Refleksi Bola
Refleksi
Bola: Belajar Berpuasa, Reformasi atau Stagnasi
“ Apabila stabilitas politik dan
perhatian terhadap kultur masyarakat dapat dijaga, maka hukum senantiasa dapat
ditegakkan secara pasti sesuai dengan prosedurnya, tetapi apabila sebaliknya
maka tidak mungkin hal tersebut dapat dicapai dengan baik ”
Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan dualisme federasi di sepakbola Indonesia antara Persatuan Sepakbola Seluruh
Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) membuat
kekuatan Tim Nasional Indonesia terpecah. PSSI di bawah pimpinan Djohar Arifin
Husin telah membentuk Tim Nasional Indonesia yang dilatih oleh Nil Maizar,
sementara itu KPSI di bawah pimpinan La Nyalla Mahmud Mattaliti juga membentuk
Tim Nasional Indonesia yang dilatih oleh Alferd Riedl. Kedua Tim Nasional
Indonesia tersebut, sama-sama dipersiapkan untuk mengikuti putaran final Piala
AFF 2012 yang rencananya akan dilangsungkan di Malaysia dan Thailand pada
November-Desember 2012.
PSSI pimpinan Djohar Arifin dan PSSI yang
dikendalikan La Nyalla Matalitti, sama-sama membentuk timnas Indonesia gabungan
dari Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesia Super League (ISL). Mereka
sama-sama membentuk timnas yang lebih tangguh guna membangkitkan kualitas tim
nasional di event internasional. Hal itu sangat membingungkan bagi pencinta
sepakbola Indonesia, pemain, ataupun klub.
Lex
Specialis Derogat Lege Generalis, Lex Superior Derogat Lege Inferior, Lex Posterior Derogat Lege Priori
Membingungkan, capek, dan mengerikan. Hanya di negeri inilah ditemukan dimana
aturan-aturan bahkan azas-azas hukum begitu ajaib
penerapan dan implikasinya dimasyarakat. Saat ditanya kok bisa? Siapa yang
membuatnya? Apakah memenuhi syarat formil dan materiil aturan yang ada? Apakah
sudah menyertakan ahli hukum di dalamnya? Apakah sudah ada persiapan? Apakah
sudah ada perencanaan? Kesalahnya dimana dan harus seperti apa sebaiknya? Apakah
telah dilakukan harmonisasi? Lantas apakah sosialisasi hukum dilakukan sewajarnya
produk hukum lainnya?
Begitu banyak pertanyaan tidak terjawab,
belum lagi mana yang harus diterapkan Lex
Specialis Derogat Lege Generalis? Lex Superior Derogat Lege Inferior ? Lex
Posterior Derogat Lege Priori? Dalam hal ini penulis sengaja tidak mencoba untuk
masuk menyelami aturan terkait tapi hanya mencoba bangkitkan pengkoreksian dan pemahaman
arogansi yang menimbulkan kecapekan dan kebingungan atas itu semua.
Hubungan timbal-balik Hukum, Politik, Ekonomi
Sungguh tidak etis, masyarakat dipertontonkan
percampuran kebijakan hukum, politik dan ekonomi berselubung bola. Penggiringan
opini dimulai dari perpecahan liga kompetisi, perpecahan klub, perbandingan
program, perbandingan pemain timnas, perbandingan pelatih timnas, bahkan
perbandingan janjian pencapaian prestasi keduanya. Initi dari ini semua adalah perbandingan
keabsahan legalitas keduanya.
Hukum diperlihatkan begitu loyo dihadapkan dengan politik para
orang yang terkait di dalamnya, baik secara structural PSSI, Para Pimpinan
Klub, Pemain bola bahkan orang-orang awam yang berada diluar integritas secara
tidak langsung tertarik untuk mencoba bahkan telah lama menjadi “dalang” atas
“wayang”(bola Indonesia) dengan judul cerita yang ia kehendaki.
Sekali lagi, hukum begitu loyo saat berinteraksi dengan
kepentingan ekonomi. Terbukti begitu kuatnya dasar dijatuhkannya sanksi denda
atas kontrak pemain dari klub dibandingan dasar hukum untuk para pemain membela
Tim Nasional yang nota benenya adalah membela negara, meskipun terkait pemain yang
beda kompetisi membela PSSI yang berbeda pula.
Lantas bagaimana? Menurut
Prof, Zainuddin Ali, M.A, Hukum
adalah pelembagaan aturan. Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap
individu perlu di kontrol oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan
oleh yang berkuasa, melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran.
Adapun Politik adalah permainan kekuasaan. Dalam Masyarakat yang tidak berhukum
(hukum rimba), melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya
terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok. Menurut
Prof. Subekti, Politik juga bisa di
artikan segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan
dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.
