi tentunya pemberlakuan UU
SPPA haruslah menunggu setidak-tidaknya sampai dengan tanggal 30 Juli 2015.
Kondisi ini dimungkinkan oleh UU SPPA sendiri karena berdasakan Pasal 107 UU
SPPA, peraturan pelaksanaan ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU
SPPA diberlakukan. Hingga saat ini memang belum ada satupun PP terkait UU SPPA.
Dalam beberapa kesempatan seperti pertemuan dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai leading
sector dari pembuatan PP terkait UU SPPA menyatakan
bahwa awal
bulan Agustus 2014, PP akan selesai. Kenyataannya hingga saat ini hal ini tidak
terlaksana. Salah satu penyebabnya adalah sistem penganggaran tidak
memungkinkan pembahasan dilakukan pada tahun 2013 sehingga pembahasannya baru
dapat dilakukan pada tahun 2014 bersamaan dengan berlakunya UU SPPA.
Implementasi
diversi bagaimanapun juga harus dilakukan secara selektif setelah melalui
berbagai pertimbangan sebagaimana dikemukakan Ferli Hidayat bahwa kenakalan
anak dapat dipertimbangkan dari kategori kenakalan atau kejahatan yang
dilakukannya dalam tiga kategori yaitu tingkat ringan, sedang, dan berat.
Secara umum anak-anak yang melakukan kenakalan ringan sedapat mungkin diversi
dilakukan. Untuk kejahatan berat maka diversi bukanlah pilihan. Kejahatan yang
tergolong ringan sebagai petty crime, seperti pencurian ringan,
penyerangan ringan tanpa menimbulkan luka, atau kerusakan ringan pada harta
benda. Kenakalan atau kejahatan yang tergolong sedang adalah tipe kejahatan
yang di dalamnya terdapat kombinasi antara semua kondisi. Semua kondisi menjadi
pertimbangan untuk menentukan ketepatan untuk dilakukan diversi atau tidak
dilakukan diversi. Untuk kejahatan berat seperti penyerangan seksual dan
penyerangan fisik yang menimbulkan luka parah. Keadaan-keadaan yang terdapat
pada anak sebagai pelaku kejahatan berbeda-beda. Oleh karena itu, faktor-faktor
yang dapat menjadi pertimbangan implementasi diversi perlu dicermati. Beberapa
faktor situasi yang menjadi pertimbangan implementasi diversi, dapat
dikemukakan sebagai berikut[12]:
(i)
Tingkat keseriusan perbuatan: ringan, sedang atau berat. Latar belakang
perbuatan timbul dapat menjadi pertimbangan,
(ii)
Pelanggaran yang sebelumnya dilakukan
(iii)
Derajat keterlibatan anak dalam kasus
(iv) Sikap
anak terhadap perbuatan tersebut. Jika anak mengakui dan menyesali, hal ini
dapat menjadi pertimbangan.
(v) Reaksi
orang tua dan/atau keluarga terhadap perbuatan tersebut,
(vi) Usul
yang diberikan untuk melakukan perbaikan atau meminta maaf pada korban,
(vii)
Dampak perbuatan terhadap korban,
(viii)
Pandangan korban tentang metode penanganan yang ditawarkan.
(ix)
Dampak sanksi atau hukuman yang sebelumnya pernah diterima oleh pelaku anak.
(x)
Apabila demi kepentingan umum, maka proses hukum harus dilakukan.
Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan Ferli Hidayat
terdapat faktor-faktor penghambat terhadap upaya implementasi ide diversi dalam
system peradilan pidana anak Indonesia saat ini. Faktor-faktor tersebut[13] yaitu:
1)
Hambatan Internal. Walaupun keadilan Restoratif Justice dan Diversi
sudah mulai dikenal sebagai alternatif penanganan anak berhadapan dengan hukum
dari peradilan pidana dan mulai mendapatkan dukungan banyak pihak masih banyak
hambatan yang dihadapi oleh sistem peradilan anak yaitu:
(i)
Kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan sumber daya (baik
personel maupun fasilitas)
(ii)
Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum dan korban
di antara aparat penegak hukum
(iii)
Kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat (aparat penegak hukum dan
pekerja sosial anak),
(iv)
Permasalahan etika dan hambatan birokrasi dalam penukaran data dan informasi
antara aparat penegak hukum
(v)
Koordinasi antara aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Bapas,
Rutan, Lapas) masih tersendat karena kendala ego sektoral
(vi) Belum
ada persamaan persepsi antar-aparat penegak hukum mengenai penanganan anak
berhadapan dengan hukum untuk kepentingan terbaik bagi anak
(vii)
Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan dengan hukum selama
proses pengadilan (pra dan pasca putusan pengadilan)
(viii)
Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses rehabilitasi social
anak nakal dalam hal ini Departemen social atau Organisasi sosial kemasyarakat
yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja sehingga dapat
dikirim ke panti sosial untuk dibina secara khusus diberi pemulihan mental dan
perilaku
(ix)
Kurangnya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana namun kehendak
demikian tidaklah mudah dilakukan karena kerena ketentuan dalam system
pemasyakatan anak saat ini tidak memberi peluang yang demikian
(x)
Pandangan penegak hukum sisem peradilan pidana anak masih berpangkal pada
tujuan pembalasan atas perbuatan jahat pelaku anak, sehingga hakim akan
menjatuhkan pidana semata-mata diharapkan agar anak jera.
2)
Hambatan Eksternal. Bahwa dalam menerapkan sistem Restoratif Justice dan
Diversi masih banyak hambatan eksternal
yang ditimbulkan yaitu:
(i)
Ketiadaan payung hukum. Belum adanya payung hukum menyebabkan tidak semua pihak
memahami implementasi keadilan restorative dengan tujuan pemulihan bagi
pelaku, korban, dan masyarakat. Akibatnya sering ada pihakpihak yang
mengintervensi jalanya proses mediasi. Banyak pihak yang belum memahami prinsip
dalam ketentuan pasal 16 ayat (3) Undang-Undang tentang perlindungan anak yang
menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan, penjatuhan hukuman pidana bagi anak
adalah upaya terakhir. Selain itu Undang- Undang tentang Pengadilan Anak saat
ini tidak memberikan ruang yang cukup. Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan
Keadilan Restoratif dan Kepentingan Terbaik bagi Anak bagi implementasi ide
diversi. Namun demikian sebenarnya jika melihat pada Undang-Undang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Keputusan Presiden tentang
Pengesahan Hak-Hak Anak, terdapat ketentuan yang mengarah dan menghendaki
implementasi diversi. Patut disayangkan karena penegak hukum cenderung
melalaikan hal tersebut.
