Kopi Sore
Akhir
Kegelisahan Boneka Responsif
Dimanapun
didunia ini, kepolisian akan selalu ditarik ke dua arah yang berbeda, yaitu
arah formal prosedural dan arah sosiologis substansial. Keadaan dasar seperti
itu mendorong kita untuk memahami pekerjaan pemolisian sebagai suatu yang
“berakar peraturan” dan sekaligus juga “berakar perilaku” (rule based dan behavior based).
Peraturan
dan perilaku harus dimaknai sebagai suatu yang harus dikembangkan pada diri
insan kepolisian untuk lebih mampu mengembangkan diri sebagai dasar membantuk
kenerja yang profesional, dan selaku bersikap represif.
Akhir-akhir ini oleh media kita disajikan
konflik Kapolri dengan salah satu Komisioner Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) Adrianus Meliala.
Penulis disini sengaja tidak memfokuskan pada
polemik yang terjadi namun sekedar berusaha mengangkat hal-hal dari sisi lain
karena perhatian dan harapan penulis selaku rakyat awam sekaligus Adreessat hukum yang rindu dan yakin
akan terwujudnya lembaga kepolisian yang profesional.
Seperti diketahui, Adrianus dilaporkan oleh
seorang PNS wanita Divisi Humas Mabes Polri atas perkara tindak pidana menghina
suatu penguasa atau badan umum dan atau pencemaran nama baik, dan atau
memfitnah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
207 KUHP dan atau Pasal 310 KUHP
dan atau Pasal 311 KUHP.
Sebelumnya, Adrianus dilaporkan ke Polisi dan
diperiksa penyidik terkait ucapannya yang ditayangkan Metro TV
beberapa waktu lalu yang menyebut Bareskrim seperti mesin ATM bagi Polri. Untuk
diketahui, dalam wawancara dengan salah satu televisi swasta pada 18 Agustus
2014 lalu, Adrianus menyebut divisi reserse kriminal (reskrim) sebagai ATM
Polri. Masih menurut Adrianus, reskrim kerap dijadikan tempat bagi pimpinan
untuk meminta uang. Tak hanya itu, ia juga menyebut reskrim sebagai sumber uang
bagi divisi lain di tubuh Polri jika kekurangan.
Sikap Kapolri,
Dengan
dasar tidak ada batas waktu, Adrianus harus meminta maaf secara terbuka kepada
seluruh media yang ada di Indonesia. Terutama media yang digunakan (saat itu) untuk memberikan statemen di
masyarakat.
Adrianus harus mencabut
statementnya yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi Polri.
Dalam media nasional Kapolri menegaskan,
kalau Adrianus sudah memenuhi persyaratan itu maka penyidikan akan dihentikan.
Kalau tidak dipenuhi, maka Polri akan mempercepat penyidikan kasus tersebut.
"Siapa berbuat dia bertanggungjawab.
Menyampaikan pendapat di muka umum dijamin Undang-undang. Tapi, ini juga
pembelajaran agar tidak menggunakan panggung untuk memaki-maki orang," kutipan
dari detiknews.com, Sabtu (30/8/2014)
Dalam perkembangannya Adrianus Meliala telah
meminta maaf dan mejalani pemeriksaan di Kepolisian.
Kemudian timbul banyak pertanyaan, dimulai
dari Apakah pernyataan Adrianus selaku akademisi sekaligus komisioner tidak
mengindahkan nilai etika? tidak mendidik masyarakat bahkan melanggar
Undang-undang? Apakah sebegitu konyol prilaku tersebut? Apa motif dan niat yang
melatarbelakanginya? Apa sebenarnya niat dan maksud sebenarnya? Bagaimana praktek
pemeriksaan berlangsung, dimana Adrianus secara tidak langsung sejajar petinggi
kepolisian? Bagaimana efek kinerja Kompolnas dalam pengawasan, saat salah satu
Komisionernya yang harusnya mengawasi sekarang diperiksa oleh yang diawasinya? Apa
dan Bagaimana peran media saat ini? Apakah media telah tepat dalam melakukan
peran dan tugasnya sebagai bagian pencerdasan bangsa? Kalau seandainya
pencabutan statement apa dampak dari peran Adrianus selaku Akademisi,
Kriminolog sekaligus Komisioner Kompolnas? Terus harus bagaimana?
