Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan Budaya Hukum Masyarakat
Perwujudan Hukum
Responsif: Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan Budaya Hukum Masyarakat
“…negara ini masih
membutuhkan pengidentifikasian dan pemberian makna lebih tajam lagi, untuk
menjawab pertanyaan ‘bernegara hukum untuk apa?Risalah ini menjawab dengan
mengatakan, kita bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagia hidup
dalam negara hukum Indonesia…” (Prof. Dr. Satjipto Rahardjo)
Hukum adalah suatu gejala sosial yang
nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum di pandang sebagai
suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat akan
suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum selain
dipandang sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat (control social),
hukum juga berfungsi sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai
keadilan substansial.
Sebagai sebuah gejala sosial yang riil, hukum akan menjadi suatu
kebutuhan jiwa manusia sebagai anggota unit kelompok secara khusus dan unit
kemasyarakatan secara umum untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan keamanan
dalam setiap gerak dinamis sistem kemasyarakatan. Maka sebagai suatu bentuk
perwujudan kehendak, hukum akan selalu berubah (dinamis) mencari bentuk persesuaian bentuknya pada dimensi ruang
dan waktunya yang tepat, termanifestasi sebagai gejala sosial yang utuh dan
mengiringi setiap kedinamisan dalam sistem kemasyarakatan yang kompleks sebagai
suatu perwujudan kehendak dari kebutuhan jiwa manusia sebagai makluk sosial.
Cicero mengatakan “ubi societas ibi
ius” yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dari pengertian
tersebut dapat diartikan bahwa oleh karena ada masyarakat maka hukum itu ada.
Hukum diciptakan untuk melindungi sikap tanduk dan perilaku manusia. Seiring
dengan perkembangan kehidupan di masyarakat yang dipengaruhi oleh teknologi dan
budaya, hukum pun seirama mengikuti perkembangan tersebut. Banyak peraturan
perundang-undangan yang berubah seiring dengan berubahnya tata kehidupan di
masyarakat.
Menurut Max Weber, hukum tidak dapat lepas dari
kepentingan-kepentingan dan pengaruh termasuk kepentingan dan pengaruh politik.
Adalah seperti apa yang dikatakan oleh yang mengatakan bahwa, hukum itu
dipengaruhi kepentingan-kepentingan,
baik itu kepentingan material maupun
kepentingan-kepentingan ideal dan menurut pendapatnya, hukum juga sangat dipengaruhi cara berpikir
kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh termasuk partai
politik.[1] Bahkan secara ekstrim Grifiths mengatakan bahwa, suatu undang-undang tidak akan pernah
ada tanpa ada suatu keputusan politik, begitu pula rincian undang-undang akan
menentukan pula pengaruh suatu kebijakan politik[2].
[3]
Lawrence M. Friedman, mengajarkan ada tiga unsur dalam hukum, yakni substance, ( aturan main ), structure ( pranata penegak hukum ), dan legal culture ( budaya hukum ),
artinya hukum bukan sekadar yang
tertulis melainkan juga norma agama, etika, dan norma sosial[4].
Menurut
Milovanovic [5] tokoh aliran Legal Realism dan pendukungnya
seperti Karl Lewellyn dan Frank
secara tegas menentang paham hukum yang formal mekanik, lebih mendahulukan
rasionalitas yang substantif, dan menolak kerja hakim yang menekankan pada
metode deduksi dalam memahami hukum. Pendapat tersebut diikuti oleh paham sociological dan realistis jurisprodence,yang berpendapat bahwa hukum tidak bebas dari konteks-konteksnya. Mereka menolak
hukum sebagai sistem normatif yang
tertutup, yang lepas dari
konteks-konteksnya, yakni
politik, sosial maupun kultural. Tokoh kaum realis, Oliver
Wendell Holmes mengatakan, Law has not been logic, it exprerience.
Hukum bukanlah suatu sistem teks normatif yang tertutup. Karena itu kemurnian
hukum dengan menutup diri dari pengaruh konteks-konteksnya adalah suatu upaya
yang tidak hanya sia-sia tetapi juga tidak realistis[6].
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh sistem yang
lebih luas yang disebut “super system” yaitu sistem sosial[7] (social system) dimana sistem hukum itu
di bangun. Sistem sosial ini dapat berupa sistem sosial budaya,
sistem politik, sistem ekonomi, sistem ilmu pengetahuan, teknologi dan
lain-lain. Ini berarti bahwa sistem hukum harus dibangun dari berbagai bahan
yang terdapat dimana sistem hukum itu dibangun. Lebih jauh Satjipto Rahardjo
menyatakan, “konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dari konsentrasi energi
politik”.[8] Pendapat tersebut sangat
tepat apabila disandingkan realitas yang sesungguhnya terjadi dalam proses
pembentukan hukum di DPR RI, dimana berbagai sistem politik yang ada di DPR RI
ikut melingkupi, terutama sistem politik dari partai-partai politik yang besar.
Kehidupan
bermasyarakat tidak lepas dari aspek politik. Kata politik secara etimologis
kata politik berasal dari bahasa Yunani, “polis”
yang dapat berarti kota atau negara kota. Politik merupakan suatu kegiatan atau
tindakan yang berhubungan dengan pemerintahan atau untuk menentukan tujuan dari
suatu Negara terhadap Negara tersebut dan hubungan Negara tersebut dengan
Negara lain.
Para
ahli keilmuan telah menguraikan pengertian politik baik dimulai Miriam Budiarjo, Roger H.Soltau, Ian C Issaak
maupun lainnya, dimana membahas politik secara murni ketika dihadapkan dengan
konsep-konsep pokok politik, fungsi Negara, maupun konsep kekuasaan.
Ketika
nilai-nilai dan tujuan-tujuan hukum yang telah diolah dan dipilih oleh nilai-nilai
dan tujuan terbaik yang hendak dicapai dirumuskan menjadi tujuan nasional. Seiring
dengan dilakukannya cara-cara melaksanakan hukum positif materiil untuk
mencapai tujuan nasional diatur dalam perundangan sebagai hukum positif murni,
saat itulah politik melaksanakan tugasnya, dimana politik disini bukan semata
politik murni namun dikenal dengan politik hukum.
Pendefinisian Politik Hukum telah banyak
diutarakan oleh para ahli seperti Padmo
Wahjono, Mahfud MD, Prof. Satjipto Rahardjo, maupun Prof. Sudarto. Menurut Prof. Sudarto “Politik Hukum” adalah
kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang di kehendaki, yang di perkirakan bisa di
gunakan untuk mengekspresikan apa yang di cita-citakan. Sedangkan politik hukum
dalam membangun budaya bangsa dibagi menjadi beberapa aspek yaitu politik hukum
yang membangun budaya hukum masyarakat tradisional, menengah, dan modern.
Lawrence M. Friedman,
kultur hukum merupakan suatu hal yang vital di dalam sistem hukum, yaitu suatu
“tuntutan”, “permintaan” atau “kebutuhan” yang datangnya dari masyarakat atau
pemakai jasa hukum yang berkaitan dengan ide, sikap, keyakinan, harapan dan
opini mengenai hukum. Oleh karena itu budaya hukum masyarakat bisa juga
diartikan sebagai nilai-nilai dan sikap serta perilaku anggota masyarakat dalam
kehidupan hukum. Budaya hukum masyarakat tercermin oleh perilaku pejabat
(eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat.
“.. people’s attitudes toward law and
legal system? Their beliefs, values, ideas, and expectations… The legal
culture, in other words, is the climate of social thought and social force
which determines how law is used, avoided, or abused. Without legal culture,
the legal system is inert? a dead fish lying in a basket, not a living fish
swimming in its sea”.
Masyarakat sebagai adressat hukum dituntut harus paham
maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, maka untuk mencapai satu kesepahaman
rakyat terhadap hukum tentu harus melalui komunikasi produk hukum itu. Lantas bagaimana
dapat merumuskan Politik Hukum dalam membangun budaya hukum dari budaya
Indonesia menjadi pola praktek hukum yang jelas dinegara kita?
Harus diakui terdapat
kegelisahan dalam melakukan peletakan politik hukum. Politik hukum harus
bersesuai dengan budaya hukum para warga (burgers) niscaya mendapatkan
dukungan para warga, serta menjadikan rezim semakin kuat (dan solid)
Sehingga dalam karya tulis ini sengaja
kami ungkapkan rasa kegelisahan dan ketakutan tersebut dalam bentuk permasalahan
sebagai berikut:
1.Bagaimana pertautan peran Politik Hukum dan Budaya Hukum di masyarakat?
2.Bagaimana Fenomena pertautan Politik Hukum dalam Budaya Hukum di
masyarakat?
3.Bagaimana peran aktif Politik Hukum dalam pembangunan Budaya
Hukum masyarakat, sebagai upaya perwujudan hukum Responsif?
Dalam
hal ini, kita ingat bahwa hukum dikenal sebagai alat rekayasa sosial atau a tool of social engineering. politik
dan hukum yang kemudian dikenal sebagai Politik Hukum mempunyai peranan
serta tugas yang sama yaitu memecahkan masalah kemasyarakatan di mana politik
adalah aspek dinamis dan hukum merupakan aspek yang statis.