(ii)
Inkonsistensi penerapan peraturan. Belum adanya payung hukum sebagai landasan
dan pedoman bagi semua lembaga penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan
di lapangan dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum masalah yang paling
sederhana dapat dilihat pada beragamnya batasan yang menjadi umur minimal
seorang anak pada peraturan-peraturan yang terkait.
Akibatnya
aparat penegak hukum membuat putusan yang tidak konsisten dalam kasus anak
berhadapan engan hukum yang memiliki kemiripan unsur-unsur perbuatan,
(iii)
Kurangnya dukungan dan kerja sama antar lembaga. Masalah ini merupakan hambatan
yang lain yang masih banyak terjadi dalam menegakkan suatu ketentuan hukum,
termasuk penanganan anak berhadapan dengan hukum banyak kalangan professional
hukum yang masih menganggap mediasi sebagai metode pencarian keadilan kelas dua
dengan berpandangan bahwa mediasi tidak berhasil mencapai keadilan sama sekali
karena tidak lebih dari hasi kompromi pihak-pihak yang terlibat, padahal saat
ini hakim adalah satu-satu pihak yang bisa memediasi perkara anak yang berhadapan
dengan hukum tidak seperti mediasi perdata yang memper-bolehkan non-hakim
menjadi mediator di pengadilan.
(iv) Pandangan masyarakat terhadap perbuatan tindak
pidana. Ide diversi masih terhalang adanya pandangan masyarakat yang cenderung
dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada
pelaku anak.
II.c Efektivitas Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014 Tentang
Diversi Tindak Pidana Delinkuensi Anak
Sistem diversi adalah pengalihan penyelesaian hukum dari peradilan
formal ke luar peradilan formal. Dengan cara musyawarah yang melibatkan tokoh
masyarakat.
Dimana mediasi dalam hal ini menjadi tahap terpenting dalam menghasilkan
keadilan yang restorative.
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Nomor 4 Tahun
2014 tentang Pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak
yang seyogianya sudah harus diterapkan per 1 Agustus 2014 sebagai pengganti UU
Nomor 3 Tahun 2007.
Mahkamah Agung merespon Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak dengan sangat progresif. Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Hatta Ali
menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan sebelum
Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU SPPA dikeluarkan. Poin
penting PERMA tersebut bahwa Hakim wajib menyelesaikan persoalan ABH dengan
acara Diversi yang merupakan prosedur hukum yang masih sangat anyar dalam
sistem dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Disamping itu juga, PERMA ini
memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan Hakim dalam
penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara
khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selanjutnya
diatur dalam UU 11 tahun 2012 dan PERMA 4 tahun 2014
Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk:
Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Menurut
PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang
melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan dan
pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui
pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.
Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
Oleh karena
itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi
penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan
keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar
mengubah undang-undang semata tetapi juga memodfikasi sistem peradilan pidana
yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukumpun tercapai. Salah
satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang dikalangan
masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah untuk
mufakat”. Sehingga muediasi dan diversi khususnya melalui
konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam
menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Jika
kesepakan mediasi
dan diversi diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya
oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai
Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai
dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya
wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.
Dalam PERMA
4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau
telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA
ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk
Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :
a. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
a. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
b.Orang tua/Wali untuk
menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk
penyelesaian yang diharapkan
c.Korban/Anak Korban/Orang
tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
Bila
dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat
maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian
dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan
terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh
pihak lainnya.
Perma No. 4 Tahun 2014
salah satu upaya MA untuk mengisi kekosongan hukum acara tentang pelaksanaan
diversi dalam sistem peradilan anak. Aturan itu hanya ditujukan untuk internal
hakim, tetapi bisa saja diikuti penegak hukum lain (tidak wajib). Karena itu,
MA tidak bisa menunggu lagi karena per 1 Agustus 2014 UU SPPA harus sudah
diberlakukan. Makanya itulah alasan
konvensional Mahkamah Agung dalam menerbitkan Perma itu.
Penegakan hukum menjadi kunci agar terjaganya norma-norma
yang ada di masyarakat. Dengan penegakan hukum yang profesional dan
proporsional akan dapat menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap aparat
hukumnya sendiri sehingga kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan terwujud.
Bila hal ini dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat maka tidak akan pernah
terjadi penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat diselesaikan dengan
cara-cara yang melanggar hukum.
Kejahatan atau tindak pidana sebagai salah satu bentuk dan
perilaku menyimpang, bukanlah merupakan sikap bawaan sejak lahir (hereditas)
atau karena warisan biologis seseorang, tetapi kejahatan dapat timbul dari
banyak sebab. Salah satunya adalah dampak negatif dan reformasi yang
ditafsirkan secara keliru oleh masyarakat.
Upaya
penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu lewat jalur
“penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum
pidana). Secara kasar dapatlah dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan
lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive”
(penindasan/pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur “non penal” lebih menitik-beratkan pada sifat “preventive”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan
sebagai perbedaan secara kasar karena tindakan represif pada hakikatnya juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga
kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat
penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga
permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa;
musyawarah adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering
terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun
melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai
hukum yang berlaku.
Mediasi
pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working
principles) sebagai berikut[14] :
- Penanganan konflik (conflict handling/confliktbearbeitung) :
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum
dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada
ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah
yang dituju oleh proses mediasi.
2. Berorientasi
pada proses (process orientation/prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi
pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana
akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban
dari rasa takut, dan sebagainya.
3. Proses
informal (informal proceeding/informalität) :
Mediasi penal merupakan
suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur
hukum yang ketat.
4. Partisipasi aktif
dan otonom para pihak (active and
autonomous partici-pation-
parteiautonomie/subjektivie-rung)
5. Para pihak (pelaku dan
korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih
sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk
berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
Seorang
penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainya, lazimnya
mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah
mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status
conflic dan conflic of roles). Kalau di dalam kenyataannya terjadi
suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya
dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi kesenjangan peranan (role-distance).
Untuk
mengatasi hal ini, menurut Satjipto
Rahardjo[15]
pemecahannya dapat dibantu dengan menggunakan teori fungsi (functie theorie)
yang dikemukakan oleh Herman Heller bahwa fungsi institusi negara adalah untuk
melindungi masyarakat dan segala macam kepentingan yang bertentangan dengan
hukum yang dapat menimbulkan ketidaktertiban. Untuk itu harus ada instansi yang
mengatur dan sekaligus mempunyai fungsi atau wewenang agar tidak terjadi
kekacauan. Dalam pengertian fungsi terkandung arti tugas, task atau werking
yang meliputi lingkungan pekerjaan dan suatu institusi dalam hal mana
ditetapkan tugas dan wewenang yang menjadi kompetensinya. Juga dalam pengertian
fungsi terkadung pengertian hubungan timbal balik antara instansi atau aparatur
yang ada kaitannya dengan tugas ketertiban tersebut.
