Teman Minum Kopi

(YTH): Teman Minum Kopi Yang Tak Kunjung Padam
   
        “ Tuhan Allah yang Rahmani dan Rahimi dalam cinta kasih-Nya yang ajaib itu, telah    mengkaruniakan bumi dan negara Indonesia ini sebagai tempat lahir dan besar saya, sebagai ruang hidup dan kerja saya. Ia telah menganugerahkan cinta kasih kepada bangsa dan negara Indonesia."
      “ Oleh karena itu, dalam segala ketaatan dan rendah hati, saya bersyukur kepada Yang Maha Besar dan berdoa kiranya diperkenankan menjadi hamba yang setia hal apapun yang dikehendaki-Nya bagi saya ”
      “ Seperti firman Tuhan yang ia kutip, Yap berharap diperkenankan menjadi suatu pelita yang ditaruhkan di atas kaki pelita, maka ia memberi terang kepada segala orang yang berada di dalam rumah. _ pelita yang tak kunjung padam_(Pledoi PN Jakarta Raya pada 16 September 1968)


Di tengah banyak media hanya memberitakan kebobrokan segala bidang, tidak hanya hukum di Indonesia. Hal itu secara tidak langsung telah meracuni, ya,..racun budaya mencela, menghujat, tanpa menonjolkan budaya introspeksi, memperbaiki bahkan meneladani. Tulisan singkat ini semata-mata disuguhkan sebagai teman minum kopi pagi. Kebetulan, teman minum kopi pagi ini yaitu Yap Thiam Hien (YTH) salah satu tokoh hukum yang pasti tidak awam bagi para pegiat alam hukum Indonesia.


Lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Ia dibesarkan di lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik itulah agaknya yang menempa pribadi Yap untuk membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan. Tetapi, menurut Daniel S. Lev, seorang pemerhati hukum yang sedang menulis biografi Yap, komitmen Yap terhadap hukum, keadilan dan hak asasi manusia banyak ditempa suasana pendidikan hukum di Negeri Belanda.

Ia mendapatkan gelar Mesteer in de Rechten dari Universitas Leiden pada 1947 dan doktor kehormatan dari Vrije University, Amsterdam. Setahun setelah bergelar Mr, Yap kembali ke tanah air, lantas menjalankan profesi sebagai advokat. Saat itu  di Salemba, 14 Maret 1963. Ruang kafetaria kampus Universitas Indonesia. Sebanyak 14 tokoh dari beberapa daerah bertemu. Para tokoh advokat itu saling bertukar pikiran di sela-sela Seminar Hukum Nasional I. Meski berlangsung rileks di kafetaria, ajang pertemuan itu justeru berhasil mengusung sebuah ide besar pendirian Persatuan Advokat Indonesia (PAI), yang kemudian menjadi Peradin.

Dalam perjalanan hidupnya ia memberi bantuan hukum tidak selalu kepada orang yang sepaham atau seideologi. Itu pula yang ditunjukkan Yap saat membela Dr Subandrio dan sejumlah tokoh PKI yang dituding melakukan tindak pidana subversi. Pembelaan Yap yang serius dan teliti terhadap Subandrio kala itu membuat hakim-hakim Mahmilub jengkel. Apalagi selama ini Yap dikenal sebagai advokat yang anti-komunis. Ia malah bersedia membela Siauw Gok Tjan yang mendepaknya dari Baperki.

Setelah tragedi Tanjungpriok 1984 terjadi, Yap juga tampil ke depan membela para tersangka. Demikian pula ketika Pemerintah menangkapi mahasiswa yang diduga terlibat peristiwa Malari pada 1974.

Lantaran kegigihannya menyerang dan menentang korupsi di lembaga pemerintah, Yap harus mendekam di balik jeruji penjara selama seminggu pada 1968. Saat peristiwa Malari terjadi, advokat berperawakan kecil ini juga ditahan tanpa proses peradilan karena pembelaannya dinilai telah menghasut mahasiswa melakukan demo besar-besaran.

Salah satu kasus bersejarah yang menyebabkan Yap dihukum penjara adalah tuduhan pencemaran nama baik. Lantaran membela secara lurus kliennya Tjan Hong Lian di pengadilan, Yap dituduh mencemarkan nama baik seorang jaksa tinggi Jakarta bernama BRM Simanjuntak dan Irjen Polisi Drs Mardjaman. Berdasarkan dakwaan jaksa, Yap diseret ke pengadilan karena menuduh kedua pejabat negara tadi melakukan pemerasan terhadap kliennya. Pada 14 Oktober 1968, PN Jakarta Raya akhirnya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada Yap.

Seperti ditulis Majalah Tempo akhir-akhir ini, ia (YTH) diibaratkan hidup bagai pelakon kisah Alegori Gua karya Plato, 25 abad silam. John, panggilan akrab pegiat hak asasi manusia ini, adalah sang protagonis yang berhasil melepaskan diri dari ikatan yang membelenggu di dalam gua sejak lahir. Lalu ia pergi keluar, terpesona melihat kenyataan alam bebas, dan merasakan arti sebenarnya sebagai manusia merdeka, untuk pertama kali.



“  Apa yang hendak Saudara capai di pengadilan? Hendak menang perkara atau hendak meletakkan kebenaran saudara di ruang pengadilan dan masyarakat? Jika saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara Anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi (jika) saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, maka saya mau menjadi pembela saudara ” _(YTH)

Berbicara kinerja hukum memang sangat membosankan bagi banyak orang, seperti diunjukkan Soetandyo Wignjosoebroto, (Guru besar Emeritus Universitas Airlangga), dalam tulisannya “ HUKUM YANG TAK KUNJUNG TEGAK: APA YANG SALAH DENGAN KERJA PENEGAKAN HUKUM DI NEGERI INI?” dikatakan , sungguh keliru apabila upaya mengefektifkan bekerjanya hukum – atau dikenal “menegakkan hukum” hanya berkonsentrasi pada kerja memperbaiki atau mengamandemen hukum perundang-undangannya saja tanpa membenahi struktur organisasi yang ada pada sistem hukum nasional.  Demikian juga permasalahannya, apabila dalam kerja-kerja penegakan hukum orang hanya berkonsentrasi pada intensi kekuatan structural dan mengabaikan interpretasi kultural para insan pencari keadilan, vise versa.

Jauh melangkah tanpa menguliti integritas, progresifitas dan martabat, sekali lagi tanpa maksud apapun dan sekedar teman minum kopi pagi, mengingat kembali sosok ini. Saya yakin banyak  pembaca lebih mengenal sosok  Yap Thiam Hien (YTH). Kalau begawan hukum progressif mengatakan Biarkan Hukum Mengalir ”, perkenankan  tulisan singkat ini biarkan sedikit mengalirkan  budaya meneladani sekecil dan apapun kebaikan itu,  tentunya tidak hanya hukum .
Salam, selamat beraktifitas hari ini_”As Sirajam Muniram” (mnf)


Sumber:
- Lawrence Friedman , The Legal System: A Social Science Perspective, 1975
- Robert B. Seidman (The State, Law and Development , 1974)
-No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien,  Indonesian Human Rights Lawyer, karya mendiang Daniel S Lev.
- All sumber

Komentar

Postingan Populer