Sudah saatnya kita
harus mencontoh pada budaya Jepang yang berusaha menemukan karakter negara
hukum yang sesuai dengan tradisi dan masyarakatnya meskipun berlawanan dengan
tren dunia. Mulai dari Daniel S. Lev sampai
Benedict R. Anderson telah gagal
dalam memberikan gambaran yang jelas tentang cara berhukum di Indonesia. Sebagaimana
Clifford Greetz yang menyatakan
bahwa anatomi budaya Indonesia adalah yang paling rumit di dunia dan kengototan
Van Vollenhoven untuk menerapkan
hukum adat dibandingkan hukum kolonial. Daniel
S. Lev mengatakan Indonesia tidak memiliki budaya cara berhukum modern yang
individualistis. Sedangkan Anderson mengaku
gagal dalam memahami konsep kekuasaan orang Jawa (meskipun suku Jawa mayoritas,
tetapi adalah bagian dari entitas kecil peradaban Indonesia) dengan pisau
analisa ilmu politik barat.
Penulisan karya tulis ini sengaja disusun selain
untuk pemenuhan tugas mata kuliah Politik Hukum adalah untuk mengetahui lebih
dekat sejauh mana peran Politik Hukum dalam membangun Budaya Hukum sebagai
perwujudan hukum yang responsif. Penulisan karya tulis ini diharapkan juga
dapat bermanfaat secara akademis sebagai sumbangan ilmu hukum bidang politik
maupun sekiranya dapat menjadi titik tolak pengujian dan pemaknaan secara
kritis terhadap berbagai konsep, teori, dan paradigma hukum bidang politik. Di
samping itu, tulisan ini diharapkan dapat pula
menjadi masukan bagi pembaharuan dan pengembangan ilmu[9] hukum.
Pembahasan
A. Pertautan
Politik Hukum dan Budaya Hukum
Politik hukum, politik adalah “cara
bertindak, cara atau kebijakan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara umum
politik terkait erat dengan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan
negara. Terlepas dari itu, “politik hukum” memiliki definisinya sendiri.
Menurut Satjipto Rahardjo, politik
hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan
cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Politik
dapat mengarahkan dan membentuk masyarakat kepada tujuan tertentu.
Moh.
Mahfud MD[10], dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir
sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata
lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan
kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa
dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik
ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu
berada pada posisi yang lemah[11].
Kondisi demikian menurut Sri Soemanti[12]
mengeksplisitkan bahwa perjalaam politik di Indonesia tidak ubahnya seperti
perjalanan kereta api di luar relnya, artinya banyak sekali praktik politik
yang secara substantif bertentangan aturan-aturan hukum.
Menurut Moh Mahfud MD[13],
terjadi politik akan terjadi pada karakteristik produk-produk dan proses pembuatannya.
Mahfud kemudian sampai pada kesimpulan bahwa, hubungan kausalitas antara hukum
dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik tampak dengan jelas bahwa
sistem politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang
berkarakter responsif atau populistik sedangkan sistem politik yang otoriter
senantiasa melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau koservatif.[14]
Dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami
hal yang sama jika dikaitkan dengan produk hukum, yakni konsepsi dan struktur
kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan
terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik
dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan,
ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur
sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Disamping politik hukum, dalam
masyarakat diketahui akan adanya eksistensi dan pengaruh dari budaya hukum.
Budaya hukum
merupakan gabungan dua kata yaitu Budaya dan hukum. Kata budaya berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal
dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga
diterjemahkan sebagai ”kultur” dalam bahasa Indonesia.
Berangkat
dari pengertian budaya diatas beberapa pakar seperti Soerjono Soekanto, budaya hukum didefinisikan sebagai tanggapan
umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu
meruapakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan prilaku hukum. Sehingga
budaya hukum menunjukkan pola prilaku individu sebagai anggota masyarakat yang
menggambarkan tanggapan (oreintasi)
yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.[9][n1]
Selain itu
budaya hukum merupakan iklim pikiran masyarakat dan kekuatan masyarakat yang
menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalah
gunakan. Budaya hukum juga merupakan budaya non material ataupun spiritual.
Adapun inti
budaya hukum sebagai budaya non material atau spiritual adalah nilai-nilai yang
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai
tersebut merupakan dasar dari etika, norma atau kaidah dan pola prilaku
manusia. Artinya ada unsur spiritual yang dekat dengan keyakinan atau
kepercayaan, seperti halnya mistik yang muncul karena keyakinan seseorang.
Sedangkan TB Ronny Rahman Nitibaskara
mendefenisikan budaya hukum adalah sebagai sub-budaya yang bertalian dengan
penghargaan dan sikap tindak manusia terhadap hukum sebagai realitas sosial.[15][5][n2]
Para
antropolog, beranggapan budaya itu tidaklah sekedar berarti himpunan
fragmen-fragmen tingkahlaku dan pemikiran yang saling terlepas. Di sini istilah
budaya diartikan sebagai suatu kategori sisa; dan termasuk di dalamnya:
keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut sikap yang
mempengaruhi hukum, tetapi yang bukan hasil deduksi dari substansi dan
struktur. Jadi termasuk di dalamnya adalah rasa respek atau tak-respek kepada
hukum; kesediaan orang untuk menggunakan peradilan, atau tidak menggunakan
peradilan (karena lebih memilih era-era informil untuk menyelesaikan sengketa;
dan juga sikap-sikap serta tuntutan-tuntutan pada hukum yang diajukan oleh
kelompok-kelompok etnik, ras, agama, lapang-pekerjaan dan kelas-kelas sosial
yang berbeda.
Orang modern memandang hukum sebagai alat dan sebagai sarana, dan
bukannya sebagai obyek tradisi atau sentimen, atau sebagai sesuatu yang suci
serta menjadi tujuan tersendiri, atau bukan pula sebagai suatu pengejawantahan
langsung dari alam Tuhan. Orang modern mempunyai pandangan yang bersifat
utilitarian (melihatnya dari segi
kemanfaatan) terhadap hukum. Setiap aspek tertentu dari hukum selalu
dinilai berdasarkan peranan yang dapat dikerjakan olehnya di dalam kerangka
nilai-nilai yang lebih luas, dan didalam jaringan tujuan yang lebih luas pula.
Di
sisi inilah politik hukum memainkan perannya untuk menciptakan sebuah peraturan
perundang-undangan yang mampu menciptakan sistem hukum yang transparan,
independen dan tidak memihak, karena keberadaan peraturan perundang-undangan
dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara politik hukum yang
ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum tersebut dalam tahap
implementasi peraturan perundang-undangan.
Saat berperan sebagai jembatan , saat itu pula politik hukum
berhubungan dengan budaya hukum. Apa hubungan antara budaya dengan hukum
positif? Hukum yang berlaku untuk mengatur ketertiban masyarakat adalah
visualisasi dari suatu kebudayaan. Namun masalah timbul ketika hukum tidak
mencerminkan kebudayaan dari masyarakat yang diatur oleh hukum tersebut. Dengan
demikian hukum selanjutnya mencerminkan visualisasi semu dari budaya masyarakat
tersebut. Inilah yang sekarang sedang terjadi di masyarakat. Kita masih melihat
masyarakat dan mungkin kita sendiri yang cenderung tidak tertib dan suka
melanggar hukum. Jika kita melihat realitas masyarakat yang sangat jauh dari
cita-cita hukum itu, pasti ada yang salah dari budaya kita, sehingga
menimbulkan pertanyaan bagaimana implikasi perkembangan budaya kehidupan di
masyarakat terhadap budaya hukum di Indonesia?
Menurut Emile
Durkheim[n3] , hubungan antara hukum
dengan masyarakat dapat dilihat dari 2 tipe masyarakatnya yang berbeda antara
lain :
1. Masyarakat dengan solidaritas mekanik yang
didasarkan pada sifat kebersamaan diantara anggotanya sehingga hukum bersifat
represif yang berfungsi mempertahankan kebersamaan tersebut;
2. Masyarakat dengan solidaritas organik yang
didasarkan pada sifat individualisme dan kebebasan anggotanya sehingga
menyebabkan hukum menjadi bersifat restitutif yang hanya berfungsi untuk
menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat.
1.Masyarakat yang didasarkan pada “primary rules of obligation”, dimana masyarakatnya hanya terdiri
dari komunitas kecil sehingga kehidupannya hanya berdasar atas kekerabatan
saja. Tipe masyarakat ini tidak membutuhkan peraturan yang resmi dan terperinci
sehingga tidak ada pula diferensiasi maupun spesialisasi badan penegak hukum;
2.
Masyarakat yang didasarkan pada “secondary
rules of obligation”, dimana masyarakatnya sudah tegolong modern sehingga
diperlukan adanya diferensiasi dan institusional di bidang hukum yang
menyebabkan pola penegakan hukumnya diliputi dengan unsur birokrasi.