Berdasarkan
posisi yang dijelaskan di atas, tampak bahwa institusi negara atau lembaga
pemerintahan (termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia), adalah sebagai
instrumen masyarakat (the state in an instrument of social man). Jadi,
teori ini mencoba menjawab bahwa setiap organisasi negara atau lembaga
pemerintahan memiliki tugas dan wewenang yang telah ditetapkan berdasarkan
undang-undang dan sekaligus dalam melaksanakan tugas/wewenang tersebut
mempunyai hubungan timbal
Lahirnya
kewenangan diskresi pada kepolisian didasarkan pada Undang-Undang No.2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Replik Indonesia, Pasal 18 ayat (1) dan (2) yang
berbunyi :
Untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Dalam
praktek penanganan anak yang berhadapan dengan hukum pada tingkat kepolisian
sebagai pelaku maupun baik bagai saksi/korban tidak mempedomani
peraturan-peraturan tentang anak seperti:
1.Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1974 tentang
Kesejahteraan Anak;
2.Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak;
3.Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
4.Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri;
5.Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Anggota Polri. Menurut konsep diversi dan restorative
justice dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang berhadapan dengan
hukum, yang dikeluarkan oleh Kabareskrim Polri disebutkan, karena sifat
avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk
menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaki kembali. Menghindarkan anak
dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila
dihukum maka tidak efektif.
a. Anak tidak perlu ditahan (menghindari
penahanan);
b. Menghindari stigma/cap/ sebagai
penjahat;
c. Peluang bagi anak meningkatkan
keterampilan hidup;
d. Peluang bagi anak bertanggung jawab
atas perbuatannya;
e. Tidak melakukan pengulangan tindak
pidana;
f. Mencegah memajukan
intervensi-intervensi yang diperlukan;
g. Bagi korban dan pelaku tanpa harus
melalui proses formal;
h.Menghindarkan
anak mengikuti proses sistem peradilan menjauhkan anak-anak dari pengaruh dan
implikasi negatif dari proses peradilan;
Menjadi masalah serius di Indonesia yaitu ketika
Undang-undang itu dibuat tetapi belum ada peraturan pelaksanaannya sehingga
dalam praktiknya bisa menimbulkan perbedaan pemahaman Bahwa
peraturan pemerintah belum ada yang mengaturnya, sehingga kadang kala sering
terbentur ketika ditolak pada saat pelimpahan. PP-nya belum terbit,
untuk sementara menggunakan Perma RI Nomor 4 Tahun 2014 sejauh tidak
menyalahi UU.
Koordinasi
terkait
terjadinya perpanjangan penahanan itu sangatlah tidak
efektif dan menunjukkan bahwa adanya lubang “hole” dalam aturan itu sendiri. Diperlukan subjektivitas
yang konsisten dan dapat dipertanggung jawabkan dalam memilah
mana yang cocok untuk di-diversi dan mana yang harus dilanjutkan. Jika
memang sudah diupayakan untuk diversi tapi tidak menemui hasil maka harus
dilanjutkan, karena hukum pidana itu upaya terakhir jika diversi
tidak dapat tercapai.
Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 mengatur tentang pedoman pelaksanaan
diversi dalam SPPA. Dalam kasus anak berkelahi atau mencuri jambu, penyidik
tidak boleh melakukan penahanan tapi harus memanggil pihak-pihak terkait untuk
mediasi.
Penyidik itu terlebih dahulu harus melakukan proses diversi. Memanggil pihak-pihak terkait. Orang tuanya, pelaku, korban, badan pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakan. Itu harus dipanggil semua untuk duduk bersama kemudian didengarkan. Kalau itu berhasil, berarti ada kesepakatan diversi. Misalnya kalau dipukul, diobati luka-lukanyanya, dimaafkan. Diversi berhasil jika ada perdamaian. Jika diversi berhasil dilakukan tetapi anak yang menjadi pelaku melanggar kesepakatan, maka diversi dianggap batal
Penyidik itu terlebih dahulu harus melakukan proses diversi. Memanggil pihak-pihak terkait. Orang tuanya, pelaku, korban, badan pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakan. Itu harus dipanggil semua untuk duduk bersama kemudian didengarkan. Kalau itu berhasil, berarti ada kesepakatan diversi. Misalnya kalau dipukul, diobati luka-lukanyanya, dimaafkan. Diversi berhasil jika ada perdamaian. Jika diversi berhasil dilakukan tetapi anak yang menjadi pelaku melanggar kesepakatan, maka diversi dianggap batal
Perma No. 4
Tahun 2014 salah satu upaya MA untuk mengisi kekosongan hukum acara tentang
pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan anak. Aturan itu hanya ditujukan
untuk internal hakim, tetapi bisa saja diikuti penegak hukum lain (tidak
wajib).
Kekurangan Perma diversi juga membutuhkan peraturan teknis mengenai sertifikasi hakim, jaksa, dan penyidik yang menangani kasus tindak pidana yang melibatkan anak. Sertifikasi itu penting, pihak kejaksaan dan kepolisian juga perlu menyediakan ruang khusus diversi atau mediasi. Ini semua mesti diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan diatas secara garis besar Efektivitas Pelaksanaan
Mediasi Dalam
Tindak Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Dasar aturan Pelaksanaan mediasi dalam Tindak
Pidana Delinkuensi Anak di Indonesia pada dasarnya mengacu pada Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child)
yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Mediasi dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak pada dasarnya merupakan bentuk penanganan non formal yang mulai dimasukkan (dipositifkan)
dalam aturan Sistem Peradilan Anak yang mengusung ketercapaian keadilan restoratif ditiap tahapannya tanpa mengabaikan legalitas dan kepastian
hukum, yaitu kepastian yang didasarkan tujuan kepastian hukum itu sendiri.
2.
Efektivitas pelaksanaan Mediasi
dalam tindak pidana Delinkuensi anak di Indonesia masih jauh dari efektif. Hal ini diantaranya disebabkan karena:
a.
Keinginan besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan
hukuman penjara bukan saja membuat penjara penuh, tetapi juga menghambat penerapan keadilan restoratif. Bahkan dalam hal
pelaku tindak pidana anak-anak, kultur menghukum yang tumbuh subur di
masyarakat akan menghambat penerapan mediasi dan diversi dalam memunculkan
keadilan yang restorative justice.
b.