Terulang kembali?
Masih ingat dalam benak kita dahulu, laporan
015/K/1/2010/Restro Jakpus, dimana Susno Duadji selaku Petinggi Kepolisian melaporkan
pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar yang tidak lain merupakan staf pengajar
di PTIK dan Akademisi telah melakukan
pencemaran nama baik ke Polres Jakarta Pusat.
Susno menuding Bambang telah melakukan
pencemaran nama baik, terkait berita di media, yang menyebutkan bila Susno
tidak layak menjadi Wakapolri.
Terus bagaimana akhir pelaporan tersebut? Terus bagaimana dengan keberadaan Susno Duadji dengan beberapa kasusnya saat ini. Masyarakat sebenarnya telah jenuh dengan pertontonan drama yang selalu mengulang dan dengan akhir cerita (ending) yang telah terbaca.
Terus bagaimana akhir pelaporan tersebut? Terus bagaimana dengan keberadaan Susno Duadji dengan beberapa kasusnya saat ini. Masyarakat sebenarnya telah jenuh dengan pertontonan drama yang selalu mengulang dan dengan akhir cerita (ending) yang telah terbaca.
Arogansi dan Antikritik atau Ketegasan atas hate speech?
Penulis sengaja tidak masuk secara mendalam
terkait Surat Kompolnas kepada Kapolri No. B174/Kompolnas/VIG2014 yang
didalamnya secara tersirat menerangkan hate
speech. Diketahui hate speech adalah
perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat
memicu terjadinya tindakan kekerasan dan singkap prasangka entah dari pihak
pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut, sesuai dengan
surat.
Diperlukan cara pandang dalam membangun
konstruksi hukum yang responsif dimana diwujudkan dalam menafsirkan dan
mengimplementasikannya secara komprehensif.
Trus Bagaimana?
Berlebihan dan sangat berbahayakan sikap
Kompolnas? Apakah masalah komunikasi? Merumuskan masalah komunikasi secara
komprehensif, seperti di antaranya hal-hal yang cukup dibicarakan di internal
dan untuk konsumsi publik. Dengan begitu ke depan kejadian yang sama tidak
terulang kembali, apakah ini menjamin? Siapa yang menjamin kegelisahan yang
dirasakan Adrianus tidak akan terulang dengan pelaporan-pelaporan sejenis kedepannya?
Sesuaikah dengan semangat dan roh yang ada dalam lembaga Kompolnas tersebut?
Mandiri dahulu,
Kewenangan Kompolnas diperluas dan diperkuat.
Dengan terlebih dahulu memandirikan Kompolnas dari ketergantungan kepada Polri
baik fasilitas maupun penganggaran. Selanjutnya harus diikuti pola rekruitmen
yang lebih transparan agar menghasilkan komisioner Kompolnas yang mumpuni dan
berintegritas
Kegelisahan seperti ini wajar terjadi sesuai
dengan semangat pembentukan lembaga ini sendiri yang terbentuk karena
kegelisahan itu sendiri, namun kegelisahan yang tidak solutif, selalu
mengulang, bahkan tumpukan dari kegelisahan-kegelisahan sebelumnya tidaklah
baik. Sudah saatnya spirit utama
pemahaman dan pembangunan institusi hukum kepolisian sebagai Polisi Sipil yang
Profesional sekaligus pembangunan pemahaman hukum secara luas.
Kriminolog sekaligus Komisioner saja
dilaporkan apalagi masyarakat awam?