Emile Durkem[n5] , menjabarkan hubungan fungsional anata hukum dan
masyarakat dengan lebih dahulu mengelompokkan masyarakat menjadi dua yaitu
“solidaritas organic dan masyarakat berbasis :solodaris mekanik”. Konsepsi
modern tentang hukum sebagai sarana pencapaian tujuan. Marc Galanter menegaskan hukum modern memilki ciri anta lain :
Bersifat terirorial, tidak bersifat personal. Universalitas, rasional dengan
menitikberatkan pada utilitas dari hukum untuk masyarakat sehingga berbicara
hukum seringkali dikaitkan dengan realitas sosial dimana hukum itu tumbuh dan
berkembang. Kenyataan tersebut memang tepat mengingat hukum harus sesuai dengan
masyarakat dan sebaliknya hukum perlu menyesuaikan diri dengan kondisi perkembangan
masyarakatnya. ika hukum yang dipaketkan penguasa politik terlalu modern dan
jauh dengan masyarakat atau terlalu ketinggalan, maka hukum tersebut tidak
dapat dioperasionalkan , tidak efekti, useless dan timpang, padahal
kecenderungan sekarang hukum digungsikan sebagai penyalur, pedoman pengaman
program, kebijaksanaan pemerintah yangberua peningkatan taraf hidup rakyat
kearah yang lebih baik.
Prof. Jimly Assidiqie[n6] mengatakan bahwa
gagasan negara hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu
sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan
dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi
dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan
kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Ditegaskan kembali sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi budaya dan kesadaran hukum di masyarakat adalah sistem hukum,
sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum
yang paling tinggi kedudukannya.
Van Apeldoorn[n7] mengungkapkan bahwa
hukum itu bisa ditilik secara abstrak sebagai gejala universal, seperti telah
diuraikan di atas, dan dapat pula hukum itu ditilik dari sudut ilmu
pengetahuan. Ditilik dari sudut ilmu pengetahuan, hukum adalah sebagian dari
kebudayaan.[9]
Selo soemardjan dan Soelaiman Soemardi[n8] mendefinisikan
kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta manusia, karya dalam hidup
manusia berwujud tehknomgi yang mempermudah hidup mansuai. Rasa merupakan dasra
dari munculnya nilai-nilai kemasyarakatan dan cipta merupakan kemampuan mental
emosional manusia untuk hidup beradap. Dalam arti luas kebudyaan merupakan
serangkaian nilai-nilai yang hendak dicapai oleh sebuah komunitas tertentu,
sekaligus juga sebagai way of life
karena budaya juga memberikan pedoman arah hidup manusia. Budaya juga bisa
disebut dengan serangkaian system perilaku, yaitu serangkaian perilaku yang
harus dan tidak boleh dilakukan oleh para pendukungnya.
Dalam hal ini komunitas tertentu memilki
gambaran abstrak perilakau yang layak dan tidak layak dilakuakan. Gambaran abstrak
perilku tersebut kemudian diformulaasikan secara konkrit dalam berbagai tatanan
hidup manusia melahirkan norma dimana hukum berada didalamnya disamping norma
kesopanan, kesusilaan dan keagamaan. Jika demikain artinya hukum merupakan
refeleksi tata perilaku komintas tertentu yang bersifat territorial, khas dan
khsus, dalam arti hukum masyarakat satu berbeda dengan yang lainnya sehingga
hukum kurang relevan menganut asas universalitas. Oleh karena itu pembuatan
hukum, penerapan hukum harus pandai-pandai membaca, menganalisa realitas sosial
mengingat hukum bukan saja sebagai formalisasi dan konkrtitasi perilaku
masyarakat dalam bentuk deretan pasal-pasal melainkan juga jiwa masyarakat
(Volkgeist) itu, serta hukum itu dibuat bukan untuk penguasa tetapi untuk
rakyat. Oleh karena itu harus banyak-banayak mengkaca, membaca dan menganalisa
relaitas sosial diman hukum itu akan diterapkan.
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak
terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahwa dapat dikatakan
bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang
suatu saat berlaku dalam masyarakat. Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu
mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masyarakat tertentu dan
berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan
mereka. Hal yang sama terjadi juga dalam politik hukum. Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 14.
Manusia yang berkebudayaan itu adalah manusia
bio-psikologis. Kondisi ini tidak dapat dipisahkan dari kemampuan manusia untuk
membudaya.[16][14] Sebagai
makhluk biologis, manusia tunduk kepada hukum biologi, yang termasuk dalam
salah satu hukum biologis adalah bahwa manusia harus dapat menyesuaikan diri
dengan hukum alam yang berlaku. Apabila hal ini tidak dijalankan maka organisme
itu akan mengalami disorganisasi dan disintegrasi dan ini berarti bahwa Adapun
syarat yang diciptakan untuk dapat bertahan hidup yang diberikan oleh ala, yang
diperoleh melalui pengumpulan pelajaran dan pengalaman adalah kebudayaan.
Dengan kata lain karena kebudayaan itulah manusia dapat bertahan hidup.
“..Masyarakat dan sistem hukum tidak terpisahkan bahkan sistem
hukum tidak akan pernah muncul secara terisolasi dari segi-segi lain kehidupan
masyarakat, melainkan harus merupakan bagian dari pola kultur suatu bangsa dan
hukum terintegrasikan di dalamnya, hukum merupakan bentuk dan anifestasi
sosiokultural..” (Satjipto Raharjo :
1986).
B.
Politik Hukum dan Budaya Hukum Dalam Perkembangan Masyarakat
a.
Masyarakat Tradisional
Dengan
diproklamasikannya Indonesia sebagai negara merdeka, maka di Indonesia
lahir tata hukum baru , yaitu tata hukum nasional yang mencerminkan cita- cita
hukum Indonesia dan menjadi sarana bagi, masyarakat Indonesia untuk menanggulangi
masalah – masalah aktual yang dihadapinya. Walau demikian bukan berarti bahwa
sejak saat itu telah lahir tata hukum nasional yang betul- betul tata
hukum nasional dalam arti yang sesuai
dengan cita-cita masyarakat Indonesia.
Hal ini bisa berarti
sebab sebagai Negara yang baru merdeka tentu saja belum dapat begitu saja
membuat tata hukum yang baru sama sekali, melainkan dengan berdasarkan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 (yang lahir sehari setelah proklamasi), sistem hukum
yang pluralistis jaman penjajahan masih berlaku bagi negara Indonesia yang
sudah merdeka ini. Bahkan dalam usianya yang ke 50 (setengah abad) negara ini
masih menggunakan peraturan produk
sebelum merdeka.
Untuk menghindarkan perbedaan pendapat
dan kesimpangsiuran, maka digunakan istilah Hukum Tradisional,yang mempunyai
cirri-ciri sebagai berikut: (Ronny
Hanitijo Soemitro,1984,h.54)
a.
Mempunyai sifat kolektifitas yang kuat ;
b.
Mempunyai corak magis-religius,yaitu
yang behubungan dengan pandangan hidup
masyarakat asli;
c.
Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran
serba konkrit, artinya hukum tradisional sangat memperhatikan banyaknya dan
berulang-ulang yang hubungan–hubungan yang konkret yang terjadi didalam
masyarakat.
d.
Sistem hukum tradisional bersifat
visual, artinya hubungan–hubungan hukum dianggap terjadi karena ditetapkan
dengan suatu ikatan yang dapat dilihat atau dengan suatu tanda yang tampak.
Ciri-ciri hukum tradisional dalam
masyarakat tradisional itu dalam perkembangannya, mau tidak mau dihadapkan
kepada hukum modern, misalnya hukum tradisional bangsa Indonesia dulu
dihadapkan kepada hukum modern, misalnya hukum tradisional bangsa Indonesia
dulu dihadapkan kepada hukum yang sedang berkembang sebagai hukum modern saat
ini. Ciri-ciri hukum modern itu ialah
sebagai berikut:
a.
Sistem hukum tersebut terdiri dari
peraturan-peraturan yang seragam, baik dari segi isi mau pun segi pelaksanaannya.
b.
Sistem hukum tersebut bersifat
tradisional, artinya hak-hak dan kewajiban–kewajiban timbul dari
perjanjian–perjanjian yang tidak dipengaruhi oleh faktor- faktor usia, kelas,
agama ataupun perbedaan antara wanita dengan pria.
c.
Sistem hukum modern bersifat
universalistis, artinya dapat dilaksanakan secara umum.
d.
Adanya hirarki peradilan yang tegas.
e.
Birokratis, artinya melaksanakan
prosedur sesuai peraturan –peraturan yang telah ditetapkan.
f.
Rasionil.
g.
Para pelaksana hukum terdiri dari
orang-orang yang sudah berpengalaman.
h.
Dengan berkembangnya spesialisasi dalam
masyarakat yang kompleks, maka harus ada penghubung antara bagian –bagian yang
ada sebagai akibat adanya pengkotakan.
i.
Sistem ini mudah dirubah untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan masyarakat.
j.
Lembaga-lembaga pelaksana dan penegak
hukum adalah lembaga-lembaga kenegaraan, oleh karena negaralah yang mempunyai
monopoli kekuasaaan.
k.
Pembedaan yang tegas antara tugas –tugas
eksekutif,legislative,judikatif. (Soerjono
Soekanto,1976,h.108).