Inkonsistensi pemberlakuan peraturan
peradilan pidana anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA) tidak langsung berlaku pada saat diundangkan. Jeda waktu
pemberlakuan UU menjadi celah ukum terkait konsep keadilan restoratif pada
pidana anak yang mengedepankan penyelesaian kasus dengan mementingkan hak anak
melalui pemulihan pada keadaan semula.
c.
Dalam praktiknya menimbulkan perbedaan
pemahaman karena peraturan pemerintah belum ada yang
mengaturnya, sehingga terbentur ketika ditolak pada saat pelimpahan. Sedangkan
penggunaan Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 4 Tahun 2014 sejauh tidak menyalahi Undang-undang membuktikan
kebingunan dari negara dalam hal ini Mahkamah Agung itu sendiri, karena
Peraturan Mahkamah Agung hanya mengikat Hakim dan tidak mengikat instansi
Kepolisian dan Kejaksaan serta instansi terkait lainnya yang merupakan ranah
Peraturan Pemerintah.
Saran :
- Diperlukan adanya Optimalisasi continue dan konsisten terkait pemahaman dalam pelaksanaan dan pengawasan penegakan hukum terkait mediasi tiap tahapan baik dimulai dari penyidikan, penuntutan hingga sampai di persidangan.
- DPR perlu lebih mempertimbangkan konsekuensi UU jika tidak diberlakukan segera setelah diundangkan. DPR juga perlu mendesak pemerintah untuk segera mengundangkan peraturan pemerintah dan menyosialisasikan pentingnya konsep keadilan restorative di masyarakat.
- Diharapkan dapat dimasukkannya variasi antara konsep restorative justice dengan mediasi penal berdasarkan kearifan lokal yang pada hakikatnya dijalankan masyarakat adat dan kini hendaknya dapat diangkat ke dalam hukum positif dalam hal ini dalam Rancangan KUHP yang akan mendatang.
Lampiran.1
Pelaksanaan Mediasi Mediasi Dalam Tindak Pidana Delinkuensi Anak berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
No
|
PERIHAL
|
UU SPPA
(UU NO.
11 TAHUN 2012)
|
UU
PENGADILAN ANAK
(UU NO. 3
TAHUN 1997)
|
1.
|
Penuntutan Perkara Anak
|
Penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum Anak, dalam hal belum
ada tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas
penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa (Pasal 41)
|
Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan
dapat dilakukan penuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat
surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP (Pasal 54)
|
2.
|
Diversi pada tingkat Penuntutan
|
Penuntut Umum wajib melakukan diversi (Pasal 7, Pasal 42 )
|
Tidak diatur
|
3.
|
Ketentuan Diversi Pada Tingkat Penuntutan
|
1.Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh)
hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.
2.Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
3.Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan:
-Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta
kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
4.Dalam hal Diversi gagal:
-Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan
melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan penelitian
kemasyarakatan
(Pasal 42ayat 1 s/d 4)
|
|
4.
|
Penunjukkan Hakim Pemeriksa Perkara Anak
|
Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk
menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas
perkara dari Penuntut Umum (Pasal 52 (1)
|
|
5.
|
Hakim Pemeriksa Perkara Anak
|
1.Hakim (pertama/banding/kasaksi) memeriksa dan memutus perkara
Anak dengan hakim tunggal (Pasal 44 (1),
Pasal 47 (1) , Pasal 50 (1)
2.KPN/KPT/KMA dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan
hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7
(tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya (Pasal 44 (2), Pasal 47 (2) , Pasal 50 (2)
3.Dalam setiap persidangan Hakim dibantu oleh seorang panitera
atau panitera pengganti (Pasal 44 (3),
Pasal 47 (3) , Pasal 50 (3)
|
1.Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama
sebagai hakim tunggal.
2.Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara
anak dilakukan dengan hakim majelis.
3.Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera
atau seorang Panitera Pengganti (Pasal 11, 14, 18)
|
6.
|
Syarat Menjadi Hakim Anak
|
1. telah berpengalaman sebagai hakim dalam
lingkungan peradilan umum;
2. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak;
Memahami: 1) pembinaan Anak yang meliputi pola asuh keluarga,
pola pembinaan sopan santun, disiplin Anak, serta melaksanakan pendekatan
secara efektif, afektif, dan simpatik; 2) pertumbuhan dan perkembangan Anak;
dan 3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang memengaruhi
kehidupan Anak;dan
3. telah mengikuti pelatihan teknis tentang
peradilan Anak.
(Pasal 43 ayat (2), Pasal 46, Pasal 49)
Catatan:
Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi syarat UU SPPA,
Hakim pada pengadilan yang telah ditetapkan sebagai Hakim Anak berdasarkan SK
KMA sesuai UU No. 3 Tahun 1997
ditetapkan sebagai Hakim Anak berdasarkan UU SPPA (Pasal 10 Perma No.
4 Tahun 2014)
|
a. telah berpengalaman sebagai hakim di
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah anak
(Pasal 10, 13 dan 17)
|
7.
|
Diversi pada tingkat
pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri
|
- Hakim wajib melakukan diversi (Pasal 7, Pasal 52)
- Yang melakukan diversi dinamakan dengan Fasilitator
Diversi yakni Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani
perkara anak yang bersangkutan (Pasal 1 angka 2 PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPA)
- Diversi dilakukan melalui Musyawarah dengan melibatkan
pihak-pihak terkait (Pasal 8 ayat 1) dan menurut Pasal 1 angka 1 Perma
Diversi, musyawarah diversi adalah musyawarah antara para pihak untuk
mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan Keadilan Restoratif.
|
Tidak diatur
|
8.
|
Ketentuan Diversi Pada pemeriksaan perkara Anak di pengadilan
negeri
|
1. Hakim wajib mengupayakan Diversi paling
lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai
Hakim.
2.Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari
3.Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan
negeri.
(Pasal 52 ayat 2,3 dan 4)
|
|
9.
|
Syarat Perkara Anak yang Wajib di Laksanakan Diversi
|
a.Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di
bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7
ayat 2)
b.Dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan
Subsidaritas, alternative, kumulatif, maupun kombinasi (Pasal 2 PERMA No. 4
Tahun 2014)
|
|
10.
|
Diversi menghasilkan Kesepakatan
|
Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan Hakim
menyampaikan :
- berita acara Diversi beserta
- kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan (Pasal 52
ayat 5)
|
|
11.
|
Diversi tidak berhasil/ tidak menghasilkan Kesepakatan
|
Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara
dilanjutkan ke tahap persidangan (Pasal 52 ayat 6)
|
|
12.
|
Pengawasan Proses dan Hasil Kesepakatan Diversi
|
1.Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan
yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di
setiap tingkat pemeriksaan (KPN).