Pertanyaan ini harap dilihat sebagai reaksi
harapan masyarakat awam, sedangkan terkait pelaporan kita sudah tahu ada aturan
tersendiri untuk. Secara satu sisi Kepolisian merasa telah dirugikan karena
tidak benar, mendiskreditkan Polri, terus disaksikan oleh masyarakat lagi,
sehingga dirinya merasa perlu untuk melakukan langkah penegakan hukum.
Sangat berbahayakah? Apakah kepercayaan
masyarakat hilang terhadap kepolisian karena statement Adrianus semata? Bagaimana seandainya Andrianus dapat
membuktikan salah satu saja praktek yang ada dari statement-nya? Apa alasan utama hilangya kepercayaan masyarakat
sebenarnya? Berapa besar kerugiannya? Apakah sikap pelaporan tersebut sesuai
dengan spirit pembangunan Polisi Sipil yang Profesional? Apakah sikap yang
seharusnya dilakukan oleh Kepolisian selaku subjek dan objek dalam pembangunan
Polisi Sipil yang Profesional disesuaikan dengan era sekarang?
Saatnya Kegelisahan itu diakhiri,
Langkah Adrianus harus dianggap sebagai
bentuk kegelisahan atas praktik penyimpangan di internal Polri yang bahkan
Kompolnas sekalipun tidak cukup mampu melakukan pengawasan yang efektif.
Keberadaan Adrianus seharusnya memperkuat dan
mengefektifkan pengawasan dan kinerja Kompolnas dengan memposisikan diri sebagai
komisionernya.
Sudah saatnya para pihak tidak
larut pada teknis pengungkapan kegelisahan dan sensitifitas yang berbalut
arogansi antikritik, sudah saatnya fokus pada spirit utama yaitu menciptakan Progresifitas
Polisi, contoh kecilnya seperti;
1.Ciptakan Kultur Kepolisian yang Profesional
Dimulai penguatan paradigma
kepolisian sebagai "alat negara", dan bukan alat penguasa atau
golongan, saat ini mendapat tantangan nyata. Tantangan ini hanya bisa dijawab
dengan perubahan kultur dan mentalitas aparat Polri sendiri dengan tetap
menjaga jarak dari kegiatan politik praktis.
Program kerja kepolisian tentu
telah diprogramkan, akselerasi transformasi Polri menuju Polri yang mandiri,
professional dan dipercaya masyarakat, Masyarakat tahu Program tersebut pada
intinya berfokus pada perubahan kultur (perilaku) anggota Polri, melalui:
a.
Penilaian Kinerja Pembinaan SDM, yang berfokus meliputi personel, materil,
fasilitas dan jasa, pengembangan system dan metode serta pengawasan.
Dari
aspek birokrasi dalam meningkatkan profesionalisme polisi, perlu terus untuk
dikembangkan di dalam lingkungan internal lembaga kepolisian. Mengingat bahwa
kinerja polisi langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Sekali lagi penulis tidak memfokuskan pada polemik
yang terjadi namun sekedar berusaha mengangkat hal-hal dari sisi lain karena perhatian
dan harapan penulis selaku rakyat awam sekaligus Adreessat hukum yang rindu dan yakin akan terwujudnya lembaga kepolisian
yang profesional.
Kepada
para pihak terutama
Presiden SBY dan
Presiden terpilih selaku atasan Kapolri serta selaku pemegang
seluruh harapan dan cita-cita kami
rakyat awam letakkan. Kami sangat khawatir dan jenuh melihat drama-drama
seperti itu dipertontonkan dengan spirit yang masih jauh dari rasa responsif.
Mari saatnya para pihak membangun
instansi yang sangat diharapkan masyarakat ini dibangun dengan dasar tidak
hanya perspektif hukum semata namun perspektif sosial dan kemasyarakatan.
*_banyak sumber
Komentar
Posting Komentar