Mengembangkan
unsur-unsur asli, unsur-unsur asing mungkin saja berguna bagi pembentukan hukum
nasional, sehingga pada hakekatnya masalahnya adalah bagaimana peranan hukum
adat (yang merupakan konk sistem nilai dan budaya )dalam pembentukan hukum
nasional yang fungsional (yang kemudian dinamakan “Hukum Indonesia Modern “) (Soerjono Soekanto, Tahun 1976,h.119).
Dengan demikian berfungsinya Hukum
Tradisional dalam proses pembangunan atau pembentukan hukum nasional adalah
sangat tergantung pada tafsiran terhadap nilai-nilai yang menjadi latar
belakang hukum adat itu sendiri. Dengan cara ini dapat dihindari akibat negatif
yang mengatakan bahwa hukum adat mempunyai peranan terpenting atau karena
sifatnya yang tradisional, maka Hukum Tradisional harus ditinggalkan.
b. Masyarakat Menengah
Dalam
membicarakan pembangunan hukum di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Politik
Hukum Nasional yang pertama
sekali ditetapkan melalui ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 yang menetapkan bahwa pembangunan bidang
hukum dalam Negara Hukum Indonesian berdasar atas landasan sumber tertib hukum.
Yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan, kesadaran, dan cita-cita hukum
serta cita-cita moral, yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak
dari bangsa Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal ini
kemudian diwujudkan lebih lanjut dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1974 tentang Repelita Kedua . Khususnya Buku III
Bab 27 . Politik Hukum Nasional yang lahir pada masa orde baru (pasca 1966) ini tentu saja dipengaruhi oleh keadaan
perkembangan hukum dan pembangunan hukum sebelumnya.
Timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan
masyarakat. Gejala
ini ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring dengan menurunnya tingkat
appresiasi masyarakat baik kepada substansi hukum maupun kepada struktur hukum
yang ada. Hal ini telah tercermin dari peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi
di masyarakat.
Pada
tataran akar rumput, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku
kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat yang
terjadi secara terus menerus tidak seharusnya dilihat sebagai sekedar eforia
yang terjadi pasca reformasi. Dibalik itu tercermin rendahnya budaya hukum
masyarakat karena kebebasan telah diartikan sebagai ‘serba boleh’. Padahal
hukum adalah instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial.
Sebagai akibatnya timbul timbul ketidakpastian hukum yang tercipta melalui
proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang atau dengan kata lain hukum
hanya merupakan instrumen pembenar bagi perilaku salah.
Menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum masyarakat. Kesadaran
masyarakat terhadap hak dan kewajiban hukum tetap mensyaratkan antara lain
tingkat pendidikan yang memungkinkan untuk dapat memahami dan mengerti berbagai
permasalahan yang terjadi. Dua pihak berperan penting yaitu masyarakat dan
kualitas aparat yang bertugas melakukan penyebarluasan hukum dan berbagai
peraturan perundang-undangan. Walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat
masih kurang memadai, namun dengan kemampuan dan profesionalisme dalam
melakukan pendekatan penyuluhan hukum ke dalam masyarakat, pesan yang
disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan
apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan
kewajiban mereka. Masalah lainnya adalah ketidaksetaraan antara perempuan dan
laki-laki dalam memperoleh akses dan manfaat dari kegiatan penyuluhan, penyadaran
dan pelayanan hukum.
c.
Masyarakat Modern
Sedangkan menurut pendapat Lawrence M. Friedman ciri – ciri hukum
modern adalah sebagai berikut : (Ronny
Hanitijo Soemitro , 1984,h. 82-83).
1. Bersifat
sekuler dan progmatis.
2. Berorientasi
kepada kepentingan dan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh
manusia.
3. Bersifat
terbuka dan mengandung unsur perubahan yang dilakukan secara sengaja.
Politik hukum dalam lima tahun
mendatang mempunyai sasaran terciptanya sistem hukum nasional yang adil,
konsekuen, dan tidak diskriminatif termasuk tidak diskriminatif terhadap
perempuan atau bias gender, terjaminnya konsistensi seluruh peraturan
Perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan
dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi; dan kelembagaan peradilan
dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya
memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan.
Diketahui sistem dan politik hukum
pada tahun 2000-an diarahkan kepada kebijakan untuk mendorong
penyelenggaraan penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi
serta terjaminnya konsistensi peraturan Perundang-undangan pada tingkat pusat
dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan diatasnya.
Melakukan
pembenahan sruktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan
meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem
peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan,
meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat
dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada
kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum adapt untuk memperkaya
sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai
bagian dari upaya pembaruan hukum nasional;
Berikut
sedikit penggambaran untuk mengetahui peranan politik hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Berdasarkan
pembagian periodisasi
Masa Orde
Lama
|
Masa Orde
Baru
|
• Sangat
bersifat Otoriter
• Presiden
Soekarno sentral semua kegiatan negara
• Diberlakukan
Demokrasi Terpimpin – Nasakom
• Media
dikontrol ketat
• Diberlakukan
politik mercusuar
• Kekuasaan
Kehakiman diletakan dibawah Presiden
• DPA
Mandul
• Lawan-lawan
Politik di penjara tanpa di adili
• Berakhir
dengan meletus G-30-S-PKI
|
• Lembaga
Kepresidenan yang terlampau dominan
• Rendahnya
kesetaraan diantara lembaga tinggi negara
• Rekruitmen
politik yang tertutup
• Birokrasi
sebagai instrumen kekuasaan
• Kebijaksanaan
politik yang tidak transparan
• Sentralisasi
• Implementasi
HAM yang masih rendah
• Sistem
Peradilan yang tidak independent
• Ada
3 fase Politik Hukum Orde Baru
|
Fase
Antagonis
|
|
• Penekanan
politik kelompok Islam
• Lahir
dan perkembangan Golkar atas bantuan ABRI
• Penyederhanaan
partai politik
• Semua
partai politik harus memakai dasar Pancasila
• Menempatkan
TNI-POLRI dalam kegiatan politik dari semua lini
• Menempatkan
Bupati-Walikota sebagai penguasa tunggal
• Membuat
DPRD lemah
• Membuat
GBHN dan Repelita
|
|
Fase
Resiprokal
|
|
• Kontrol
terhadap birokrasi diperlonggar
• Golkar
mulai disapih
• Tekanan
kepada Parpol diperlunak
• Parpol-Ormas
diperlonggar
• Anggota
DPR mulai banyak dari tokoh-tokoh ICMI
• Menuju
kepada politik hukum demokratif persuasif
|
|
Fase
Persuasif (Bargaining Position)
|
|
• Presiden
Soeharto sudah mendekat ke Islam
• Banyak
mesjid dibangun melalui Yayasan Muslim Pancasila
• Dibentuknya
ICMI
• Pengontrolan
kepada pendakwah Islam di longgarkan
• Lawan-lawan
politik banyak yang dibebaskan
• Pembangunan
hukum melalui GBHN dan Repelita dilaksanakan dengan konsekuen
• Terjadinya
Krisis Ekonomi yang berakhir pada gulingnya Soeharto
|
Politik Hukum Pasca Reformasi
|
· Lahir TAP MPR yang menata kembali kebijakan hukum di
Indonesia
· Lahir UU No.25 Th 2000 ttg Propenas 2000-2004
· Lahir UU No.25 Th 2004 ttg Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
· Lahir RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional) tahun 2004-2009, yang diberlakukan berdasarkan Peraturan Presiden
No.7 tahun 2005
· Program Pembangunan Hukum:
1.
Program Perencanaan Hukum
2.
Pembentukan Hukum
3.
Peningkatan Kinerja Lembaga Peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya
4.
Program Peningkatan Kualitas Hukum,
Peningkatan kesadaran Hukum
dan HAM
|
Selain
itu, penggambaran peranan politik hukum dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dari masa kepemimpinan presiden
Republik Indonesia.
a.
Periode Soeharto
Pada
Periode Soeharto, walaupun secara relatif ada ketegasan dalam menegakkan hukum,
namun karena politik yang dijalankan Soeharto, selama 32 tahun, adalah
pemerintahan otoritarian yang birokratik, maka ada kecenderungan bahwa politik
hukum dirancukan serta dicampuradukkan pemahamannya dengan hukum politik. Atau,
Rechtspolitik dicampuradukkan dengan Politisches
Recht sehingga yang terlaksana adalah hukum dari yang punya kekuasaan
atau law of the ruler, bukan rule of just law.
Berbagai
perundang-undangan dibuat untuk kepentingan atau melindungi elite dan birokrasi
yang berkuasa termasuk Soeharto sendiri, bukan untuk kepentingan keadilan dan
kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini tampak antara dari Penpres No 11/1963 jo
UU No 11/PNPS/1963 tentang Subversidan berbagai undang-undang birokratik
lainnya, walaupun di sana sini kita juga menemukan undang- undang atau hukum
yang aspiratif seperti UU No 8/1981. Pada era ini terlihat bahwa peraturan
perundang-undangan hanya alat dari politik hukum untuk mewujudkan kepentingan
elite politik saja.
b.