2.Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan
Diversi dilaksanakan, PK wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan (Pasal 14 ayat 1, 2)
|
|
13.
|
Hasil Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan oleh Anak
|
1.Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu
yang ditentukan, PK segera melaporkannya kepada KPN (Pasal 14 ayat 3)
2.KPN wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari (Pasal 14 ayat 4)
Bentuk dari “menindaklanjuti laporan”??
1.Pendapat Pertama : bentuk tindak lanjut laporan adalah KPN
mengeluarkan Penetapan untuk mencabut hasil kesekatan diversi dan perintah
untuk meelanjutkan penyidikan/penuntutan/persidangan;
2.Pendapat Kedua: digunakan langkah teguran terhadap anak
(mengadopsi teguran dalam perkara perdata) yakni
- Anak ditegur untuk melaksanakan kesepakatan diversi
tersebut, karena ada klausula “KPN wajib menindaklanjuti laporan”
- Jika anak setelah ditegur tetap tidak melaksanan
Kesepakatan Diversi maka Ketua mengeluarkan Penetapan untuk mencabut hasil
kesekatan diversi dan perintah untuk meelanjutkan
penyidikan/penuntutan/persidangan;
3.Sidang Anak dilanjutkan karena menurut :
- Pasal 13 huruf b Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan
dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan
Pasal 52 ayat 6, Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan,
perkara dilanjutkan ke tahap persidangan
|
|
14.
|
Permasalahan dalam Pelaksanaan Diversi di pengadilan negeri
|
1. Langkah hukum jika terdapat berkas perkara yang
wajib dilakukan diversi akan tetapi diversi tidak dilaksanakan oleh
Penyidik/Penuntut Umum?
2. Proses dan Tata Cara melakukan Diversi ?
3. Keterlibatan Penuntut Umum dalam diversi di PN ?
4. Pihak yang berkewajiban melakukan
pemanggilan terhadap para pihak terkait
dalam diversi ?
5. Dapatkah dilakukan upaya paksa untuk
menghadirkan pihak yang harus hadir dalam diversi yang telah dipanggil patut
tetapi tidak hadir ?
6. Biaya panggilan pihak yang terkait diversi
?
7. Dikenal ataukah tidak dikenal Biaya perkara
diversi, seperti biaya perkara pidana atau perdata atau tidak dikenal sama
sekali?
8. Status perkara yang diversinya berhasil,
cukup dengan Penetapan dari KPN ataukah Hakim membuat putusan/penetapan
terkait perkara tersebut ?
Karena untuk Penyidik setelah ada PENETAPAN dari KPN harus
menerbitkan penetapan penghentian penyidikan dan Penuntut Umum harus
menerbitkan penetapan penghentian penuntutan (Pasal 12 ayat 5)
9. Hakim dan KPN dapat merubah/memperbaiki
Hasil Kesepakatan diversi ?
10. Pengaturan Barang Bukti dalam hal diversi berhasil ?
11. Upaya hukum jika hasil kesepakatan diversi tidak
dilaksanakan anak ?
12. Dalam hal hasil kesepakatan diversi tidak dilaksanakan,
apakah memerlukan penetapan baru untuk mencabut penetapan diversi berhasil
dari KPN ?
13. Dalam hal hasil kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan maka
sidang dilanjutkan, hal ini menimbulkan masalahan mengenai asas praduga tidak
bersalah dan asas pembuktian?
Pembuktian dalam Diversi “menganggu” pembuktian persidangan.
14. Hakim PT dan Kasasi bisa melakukan diversi ?
|
|
15.
|
Pelaksanaan Diversi di Pengadilan Negeri menurut PERMA Diversi
|
1. Persiapan Diversi
2. Tahapan Musyawarah Diversi
3. Kesepakatan Diversi
|
|
16.
|
Persiapan Diversi menurut PERMA Diversi
|
1. Setelah menerima Penetapan KPN untuk menangani
perkara anak yang wajib diupayakan Diversi Hakim mengeluarkan PENETAPAN HARI
MUSYAWARAH DIVERSI
2. PENETAPAN Hakim memuat perintah kepada
Penuntut Umum yang melimpahkan perkara anak untuk menghadirkan :
- Anak dan orang tua/Walinya atau Pendampingnya
- Korban dan/atau orang tua/Walinya
- Pembimbing Kemasyarakatan
- Pekerja Sosial Profesional
- Perwakilan masyarakat
- Pihak-pihak terkait lainnya
3. PENETAPANHakim mencantumkan hari, tanggal, waktu
serta tempat dilaksanakannya Musyawarah Diversi (Pasal 4 Perma No. 4 Tahun
2014)
|
|
17.
|
Tahapan Musyawarah Diversi menurut PERMA Diversi
|
1. Musyawarah Diversi dibuka oleh Fasilitator
Diversi dengan perkenalan para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan
tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakatai
para pihak yang hadir
2. Fasilitator diversi menjelaskan tugas
fasilitator diversi
3. Fasilitator diversi menjelaskan ringkasan
dakwaan dan PK memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan social Anak
serta memberikan saran untuk
memperoleh penyelesaian.
4. Fasilitator diversi wajib memberikan
kesempatan kepada :
a. Anak untuk didengar keterangan perihal
dakwaan
b. Orangtua/wali untuk menyampaikan hal-hal
yang berkaitana dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
c. Korban/Anak Korban/Orang tua/wali
untuk memberi tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
5. Pekerja social professional memberikan
informasi tentang keadaan social anak korban serta memberikan saran untuk
memperoleh penyelesaian yang diharapkan
6. Bila dipandang perlu Fasilitator diversi
dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan
informasi untuk mendukung penyelesaian.
7. Bila dipandang perlu, Fasilitator diversi
dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus) dengan para pihak.
8. Fasilitator diversi menuangkan hasil
musyawarah diversi ke dalam Kesepatan Diversi
9. Dalam menyusun kesepakatan diversi,
Fasilitator diversi memperhatikan dan mengarahkan agar kesepakatan tidak
bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan,
atau memuat hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan anak atau memuat itikad
tidak baik.
(Pasal 5 Perma No. 4 Tahun 2014)
|
|
18.
|
Kesepakatan Diversi menurut PERMA Diversi
|
1. Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita
Acara Diversi dan ditandatangani oleh Fasilitator diversi dan Panitera/
Panitera Pengganti
2. Kesepakatan diversi ditandatangani oleh
Para Pihak dan dilaporkan kepada KPN oleh Fasilitator Diversi
3. KPN mengeluarkan PENETAPAN Kesepakatan
Diversi berdasarkan kesepatakan diversi.
- Penetapan KPN atas kesepakatan diversi
memuat pula penentuan status barang bukti yang telah disita dengan
memperhatikan Kesepakatan Diversi (Pasal 9 Perma No. 4 Tahun 2014)
4. KPN dapat mengembalikan Kesepakatan Diversi
untuk diperbaiki Fasilitator Diversi apabila tidak memenuhi syarat Pasal 5
ayat 9, selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari.
5. Setelah menerima penetapan dari KPN, Hakim
menerbitkan Penetapan Penghentian Pemeriksaan Perkara (Pasal 6 Perma No. 4
Tahun 2014)
6. Fasilitator Diversi tidak dapat dikenai
pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi Kesepakatan Diversi.
(Pasal 8 Perma No. 4 Tahun 2014)
|
|
19.
|
Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan Anak menurut PERMA
Diversi
|
1. Dalam hal kesepakatan diversi tidak
dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan hasil laporan dari PK
Bapas, Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan hukum acara
Peradilan Pidana Anak
2. Dalam menjatuhkan putusan, Hakim wajib
mempertimbangkan pelaksanaan sebagian Kesepakatan Diversi.
(Pasal 7 Perma No. 4 Tahun 2014)
|
|
20.
|
Cara Pelaksanaan Diversi tanpa persetujuan Korban (Pasal 9 ayat
(2) UUSPA)
|
Dalam UU SPPA dan PERMA belum diatur mengenai teknis dan pedoman
pelaksanaannya
|
|
21.
|
Diversi terhadap perkara anak yang didakwa melakukan tindak
pidana tanpa korban
|
Dalam UU SPPA dan PERMA belum diatur mengenai teknis dan pedoman
pelaksanaannya
Contoh dalam perkara narkotika anak didakwa sebagai Pengguna
Narkotika dengan ancaman pidana minimal 1 tahun:
1. Terhadap perkara tersebut apakah dapat
dilakukan diversi ?
2. Bagaimana teknis
pelaksanaan diversinya ?
3. Siapakah pihak yang harus
hadir dalam diversi tersebut ?
4. Apakah di tingkat
pemeriksaan di persidangan dimungkinkan adanya diversi tanpa korban ?
Catatan :
Untuk di tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri, apakah
dimungkin hakim melakukan diversi terhadap perkara anak tanpa korban,
sehingga oleh karena Negara berkepentingan terhadap akibat tindak pidana yang
dilakukan maka Negara dalam hal ini diwakili Penuntut Umum menjadi pihak
dalam diversi selain anak.
Sehingga Hakim dapat melakukan diversi dengan menempatkan anak
dan Penuntut Umum secara berhadapan, dalam proses ini terdapat langkah
musyawarah untuk mencari kesepakatan
Contoh : dalam kasus anak pengguna narkotika, diversi dilakuan
antara anak (orang tua/PK) dengan Penuntut Umum (Peksos), dalam diversi
tersebut disepakati bentuk hukuman atau tindakan yang tepat untuk anak,
misalnya penuntut umum meminta anak direhab selama 1 tahun dan anak
menyetujuinya maka hal itu dapat diputuskan dalam diversi.
Atau memang tidak dikenal sama sekali proses Diversi perkara
tanpa korban pada tingkat penuntuttan dan persidangan ?
|
|
22.
|
Pemeriksaan Perkara Anak dilakukan di ruang khusus, harus di
dahulukan dan bersifat Tertutup
|
1. Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus
Anak (Pasal 53 ayat 1)
2. Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari
ruang tunggu sidang orang dewasa (Pasal 53 ayat 2)
3. Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu
sidang orang dewasa (Pasal 53 ayat 3)
4. Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang
yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan (Pasal 54)
Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan
pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, misalnya perkara pelanggaran
lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan perkara
di tempat kejadian perkara.
|
Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup
untuk umum (Pasal 57 ayat1)
|
23.
|
Acara/Proses Persidangan Perkara anak
|
1. Setelah Hakim membuka persidangan dan
menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta:
- orang tua/Wali,
- Advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya, dan
- Pembimbing Kemasyarakatan
(Pasal 56)
|
1. Setelah Hakim membuka persidangan dan
menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa dipanggil masuk beserta:
- orang tua, wali, atau
orang tua asuh,
- Penasihat Hukum, dan
- Pembimbing Kemasyaratan
(Pasal 57 ayat 1)
|
2. Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim
memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali
Hakim berpendapat lain (Pasal 57 ayat 1)
Penjelasan Pasalnya : Ketentuan “tanpa kehadiran Anak“
dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang memengaruhi jiwa Anak Korban
dan/atau Anak Saksi.
|
2. Tidak ada pembacaan Litmas
|
||
3. Pada saat memeriksa Anak Korban dan/atau
Anak Saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Anak dibawa keluar ruang sidang
dan :
- orang tua/Wali,
- Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan
-Pembimbing Kemasyarakatan
tetap hadir (Pasal 58 ayat 1, 2)
Sidang Anak dilanjutkan setelah Anak diberitahukan mengenai
keterangan yang telah diberikan oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi pada
saat Anak berada di luar ruang sidang pengadilan (Pasal 59)
|
3. Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar
terdakwa dibawa keluar ruang sidang dan
- orang tua, wali, atau orang tua
asuh,
-Penasihat Hukum, dan
-Pembimbing Kemasyarakatan
tetap hadir (Pasal 58 ayat 1, 2)
|
||
4. Hakim sebelum menjatuhkan putusan
memberikan kesempatan kepada :
- orang tua/Wali dan/atau pendamping untuk
mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak.
- Anak Korban untuk menyampaikan pendapat
tentang perkara yang bersangkutan (Pasal 60 ayat 1, 2)
|
4. Hakim sebelum mengucapkan putusannya,
memberikan kesempatan kepada :
- orang tua, wali, atau orangtua asuh untuk
mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak (Pasal 59 1)
|
||
5. Hakim wajib mempertimbangkan laporan
penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan
putusan perkara, dan jika tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan
batal demi hukum (Pasal 60 ayat 3, 4)
Batal demi hukum dalam ketentuan ini adalah tanpa dimintakan
untuk dibatalkan dan putusan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
|
5. Putusan wajib mempertimbangkan laporan
penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 59 ayat 2)
Penjelasan Pasal 59, Yang dimaksud dengan "wajib"
dalam ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
|
||
6. Pembacaan putusan pengadilan dilakukan
dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak
(Pasal 61)
|
6. Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum (Pasal 59)
|
||
24.
|
Pihak yang wajib hadir dalam sidang anak
|
Hakim wajib memerintahkan :
- orang
tua/Wali atau pendamping,
- Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan
-
Pembimbing Kemasyarakatan
untuk mendampingi Anak (Pasal 55 ayat 1)
Pasal 55 Ayat (1) Meskipun pada prinsipnya tindak pidana
merupakan tanggung jawab Anak sendiri, tetapi karena dalam hal ini
terdakwanya adalah Anak, Anak tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang
tua/Wali.
|
Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi :
- orang
tua, wali, atau orang tua asuh,
-
Penasihat Hukum, dan
-
Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 57 ayat 1)
|
25.
|
Pihak yang dapat memberikan Bantuan Hukum bagi Anak
|
Bantuan hukum bagi anak menurut SPPA dapat diberikan oleh :
-
Penasihat Hukum/Advokat dan
- “pemberi
bantuan hukum lainnya” yaitu paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum
sesuai dengan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum (vide penjelasan Pasal 18
UU SPPA).