Periode Megawati
Bagaimana
politik hukum sewaktu Presiden Megawati. Karena didorong suasana reformasi,
pada waktu pemerintahan Megawati ini, dengan didahului Abdurrahman Wahid dan
sedikit banyak juga BJ Habibie, di bidang pembuatan undang-undang ada usaha
untuk menggantikan perundang-undangan atau hukumyang adil dan aspiratif untuk
kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, ada hubungan antara politik
yang demokratis yang menjadi dasar dari pemerintahan Megawati dengan politics
of law reform yang diwujudkan mulai dari reformasi konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945, Ketetapan MPR dan undang-undang. Semuanya, berkualifikasi tool of social engineering demi dan
kesejahteraan masyarakat. Namun, sayangnya politik hukum yang positif itu tidak
terlaksana sepenuhnya atau mengalami hambatan yang disebabkan, tidak ada
kemauan politik yang disebabkan antara lain kepemimpinan Megawati yang lemah
atau weak leadership dengan disertai pemahaman-pemahaman yang keliru. Alhasil,
politik hukum yang positif itu menjadi impoten serta tidak efektif dan tidak
berdaya membuat masyarakat adil dan sejahtera. Sekali lagi politik hukum
memiliki peranan penting dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah
yang diambil.
Suatu
contoh, kita sudah mempunyai UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang disertai berbagai peraturan pemerintah.
Namun, law enforcement -nya tidak jalan. Hal yang sama juga terjadi dalam
masalah HAM yang meski sudah tercantum dalam UUD 1945 dan UU lainnya tidak
terlaksana secara baik oleh pemerintahan Megawati karena berbagai motivasi.
c.
Periode Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang dilantik sebagai presiden Republik Indonesia pada
tanggal 20 Oktober 2004 adalah Presiden pertama hasil pemilihan langsung
sebagai implementasi dari penerapan demokrasi langsung di Indonesia sebagai
keinginan mengoreksi demokrasi tidak langsung yang telah berlangsung berpuluhan
tahun sampai mengarah kepada pemberian kekuasaan yang tidak terbatas pada
beberapa orang bahkan seseorang. Presiden sekarang tidak lagi bekerja
berdasarkan GBHN yang dihasilkan oleh MPR dalam bentuk TAP MPR. Dengan kondisi
yang demikian itu politik hukum pun kemudian didasarkan kepada Peraturan
Presiden Republik Indonesia (perpres) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang ditetapkan pada
tanggal 19 Januari 2005. Dalam Lampiran Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, khusunya Bab 9
yang diberi judul Pembenahan Sistem dan Politik hukum yang telah diuraikan
dalam subbab sebelumnya.
Dapat
disimpulkan dari segi teknis perundang-undangan segala kehendak, aspirasi, dan
kepentingan pemerintah pusat pasti akan menjadi politik hukum dalam membuat
peraturan perundang-undangan tersebut.
III. Peran Aktif Politik Hukum Dalam Pembangunan
Budaya Hukum Masyarakat Sebagai Perwujudan Hukum Responsif
Dasar dari politik hukum adalah
adanya ketentuan bahwa pelaksanaan
pengembangan politik hukum tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan
pengembangan politik secara keseluruhan. Atau, dapat dikatakan, prinsip dasar
yang dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi
pelaksanaan politik hukum yang diwujudkan melalui peraturan
perundang-undangan.
Peranan politik hukum
sebagai penentu dan penggerak tidak dapat dipisahkan dengan pelaksanaan Program
Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum antara lain melalui kegiatan[n9] :
(1) pemetaan permasalahan hukum dalam rangka menerapkan materi, metode, dan
pendekatan dialogis yang tepat sasaran; (2) menggunakan nilai-nilai budaya
luhur daerah sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan penyadaran hukum; (3)
merumuskan pendekatan penyadaran hukum yang lebih demokratis melalui pendekatan
dialogis antara instansi/lembaga pemerintah dan lembaga kemasyarakatan yang
memfasilitasi penyadaran hukum dengan masyarakat untuk mengembangkan kesadaran
dan peran serta mereka terhadap hukum dan sistem penegakannya; (4) meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam mengaktualisasikan hak serta melaksanakan kewajiban
masyarakat sebagai warga negara sekaligus dalam rangka membentuk budaya hukum
bagi masyarakat dan aparat penyelenggara negara; serta (5) meningkatkan
penggunaan media komunikasi yang lebih modern dalam rangka pencapaian sasaran
penyadaran hukum di berbagai lapisan masyarakat.
Saat politik hukum berperan dalam masyarakat, harus
terlebih dahulu diketahui dan analisa tipe rezim dan karakter produk hukum yang
akan dihasilkan. Apabila sebuah rezim bertipe democratic,
maka akan ditandai dengan mekanisme pembentukan produk hukum secara penuh persaingan
(competitive), dan mengakomodir munculnya keragaman gagasan (pluralistic).
Sebagai konsekuensi dari mekanisme yang demokratis, maka akan dihasilkan produk
hukum yang cenderung berkarakter lebih memihak kepada kepentingan masyarakat (populist),
lebih memperhatikan kepentingan masa depan dan tidak segan-segan untuk
mengikuti perkembangan (progressive), dan membatasi munculnya
multi-tafsir (limited interpretation) dan pada gilirannya lebih
memberikan jaminan kepastian hukum.
Sebaliknya, pada rezim yang bertipe non-democratic,
mekanisme pembentukan produk hukum lebih cenderung terpusat (centralistic),
dan tentu saja sangat kurang nuansa persaingan gagasan dalam merumuskan produk
hukum (non-competitive). Pada rezim yang demikian ini, akan ditemukan karakter
produk hukum yang cenderung mengakomodir kepentingan kalangan elit saja (elitist),
kurang mengakomodir perkembangan dan kepentingan jangka panjang ke depan (conservative),
dan membuka ruang munculnya multi-tafsir (open to multi-interpretation)
dan kurang memberikan jaminan kepastian hukum.
Regime Types
|
Karakter Produk Hukum
|
Mekanisme
|
Democratic
|
-
Populist
-
Progressive
-
Limited Interpretation
|
-
Pluralistic
-
Competitive
|
Non-Democratic
|
-
Elitist
-
Conservative
-
Open to Multi
-
Interpretation
|
-
Centralistic
-
Non-Competitive
|
Tabel.1 Bentuk Produk
Hukum
Kebudayaan dan asal – usul sejarah suatu
daerah harus dipertimbangkan sebagai bagian dari politik hukum
pemerintah dalam membangun hukum nasional. Akan tetapi, sebaiknya pemerintah
dalam melaksanakan peranan politik hukumnya, membangun hukum nasional yang
dapat menampung kepentingan – kepentingan semua masyarakat tanpa memandang
perbedaan antara belakang daerah dan perbedaan antara
golongan suku. Apabila konsep latar belakang daerah dan perbedaan golongan suku
dijadikan pertimbangan mendasar oleh pemerintah dalam menjalankan peranan
politik hukumnya untuk membangun hukum nasional, hal itu berarti
bangsa Indonesia mengalami kemunduran (set
back) dalam pembangunan hukum nasional.
Dalam tubuh
hukum terjadi semacam perkembangan sehingga sampai pada[n10] hukum yang
maju, atau diasumsi maju seperti yang dipraktekan saat ini oleh berbagai
negara. Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat lamban meskipun
sekali terjadi agak cepat. Namun perkembangan dari hukum kuno pada hukum modern
merupakan perjuagan manusia tiada akhir satu dan lain hal disebabkan masyarakat
, dimana hukum berlaku berubah terus menerus dalam perkembangan hukum itu
sendiri terkadang dilakukan dengan revisi atau amendemen terhadap undang-undang
yang sudah ada tetapi sering pula dilakukan dengan menganti undang-undang lama
dengan undang-undang baru. Bahkan hukum modern telah menetukan prinsip dan asas
hukum yang baru dan meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan sudah
cenderung ketinggalan zaman. Dalam hubungannya dengan perkebangan masyarakat,
hukum mengatur tentang masalah struktur sosial nilai-nilai dan
larangan-larangan atau hal-hal yang menjadi tabu dalam masyarakat.
Dalam abad Ke-20 terjadi perkembangan diberbagai
bidang hukum dimana sebagiaan hukum disebagian negara sudah menyelesaikan
pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum dinegara lain masih dalam
proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang bidang tersebut masih
dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat,
karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan
hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara
lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu
tujuan hukum, dengan begitu terdapat interklasi dan interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat.
Namun
tidak dapat diabaikan salah satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum dalam
masyarakat adalah Kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran
hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya
semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan
hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor
kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat.
Pentingnya
kesadaran hukum masyarakat di masa depan akan memberikan sumbangan yang besar
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sadar akan
hak-hak dan kewajibannya tidak akan terperdaya oleh pihak-pihak yang hanya
mengutamakan kepentingannya sendiri. Untuk itu keterlibatan lembaga swadaya
masyarakat bersama-sama dengan Pemerintah merupakan salah satu prioritas yang utama
sehingga pemberdayaan masyarakat dapat terwujud.
Pengaruh
tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan
hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak
terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban
umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar
dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk
hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Karena itu
perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan
suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk
mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan
politik.
Disnilah peranan para wakil rakyat
yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun
infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami
betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar
nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
Wakil rakyat harus paham dalam
pembentukan hukum dimana harus dilandasi dengan semangat pembangunan hukum
mengandung makna ganda, yaitu : (Mochtar
Kusuma atmaja, 1976,h.12).
Pertama, sebagai suatu usaha untuk
memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk
melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu
pengertian biasa disebut modernisasi hukum.
Kedua, sebagai suatu usaha untuk
memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut
mengadakan perubahan-perubahan social sebagaimana dibutuhkan oleh suatu
masyarakat yang sedang membangun.
Akan tetapi menurut Satjipto Rahardjo, pembedaan itu tidaklah perlu diperhatikan, sebab
memang keduanya tidak dapat dipisahkan secara tajam dan banyak kesempatan
keduanya akan tergabung menjadi satu (Satjipto
Rahardjo.1979,h.227).
Banyak
faktor yang harus di pertimbangkan agar pembangunan hukum dapat di terima oleh
seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan
lain-lain. Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah
pruduk hukum yang responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan
masyarakat.
Dalam
pembentukan hukum yang responsif ada empat syarat mutlak yang harus terpenuhi,
yakni :
1.Dalam
penbentukan hukum harus mengikut sertakan masyarakat;
2.Pembentukannya
haruslah aspiratif. Artinya, norma-norma yang di rumuskan haruslah norma yang
merupakan aspirasi dari masyarakat;
3.Pembentukannya
haruslah bersifat komunikatif. Artinya, hukum haruslah dapat di pahami dalam
bahasa yang dapat dipahami dalam interaksi antar warga negara dengan negara (penguasa);
4.Pembentukannya
haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam aturan harus dapat
mengantisipasi munculnya konflik di tengah masyarakat.
Konsep pembangunan hukum yang
responsif dirumuskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick
adalah sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat
lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan
terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan hasil-hasil
institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum.
Konsep hukum responsif ini
merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum tercerai dari
kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri[17]. Sekalipun tesis Nonet dan
Selznick ini bukanlah teori yang mampu menyelesaikan semua problem
praktis, tetapi memberikan perspektif dan kriteria untuk mendiagnosis dan
menganalisis problem-problem hukum yang muncul di masyarakat dengan penekanan
khusus atas dilema-dilema institusional dan pilihan-pilihan kebijakan yang
kritis[18]
Pada keadaan terdapatnya hukum
responsif, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih
terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum menjadi semacam forum politik, dan
partisipasi hukum mengandung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum
merupakan wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam
menentukan kebijaksanaan umum[19].
Dalam konteks kebijakan hukum, pembangunan hukum seharusnya mencakup tiga hal. Pertama, menjamin keadilan dalam
masyarakat. Kedua, menciptakan
ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum. Kepastian hukum berkaitan
dengan efektifitas hukum akan terjamin hanya bila negara mempunyai
sarana-sarana yang memadai untuk memastikan berlakunya peraturan-peraturan yang
ada. Dalam hal ini aparat penegak hukum memainkan peranan penting. Ketiga, mewujudkan kegunaan dengan
menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara
konkrit[20].
Dengan
demikian, di dalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana
serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang
responsif tidak lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan
juridis melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif
dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena
itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang
untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller,
must be ready for the morrow, it must have a principle”[21].
Salah satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism )
yang bernama Jerome Frank mengatakan, pencarian hukum responsif telah menjadi
kegiatan teori hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Lebih lanjut Jerome
Frank mengatakan, tujuan utama penganut realisme hukum ( legal realism ) adalah
untuk membuat hukum "menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk mencapai tujuan ini, mereka
mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum”,[22] agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup
pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan
resmi para aparat hukum.
Untuk
memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori hukum berikut implementasinya dapat
dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 2
Tiga kategori
Hukum menurut Nonet dan Selznick[23]
|
H.
Represif
|
H.
Otonom
|
H.
Responsif
|
|
Tujuan
|
Aturan
|
Legitimasi
|
Kewenangan
|
|
Legitimasi
|
Perlindungan sosial
|
Kejujuran Prosedur
|
Keadilan Substansif
|
|
Aturan
|
mendetail tapi
lemah
|
Elaborasi, mengikat
pembuat dan diatur kuat melekat pada kewenangan hukum
|
Disubkordinasi pada prinsip dan kebijakan
|
|
Nalar
|
Daya ikatnya bagi
pembuat aturan Adhoc, Articular
|
Terikat aturan
|
Memperluas
kemampuan kognitif
|
|
Diskresi
|
Membantu untuk
hal-hal yang khusus oportunis
|
Delegasi menyempit
|
Meluas namun tetap berpegang pada tujuan
|
|
Pemaksaan
|
Meluas, lemah
Batasannya
|
Terkontrol
oleh hukum
|
Mencari alternatif,
insentif, sistem mempertahankan diri terhadap kewajiban
|
|
Moralitas
|
Moralitas
komunal, moralisme hukum
|
Moralitas
konstittis
|
Moralitas
masyarakat, moralitas atas kerjasama
|
|
Harapan patuh
|
Tak bersyarat
|
Titik tolak aturan
|
Tak patuh
ditentukan dalam kaitannya dengan
pelanggaran substansif
|
|
Tabel ini
memperlihatkan dengan jelas kecenderungan hukum yang lebih akomodatif
kepentingan masyarakat adalah hukum yang responsif. Akan tetapi ada persoalan
mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pihak penegak hukum, yaitu apakah
penegak hukum mempunyai kemampuan yang memadai untuk menjalankan hukum yang
responsif seperti itu ? Karena di sana dituntut beberapa kualifikasi yang
esensial yaitu pertama, mulai bekerja dengan paradigma baru dimana penegak
hukum tidak hanya tunduk pada basis-basis hukum sebagai landasan berpikirnya,
tetapi juga berusaha sejauh mungkin menggunakan pisau analisis non-hukum.
Akibatnya, interaksi hukum dengan politik tidak bisa dihindari lagi.
Kedua, kebenaran
atau keadilan tak pernah bisa dicapai hanya dengan perspektif tunggal karena
hal itu hanya mengingkari kebenaran dan keadilan itu sendiri. Untuk itu
diperlukan aparat hukum yang berwawasan luas, yang rasional, kritis.
Roberto M. Unger[n11] , secara terang-terangan menolak teori tentang
pemisahan hukum dan politik ( law
politics distinction ). Menurutnya, tidak mungkin dalam proses-proses
hukum, apakah dalam membuat undang-undang atau
menafsirkannya, berlangsung dalam konteks bebas atau netral dari
pengaruh-pengaruh moral, agama, dan
pluralisme politik. Lebih lanjut Unger mengatakan bahwa tidak mungkin
mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis. Hubungan hukum dengan
lingkungan sosial menurut Unger dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjective and poliy-dependent as politics”[26].
Roberto M. Unger juga menjelaskan tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis,
dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya
latar belakang politik dan ideologis di balik putusan-putusan hakim dan
undang-undang. Bagi kalangan GSHK, hukum itu
dikonstruksikan sebagai "negotiable, subjective and policy-dependent as
politics".
Menurut
Unger ada dua alasan utama mengapa
tidak mungkin membayangkan netralitas dan objektivitas hukum, seperti dikutip
di bawah ini:
First, procedure is inseparable
from out came: every method makes certain legislative choices more likely than
others... Second, each law making system it self embodies certain values; it
incorporates a view of how power ought to be distributed in the society and how
conflicts should be resolved[27]."
Dengan
mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan hukum, Unger
menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik, analisis hukum tidak hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi
doktrinal dan asas-asas hukum semata, sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi
secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial[28].
Secara konstruktif teori Robert Seidman[29]
tentang bekerjanya hukum dilukiskan oleh Satjipto sebagai berikut[30] .
Gambar 1
Bekerjanya Hukum menurut
Seidman
sebagaimana
dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo
Dari model bekerjanya hukum tersebut, oleh Seidman
dirumuskan beberapa pernyataan teoretis sebagai berikut:[31]
(1)
Setiap peraturan hukum itu menunjukkan
aturan-aturan tentang bagaimana seseorang pemegang peran diharapkan untuk
bertindak;
(2)
Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang
pemegang peran sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan
dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari
aktivitas lembaga pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial,
politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya;
(3)
Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga
pelaksana sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung
dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan
dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang
bekerja atas dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran
dan birokrasi;
(4)
Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga
pembuat undang-undang sebagai respons
terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh berfungsinya
peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-saksinya, dan dari seluruh kompleks
kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas mereka, serta
dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi.
Keanekaragamaan
tujuan dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan disebut sebagai
politik hukum (legal policy). Pembuatan peraturan perundang-undangan,
politik hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama
sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan
kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Pada tiap periode
pemerintahan di Indonesia dari segi teknis perundang-undangan segala kehendak,
aspirasi, dan kepentingan pemerintah pusat pasti akan menjadi politik hukum
dalam membuat peraturan perundang-undangan tersebut.