Bagaimana Teknis dari pemberian bantuan hukum dari paralegal,
dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dipersidangan ??
- harus
ada surat izin beracara?
- Harus
ada surat kuasa Khusus dari Anak ?
- Memiliki
hak untuk bertanya di persidangan ?
- Memiliki
hak untuk mewakili anak melakukan upaya hukum di persidangan mis. Mengajukan
pembelaan ?
- Memiliki
hak unuk mewaliki anak mengajukan upaya hukum atas putusan perkara anak ?
|
|
26.
|
Kehadiran Orang tua/Wali dan/atau pendamping dalam sidang Anak
|
1. Orang tua/wali/pendamping wajib
diperintahkan Hakim untuk mendampingi anak;
2. Dalam hal orang tua/Wali dan/atau
pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi:
- Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau
-
Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 55 ayat 2)
|
Tidak ada pengaturan secara khusus
|
27.
|
Kehadiran Advokat dalam Sidang Anak
|
1. Anak DAPAT tidak dampingi oleh Advokat
karena Pasal 55 ayat 2 menyatakan “sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya DAN/ATAU Pembimbing Kemasyarakatan jadi anak bisa didampingi oleh
:
- Advokat dan PK,
- Advokat saja,
- PK saja
2. Anak HARUS didampingi oleh Advokat karena :
- Pasal 56 menyatakan, Anak dipanggil masuk
beserta: Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, DAN Pembimbing
Kemasyarakatan (Pasal 56)
- Pasal 23 ayat 1 UU SPPA, Dalam setiap
tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
PK atau pendamping lain.
|
|
28.
|
Kehadiran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam Sidang Anak
|
1. Anak DAPAT tidak dampingi oleh PK karena
Pasal 55 ayat 2 menyatakan “sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya DAN/ATAU Pembimbing Kemasyarakatan jadi anak bisa didampingi oleh
:
- Advokat dan PK,
- Advokat saja,
- PK saja
2. Anak HARUS didampingi oleh PK karena :
- Pasal 23 ayat 1 UU SPPA, Dalam setiap tingkat
pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh PK atau
pendamping lain.
-Pasal 56 menyatakan, Anak dipanggil masuk beserta: Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya, DAN Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56)
-Pasal 57, ada kewajiban PK untuk membacakan litmas anak
|
|
29.
|
Akibat Hukum jika Pihak yang wajib hadir dalam sidang anak tidak
hadir
|
Sidang Anak batal demi hukum, jika Hakim tidak melaksanakan
ketentuan anak didampingi oleh Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
dan/atau PK apabila orang tua tidak hadir (Pasal 55 ayat 3)
|
|
30.
|
Penyerahan Hasil Litmas untuk kepentingan Sidang Anak
|
PK membacakan hasil Litmas setelah surat dakwaan dibacakan
(Pasal 57 ayat 1)
|
Sebelum sidang dibuka, PK menyampaikan laporan Litmas (Pasal 56
ayat 1)
|
31.
|
Isi dan bentuk Laporan Litmas
|
Laporan berisi:
a.data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial;
b.latar belakang dilakukannya tindak pidana;
c.keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana
terhadap tubuh atau nyawa;
d.hal lain yang dianggap perlu;
e.berita acara Diversi; dan
f.kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan
(Pasal 57 ayat 2)
|
Laporan berisi :
a. data individu anak,
keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak; dan
b. kesimpulan atau pendapat dari
PK (Pasal 56 ayat 2)
|
32.
|
Anak Korban atau Anak Saksi memberikan keterangan dipersidangan
wajib didampingi
|
1. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak
Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh :
- orang tua dan/atau
- orang yang dipercaya oleh Anak Korban
dan/atau Anak Saksi, atau
- Pekerja Sosial (Pasal 23 ayat 2)
2. Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau
terdakwa perkara yang sedang diperiksa, kewajiban untuk didampingi oleh orang
tua tidak berlaku (Pasal 23 ayat 3)
|
|
33.
|
Korban dan Anak saksi tidak dapat memberikan keterangan di
persidangan
|
Hakim dapat memerintahkan Anak Korban dan/atau Anak Saksi
didengar keterangannya:
a. di luar sidang pengadilan melalui perekaman
elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum
setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya; atau
b. melalui pemeriksaan langsung jarak jauh
dengan alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/Wali,
Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya
Pasal 58 ayat 3
|
Tidak ada aturan secara khusus
|
34.
|
Kewajiban Pemberian Petikan Putusan Perkara Anak
|
Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan
diucapkan kepada :
-Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya,
-Pembimbing Kemasyarakatan, dan
-Penuntut Umum.
(Pasal 62 ayat 1)
|
|
Sumber: www.guseprayudi.blogspot.com,
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BAGIAN 3 Monday, September 8, 2014, diakses pada
tanggal 10 Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku :
Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa,
PT. Fikahati
Aneska, Jakarta, 2002.
Widnyana, I Made, Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR), PT Pikahati Aneska, Jakarta, 2009.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan
Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta, 2001.
Friedman, M. Lawrence, American
Law, An Introduction, W.W. Norton, New York, 1986.
Fakrulloh, Zudan Arif, Membangun
Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang
Nonet, Philip and Philip Selznik, Law and Society in Transition : Toward Responsive Lw, Harper
Colophon Books, Harper & Row, Publisher, New York, 1978.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik
Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988.
Peters, A.A.G., Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan Sosial, Penerbit Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1990.
Rahardjo. Satjipto, Permasalahan
Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983.
Rahardjo, Satjipto, Hukum
Dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1986.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu
Hukum, Penerbit PT. Citra Aditra Bakti, Bandung, 1991.
Seidman, B. Robert, Law and
Development, University Wisconsin Madison.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, Surabaya:
Lembaga Bantuan Hukum, 1985.
A. Masyur Effendi, Bunga Rampai
Teori Hukum, Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum, (Jakarta, 2004)
Achmad Gunaryo, “Konflik dan Pendekatan Terhadapnya”, dalam buku
M. Mukhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Semarang:WMC IAIN
Walisongo, 2007.
Rahardjo Sujipto. 2006. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Manan, Bagir, 2006, Mediasi sebagai alternatif Menyelesaikan
Sengketa, Majalah Hukum XXI,No. 248Juli 2006.
Arief, Barda Nawawi. 1996. Kebijakan
Legislatif Dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.
Kusumaningrum, Santi. Penggunaan Diversi untuk Anak yang
Berhadapan dengan Hukum. (Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris
Graveson) http://Santi Kusumaningrum
-diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf.
Marlina. 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice
dalam Hukum Pidana. Medan. USU Press.
Soerjono, Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara.
Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1996.
Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,
1983, hal. 40
Santi
Kusumaningrum, Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
(Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson) http://Santi
Kusumaningrum -diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf.
Soemitro, Ronny
Hanitijo, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia
Indonesia,1990.
Sukanto, Soerjono, Sosiologi
Suatu Pengantar,Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
Young Offenders Act
1997 C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta
Darwan Prinst, 2003, Hukum
Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Nandang Sambas,2010,
Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
Romli Atmasasmita, Peradilan
Anak di Indonesia, Mandar Maju,Bandung
Setya Wahydi, 2011,
Implementasi Tindakan Diversi dalam Pembaruan
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 4
tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang No. 11
tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak (Convention
on the Rights of the Child)
Daftar Wabsite:
http://faturohmana/baintani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebagai.html,
diakses 08-12-2014, Pukul 16.35 wib.
http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidana-anak-di-Indonesia,
diakses 10-12-2014, Pukul 16.35 wib.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/mhv/article/view/4439/3359. JURNAL
MAGISTER HUKUMUDAYANA Vol. 2 No.1 tahun 2013 > MAYA SARI diakses
07-11-2014 http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidana-anak-di-Indonesia,
diakses 10-12-2014, Pukul 17.35 wib.
http://Kmfh-unud.blogspot.com/2013/04/artikel-tentang
diversi-dalam-sistem.html, diakses tanggal 29-11-2014, Pukul 17.35 wib.
http://www.hukumonline.com/berita/
baca/lt540036e7e328c/ma-berharap-ppdiversi- segera-terbit, diakses tanggal 20
Desember 2014, Pukul 17.35 wib. “Duh! MA Membebaskan Siswa SMK Pengedar
Narkotika”,
http://news.detik.com/read/2014/08/29/103303/2675864/10/duh-ma-bebaskan-siswa-smk-pengedarnarkotika?nd772205mr,
diakses tanggal 4September 2014. “Hakim Ini Penjarakan 3 Anak yang Mencuri 3
Ekor Bebek”
http://anekainfounik.
net/2014/08/27/hakim-ini-penjarakan-3-anak-yang-mencuri-3-ekor-bebek/,
diaksestanggal 1 Desember 2014“Perma No. 4 Tahun 2014, Ini Contoh Kasus Anak
yang Sebisa Mungkin Tak Dipenjara”,
http://palingaktual.com/914329/inicontoh-
kasus-anak-yang-sebisa-mungkintak-
dipenjara/read/, diakses tanggal 4
Desember 2014. “Agar Vonis Pencurian Bebek Tak Terulang,Aparat Diminta
Terapkan UU SPPA”,
NN. 1 Juli 2008.
Kasus Kejahatan Anak Meningkat Di Jawa Timur. http://detektifromantika.wordpress.com/2008/07/01/kasus-kejahatan-anak-meningkat-di-jawa-timur/.
diakses pada tanggal 1 Desember 2014.
NN. Dua Bersaudara
Tewas Gantung Diri di Polsek Sijunjung. http://hukum.kompasiana.com/2012/01/08/dua-bersaudara-tewas-gantung-diri-di-polsek-sijunjung/.
diakses pada tanggal 1 Desember 2014.
Oke Zone. Com. Kasus
Kekerasan Anak Meroket. Kamis. 24 Desember 2009.
http://getsa.wordpress.com/2009/12/24/kasus-kekerasan-anak-meroket
NN, 1 Juli
2008, Kasus Kejahatan Anak Meningkat Di Jawa Timur, http://detektifromantika.wordpress.com/2008/07/01/kasus-kejahatan-anak-meningkat-di-jawa-timur/,
diakses pada tanggal 22 /11/2014, Pukul 20.35 wib.
NN, Dua
Bersaudara Tewas Gantung Diri di Polsek Sijunjung, http://hukum.kompasiana.com/2012/01/08/dua-bersaudara-tewas-gantung-diri-di-polsek-sijunjung/,
diakses pada tanggal 1 Desember 2014. Pukul 14.35 wib.
Oke Zone. Com, Kasus Kekerasan Anak Meroket, Kamis, 24 Desember
2009. http://getsa.wordpress.com/2009/12/24/kasus-kekerasan-anak-meroket
http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInformasi/Attachments/61/Restorative
%20Justice,%20Diversionary%20Schemes%20and%20Special%20Children%E2%80%99s%20Courts%20in%20Indonesia.pdf
diakses 22 /11/2014, Pukul 16.35 wib.
[1] Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum
sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan,
dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum
dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori
hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan
pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan
dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang
sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai
media penghubung antara dunia rasional (Sollen)
dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini
mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena
kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu
hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu
hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia
kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.
[2] Linda Amalia Sari
Gumelar, Sambutan Pada Pembukaan Workshop Penanganan Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum Dengan Pendekatan Restoratif Justice di Hotel Salak Bogor, 5 April
2010, hlm.3
[3] Lihat www.Poskotanews.com
. Mediasi
Kasus Plonco Siswa SMA di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu,
24 September 2014, diakses pada hari kamis 29 Novembet 2014, pukul 10:48 WIB)
[4]Lihat www.kpai.go.id Penelitian KPAI tahun 2011, diakses pada hari
kamis 29 Novembet 2014, pukul 10:48 WIB)
[5] www.Oke Zone. Com, Kasus Kekerasan Anak
Meroket, Kamis, 24 Desember 2009. Diakses pada 3 Desember 2014 Pukul 20.35 wib.
http
[6]http://faturohmana/baintani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebagai.html,
diakses 08-12-2014, Pukul 16.35 wib.
[7] Damang, Double Track System, Diakses terakhir
pada tanggal: 21 Januari 2013,
http://www.negarahukum.com/hukum/double-track-system.html.
[8] P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang,
2010, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
[10]Ibid
[11] Lihat, www. LENSAINDONESIA.COM,
Selasa, 09 September 2014 16:02 WIB, diakses pada 03 Desember 2014 pukul 09.38
wib.
[12] Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol.
13 No. 2, Agustus 2013.Hal. 149
[13] http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidana-anak-di-Indonesia,
diakses 10-12-2014, Pukul 16.35 wib.
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid.
Komentar
Posting Komentar