Di
sisi inilah politik hukum memainkan perannya untuk menciptakan sebuah peraturan
perundang-undangan yang mampu menciptakan sistem hukum yang transparan,
independen dan tidak memihak, karena keberadaan peraturan perundang-undangan
dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara politik hukum yang
ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum tersebut dalam tahap
implementasi peraturan perundang-undangan.
Hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non
hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut
dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan
perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
lainnya.
Pada dasarnya persoalan dimasyarakat harus mengacu
8 prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum (Lon Fuller[n12] ) meliputi :
1.Harus ada peraturannya
terlebih dahulu;
2.Peraturan itu harus
diumumkan;
3.Peraturan itu tidak
boleh berlaku surut;
4.Perumusan peraturan
harus dapat dimengerti oleh rakyat;
5.Hukum tidak boleh
meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
6.Diantara sesama
peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
7.Peraturan harus tetap
dan tidak boleh sering diubah-ubah;
8.Harus terdapat
kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan yang telah
dibuat.
Jika kita melihat kenyataan yang ada di
Indonesia, terutama di daerah pedesaan terlihat jelas bahwa nilai-nilai yang
terkandung di dalam hukum berbeda dengan nilai-nilai yang telah melekat dalam
kehidupan masyarakat desa. Hal ini mengingat tingkat pengetahuan masyarakat
desa masih rendah sehingga mereka sulit memahami apa yang dikehendaki oleh
hukum.
James C.N dan Clareme J Dias[n13] mengatakan bahwa nilai yang terkandung dalam hukum nasional dengan
nilai-nilai masyarakat lokal kerap kali terjai pendebatan dan pembedaan yang
ujungnya adalah sulitnya pemahaman makna dan maksud hukum nasional oleh
masyarakat lokal, hal ini terjadi karena sudut pandang dan nilai dasr
penyusunan hukum tampaknya berbea antara legislator dengan masyarakat serta
kurangnya para pemegang kebijakan melakukan survey, uji public terhadap
nilai-nilai lokal, kebutuhan-kebutuhan lokal terutama masyarakat yang secara
geografis jauh dan mungkin tak terjangkauoleh pengendali kebijakkan, hasilnya
hukum dibuat terasa tidak bermakna dan bermanfaat bagi sebgaian besar rakyat
tersebut. Oleh karena itu hukum mencegah mis-nilai antara pembuat dan pemakai.
Mau tidak mau pemerintah maupun rakyat, LSM harus proaktif mengusahakan
terbukanya saluran kominukasi dalam menerangkan dan menyelaraskan berbagai
maksud dan tujuan pemerintah dalam undang-undang.
Pada saat hukum diposisikan sebagai sarana
pencapaian tujuan. Tujuan akan mudah dicapai jika hukum berlaku secara efektif
dan sebalaiknay menjadi penghambat jika tidak efektif. Hukum dianggap efektif
jika hukum mampu mengkondisikan dan merubah kualitas dan perilku masyarakat
sesuai dengan prasyarat pembangunan. Oleh karena itu agar hukum dapat berlaku
efektif, menurut Paul dan Dias harus memenuhi 5 syarat, yaitu :
- sulit tidaknya sebuah aturan dapat dipahami;
- luas tidaknya masyarakat yan tahu akan hal itu;
- efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;
- Adanya mekanisme penyelesaian yang tidak hanya dapat diakses oleh semua orang tetapi betul-betul efektif menyelesaikan perkara;
- Adanya consesnsus pandanagan bahawa hukum itu betulbetul efektif
Dari uraan diatas intinya rakyat harus paham
maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, maka untuk mencapai satu kepahaman
rakyat terhadap hukum tentu harus melalui kominikasi produk hukum itu.
Perubahan
hukum pada hakekatnya dimulai dari adanya kesenjangan antara hukum yang
mengatur dan bahan yang diaturnya. Sehubungan dengan dengan sifat khas hukum
tertulis yang tidak selalu dapat dengan cepat mengikuti perubahan-perubahan
masalah yang diaturnya, maka terdapatnya kesenjangan sebagaimana dikemukakan
diatas sebetulnya adalah sesuatu yang normal. Normalitas disini cenderung
kepada arti bahwa hukum masih cukup mempunyai kemampuan teknis tersebut dilakukan
dengan cara-cara penafsiran yang diterima oleh ilmu hukum, seperti analogi dan
penghalusan hukum (Scholten, 1954,
paragraph 12-16).
Tuntutan
bagi terjadinya perubahan hukum, mulai timbul apabila kesenjangan tersebut
telah mencapai tingkatnya yang sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan
perubahan semakin mendesak. Tingkat tersebut bisa ditandai oleh tingkah laku
anggota-anggota masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang
dituntut oleh hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan (Dror, 1959:90). Dengan demikian, terdapat suatu jurang yang
membedakan antara tanggapan hukum disatu pihak dan masyarakat di pihak lain
mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan.
Pengkonkretan
norma-norma hukum yang abstrak memberikan efek ke arah perubahan hukum yang
disebabkan penerapan norma-norma hukum itu dituntut untuk disesuaikan kepada
peri kehidupan sosial pada suatu saat, yaitu baik cita-cita sosial yang
berkembang, maupun hubungan-hubungan sosial yang nyata terdapat pada saat itu.
Menurut
Daniel S.Lev, perubahan hukum itu
dimulai dari persepsi mengenai hukum yang dipergunakannya. Hukum bukanlah
undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dianggapnya sebagai pengertian
yang amat sempit. Hukum adalah praktek sehari-hari oleh para pejabat hukum, seperti
hakim, jaksa, polisi dan advokat. Oleh karena itu apabila kelakuan mereka itu
berubah, maka hal itu berarti hukum pun sudah berubah, walaupun undang-undang
dan peraturan-peraturannya masih tetap saja seperti dahulu (Lev,1971:2-7).
Ada
hubungan interaksi antara keputusan hukum dan masyarakat tempat keputusan itu
dijalankan nantinya. Oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan penyesuaian
sosial tersebut, maka suatu norma hukum itu bisa saja berubah-ubah isinya,
tanpa terjadinya perubahan pada peraturannya sendiri secara formal.
Maka
masalah perubahan hukum tidak hanya dapat dibatasi pada pembicaraan mengenai
perubahan dibidang hukum saja, apalagi perubahan hukum secara formal. Hal ini
sejalan dengan kerangka Talcot Parsons,
proses-proses dalam masyarakat itu saling berhubungan dan kait-mengkait satu
sama lain, memberikan kesempatan untuk mengkaji masalahnya secara lebih baik.
Pertumbuhan
masyarakat dan keadaan hukumnya dapat dilihat pada diagram alur dibawah ini:
Hukum Sebagai Sarana Kontrol Sosial
Arus
konversi normal dan penyimpangannya
Masukan Proses Konversi melalui lembaga
hukum Keluaran
-Problem Sosial Pemecahan Persoalan
-Peraturan
-Sengketa (Pembentukan
Norma, Penyelesaian Sengketa)
-Keputusan hakim
dicoret
Efektifitas
peraturan perundang-undangan ternyata telah menimbulkan perubahan dalam cara
orang menangani persoalan-persoalan hukum. Tuntutan efektivitas mendorong orang
untuk mencurahkan perhatian secara lebih seksama terhadap obyek-obyek yang
menjadi sasaran peraturan perundang-undangan, sehingga pemikiran yang bersifat
abstrak, generalisasi-generalisasi, tidak lagi dikehendaki. Apabila dikehendaki
hukum itu menimbulkan perubahan-perubahan pada obyek yang diaturnya, terutama
perubahan dalam tingkah laku, maka penguasaan pengetahuan yang lebih seksama
mengenai obyek yang diatur, mengenai reaksi-reaksi yang ditimbulkannya,
selanjutnya mengenai kemampuan dari lembaga-lembaga serta personel yang
menjalankan hukum, merupakan tuntutan yang tak dapat ditinggalkan. Untuk
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai seluk-beluk bekerjanya hukum
tersebut dapat dijelaskan dalam diagram dibawah ini (Dikutip dari Seidman, 1972:327)
Diagram
proses pengaturan “gaya lama”
Badan
Perundang-undangan
Badan-badan
Pelaksana
Warga Negara
Diagram proses pengaturan pola
Seidman dan aspek-aspek yang berhubungan
Dalam pelaksanaannya,
suasana pentaatan terhadap hukum oleh warga Negara
|
Ketaatan
(+) Ketaatan (+) Ketidak-taatan (-)
(1)
++
|
(2)
+ -
|
(3)
- +
|
(4)
- -
|
Tingkah
laku yang tidak taat bisa berkaitan dengan motivasi untuk taat dan demikian
pula sebaliknya. Dalam hal ketidaktaatan bisa terjadi sekalipun seseorang itu
berkehendak untuk taat.
Persoalan
yang dihadapi adalah bagaimana kita dapat merumuskan kecenderungan budaya
Indonesia menjadi pola praktek hukum yang jelas dinegara kita. Perkembangan
hukum di Indonesia tidak hanya bisa dirumuskan sebagai usaha membuat kehidupan
hukum Indonesia menjadi modern, melainkan juga menyesuaikan cirri-ciri serta
persyaratan hukum modern dengan kecenderungan budaya Indonesia, sehingga hukum
tersebut benar dapat menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia
Sesungguhnya budaya hukum merupakan penerimaan atau
penolakan terhadap suatu peristiwa hukum yang menunjukkan setiap perilaku
manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam
masyarakat. Hukum tidak dapat dilihat hanya dari segi hukum positif saja,
tetapi harus dilihat dari berbagai segi sehingga tercipta koherensi antara
pembangunan hukum dengan perkembangan masyarakat.
Kita harus
mencontoh pada budaya Jepang yang berusaha menemukan karakter negara hukum yang
sesuai dengan tradisi dan masyarakatnya meskipun berlawanan dengan tren dunia.
Mulai dari Daniel S. Lev sampai Benedict R. Anderson gagal dalam
memberikan gambaran yang jelas tentang cara berhukum di Indonesia (Jadi
teringat Clifford Greetz yang
menyatakan bahwa anatomi budaya Indonesia adalah yang paling rumit di dunia dan
kengototan Van Vollenhoven untuk
menerapkan hukum adat dibandingkan hukum kolonial). Daniel S. Lev mengatakan Indonesia tidak memiliki budaya cara
berhukum modern yang individualistis. Sedangkan Anderson mengaku gagal dalam
memahami konsep kekuasaan orang Jawa (meskipun suku Jawa mayoritas, tetapi
adalah bagian dari entitas kecil peradaban Indonesia) dengan pisau analisa ilmu
politik barat.
Mochtar K , Konsep-konsep
Hukum dalam Pembangunan, menerangkan bahwa ketertiban merupakan tujuan
utama dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban adalah syarat
fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.[24] Lihat
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Penerbit Alumni, 2006), hlm. 3
Dalam masyarakat tiada hukum yang betul-betul steril dan murni
sebagaimana dikatakan Hans Kelsen. Yang ada justru bahwa hukum itu produk
politik sehingga demikian Satjipto
Rahardjo pernah menulis, “hukum itu selalu cacat setelah dilahirkan”.
Penutup
Dari
pemaparan diatas secara
garis besar Politik
Hukum berperan aktif dalam pembangunan Budaya Hukum masyarakat, sebagai upaya perwujudan
hukum Responsif maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pertautan peran Politik Hukum dan Budaya Hukum dikarenakan Budaya hukum masyarakat adalah sebagai bagian dari
sistem hukum. Budaya hukum masyarakat tercermin oleh perilaku pejabat
(eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat.
Budaya hukum masyarakat dipergunakan untuk menjelaskan sistem hukum. Struktur
hukum dan substansi hukum dengan sendirinya akan berinteraksi dengan budaya
hukum masyarakat. Budaya hukum masyarakat inilah yang akan memberikan warna dan
nuasa kepada struktur hukum dan substansi hukum.
Konsekuensinya
rakyat harus paham maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, untuk mencapai
satu kepahaman rakyat terhadap hukum tersebut, maka harus melalui kominikasi produk hukum yang
baik.
2.
Politik Hukum berperan aktif dalam pembangunan Budaya Hukum dimulai
sejak adanya pertautan antara Politik Hukum dan Budaya Hukum itu sendiri,
kemudian pertautan tersebut mengalir dan berkembang dengan sendirinya pada masyarakat
tradisional, menengah maupun modern sekarang ini.
3. Pembangunan
Budaya Hukum melalui peran aktif Politik Hukum adalah merupakan wujud konkrit atas
terpenuhinya syarat mutlak upaya perwujudan pembentukan hukum yang responsive,
yang tidak lagi mendasarkan pertimbangan juridis belaka,
melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam
rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan
substantif.
[1] Max Weber dalam buku “HAM, KEJAHATAN NEGARA DAN IMPERIALISME MODAL, Agung
dan Asep, Pustaka Pelajar, 2001, hal XXII.
[2] Jhon Grifiths, Is Law Important, 54.N.Y.U.L REV 339 (1976) dalam Robert B,
Seidman & Nalin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam
Perubahan Masyarakat yang Demokratis.
[3] Donald Black dalam bukunya Behavior of Law (1976). Black menegaskan hukum bukan sekadar perangkat aturan-aturan,
baik tertulis tak tertulis, namun harus dipahami sebagai perilaku.
[4] Lihat Kompas 29 Juli
2001.
[5] Dragan Molovanovic, A
Primer The Sociology of Law, New York , Harrow and Heston, 1994, hal 89-90.
[6] Soetandiyo
Wignjosoebroto, Hukum dalam Realitas
Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Kritik-Teoretik yang Mengarah
Mengenai Fungsinya, 2003, hal 13.
[7] Sistem sosial yang
dimaksud adalah : sistem sosial ekonomi, politik, pendidikan, sistem sosial
budaya termasuk adat istiadat dan karakter manusianya dimana hukum itu akan
dibuat.
[8]Satjipto Rahardjo, Beberapa
Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional,
Penerbit Sinar Baru Bandung, 1985, Hal. 71.
[9] Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum
sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan,
dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum
dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori
hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan
pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan
dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang
sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai
media penghubung antara dunia rasional (Sollen)
dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini
mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena
kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu
hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu
hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia
kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.
[10] Mahfud MD, Hubungan Kausalitas Antara Politik dan
Hukum di Indonesia, 1993, Artikel dalam Majalah Gelora Hukum Nomor IV
Tahun 1993 Fakultas Hukum UMS. Hal. 4.
[11] Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm. 71.
[12] Sri Soemanto, Perkembangan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan, dalam Moh. Mahfud MD, Pengaruh Konfigurasi
Politik Terhadap Penegakan Hukum, dalam Majalah Gelora Hukum Nomor IV Tahun
1993. FH UMS.
[13] Moh. Mafmud MD, Hubungan
Kausalitas Antara Hukum dan Politik di Indonesia. Artikel dalam Majalah Gelora
Hukum FH UMS Nomor IV Tahun 1993, hlm. 4-5.
[14] Dalam hal ini lebih lanjut Moh. Mahfud MD memberikan
contoh tentang pengaruh keadaan politik terhadap produk hukum, berupa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kedua undang-undang tersebut lahir pada era
Orde Baru tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam yang
melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. Undang-Undang Perkawinan
lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang
Peradilan Agama lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang
melakukan sikap saling akomodasi. Perbedaan kondisi politik melahirkan
implikasi yang berbeda, terutama dalam penentuan pilihan atas materi produk
hukum. RUU Perkawinan yang diajukan pada periode konflik politik, ternyata
menyulut protes dan demonstrasi karena materinya memuat banyak hal yang
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu, pemerintah yang tidak
mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut aqidah Islam harus
ditolak, sementara orang Islam sendiri yang sedang agak oposan dengan
pemerintah, mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengecilkan Islam. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa keadaan politik saling curiga dan konflik itu
telah melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesaling
curigaan. Fenomena tersebut berbeda dengan apa yang terjadi pada kasus Undang-Undang
Peradilan Agama. RUU yang lahir pada saat hubungan antara pemerintah dan umat
Islam secara holitis saling melakukan akomodasi ini ternyata mendapat dukungan
luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah bagi umat
Islam. Menurut Mahfud, 8 fenomena pembuatan kedua undang-undang itu merupakan
bukti betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya pembuatan
hukum dengan karakteristik yang tertentu pula.
[17] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards
Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 4.
[18]
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto
(ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Sinar Harapan, Jakarta, 1990,
hlm. 158.
[19] Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali,
Jakarta, hlm. 18.
[20] Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm.
116-118.
[21] Lloyd, Dennis, op.cit.,
hal. 326
[22]
Jerome Frank, "Mr. Justice Holmes and Non-Euclidian Legal Thinking," Cornell Lazu Quarterly 17 (1932) : 568, 586. Frase
ini juga digunakan oleh James William Hurst, yang berbicara mengenai pencarian
sebuah "tatanan hukum yang responsif dan bertanggung jawab," yang
"mampu memberi respon positif terhadap perubahan-perubahan dalam konteks
sosial." Lihat James William Hurst, "Problems of Legitimacy in the
Contemporary Lagal Order," OklahomaLazu
Review 24
(1971) : 224, 225, 229.
[23] Nonet. Philippe &
Selnick, Philip, op.cit., hal. l6
[24] Pandangan yang demikian itu sejalan dengan Lewis A. Coser yang
berpendapat, bahwa “konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental
dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok (Baca dalam Margaret
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Radjawali, 1992, halaman
108).
[25] Satjipto Rahardjo, Ibid., 1979, halaman 51.
[26] Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Edisi Bahasa
Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999, hal XVI – XVII.
[27]
Lihat, Unger, Law and Modern Society, (New York: Free Press, 1975) hlm
180.
[28]
Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi
itu sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan suatu tatanan.
[29] Gambar aslinya dapat dilihat dari buku Robert B. Seidman &
William J. Chambles, Law, Order, and
Power, hal 21.
[30] Lihat buku Satjipto Rahardjo, Hukum dan Mayarakat,
Angkasa, Bandung , 1980, hlm. 27.
[31] Robert B Seidman. Ibid, 1972.
Komentar
Posting Komentar