Magnis Suseno
mengatakan bahwa sifat manusia sebagai makhluk sosial berdimensi politik,
dengan kata lain manusia adalah makhluk yang mengenal kepentingan bersama.
Dalam kerangka demikian, maka hukum merupakan lembaga penata kehidupan bersama
yang normatif, sedangkan negara dipandang sebagai lembaga penata kehidupan yang
efektif. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga politik
harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap manusia yang ada di dalam
negara supaya tidak terjadi kekacauan dan pertentangan satu dengan yang
lainnya. Apabila negara tidak mampu secara dinamis melakukan hal tersebut maka
tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan dan pertikaian yang sulit
untuk diatasi. Oleh karena itu ketentuan hukum yang ditetapkan harus bernuansa
memperjuangkan rakyat dan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi atau
perbedaan.
Kepastian
hukum harus mempunyai bobot yang formal dan materil. Kinerja yang formal
dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama
terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum. Rawls memberi nilai yang tinggi kepada kinerja formal dari hukum,
sehingga hukum dapat memberi jaminan bagi keadilan yang substansial. Namun saat
ini terlihat bahwa hukum memberikan desain institusional bagi tindakan otoritas
politik negara. Pembentukan dan realitas kerja hukum sangat dipengaruhi oleh
sifat serta karakter negara, dan terikat erat pada hubungan-hubungan kekuasaan
politik serta proses perubahan tatanan sosial.
Kearifan
politis dengan pendekatan cultural merupakan tuntutan konstitusional seluruh
rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan
heterogen, beragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur
kulturalnya. Apabila stabilitas politik dan perhatian terhadap kultur
masyarakat dapat dijaga, maka hukum senantiasa dapat ditegakkan secara pasti
sesuai dengan prosedurnya, tetapi apabila sebaliknya maka tidak mungkin hal
tersebut dapat dicapai dengan baik.
Satjipto Raharjo,
menyatakan bahwa apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam
menghadapi kenyataan dalam masyarakat, dikenal dengan nama disiplin presriptif.
Ruang lingkup disiplin presriptif adalah: Pertama, ilmu hukum. Ilmu hukum di
sini yang dilihat adalah: (1) ilmu tentang kaidah yang menelaah hukum sebagai
kaedah atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatic dan sistematik hukum; (2) ilmu
pengertian, tentang pengertian-pengertian dari dasar dari system hukum menakup
subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek
hukum; (3) ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap,
tindak dan perilaku yang terdiri dari sosiologi hukum (hubungan timbal balik
antara hukum dan gejolak sosial), antropologi hukum (pola-pola sengketa da
penyelesaiannya), psikologi hukm (hukum sebagai suatu perwujudan daripada jiwa
manusia), perbandingan hukum (membadingkan system hukum antar beberapa
masyarakat, dan sejarah hukum (perkembangan dan asal usul daripada sistem
hukum). Kedua, politik hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan
menerapkan nilai-nilai yang dipilih itu. Ketiga, filsafat hukum yang mencakup
perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, dan keserasian nilai-nilai yang
berpasangan dan kadangkala bersitegang atau berbenturan.
Saat
ketersinggungan itu terbawa masuk dalam praktek pengadilan, pencarian Kebenaran Kualitatif
dan Keadilan Substantif mutlak diharapkan.
Menurut Ketua
MK Moh. Mahfud MD,” Hakim dan Penegak hukum dapat
menerapkan itu semua hanya jika mereka berani dan mampu melepaskan diri dari
bunyi aturan atau pasal formal yang ada, mereka harus berani bertanya ke hati
nurani mereka sendiri mengingat hal itulah yang menjadi sumber dari keadilan
hukum”.
Masihkah layak asa Berharap?
Masyarakat sebagai Addresat hukum sekaligus suporter tunggal tim
nasional berharap, konflik dualisme federasi yang terjadi di sepakbola Indonesia
dapat segera berakhir. Konon dalam waktu dekat PSSI dan KPSI yang tergabung
di Tim Joint Committee akan bertemu di Malaysia untuk menindaklanjuti
dan membahas isi MOU yang telah disepakati sebelumnya, semoga terjadi
kesepakatan dan konflik segera berakhir.
Sudah saatnya semua pihak
belajar berpuasa, tidak terjebak pilihan-pilhan fana, menahan semua kepentingan yang justru menjauhkan dari nilai
yang diharapkan. Menahan semua hasil yang harus diterima
untuk reformasi yang sesungguhnya. Reformasi yang bukan hanya elemen personal (struktural
kubu) saja melainkan semangat (spirit) reformasi yang berbajukan sportifitas
bola sesungguhnya.
Harus Tanggung Jawab,
Dalam kondisi kejenuhan yang
berujung anti nasionalisme pasti sungguh menyedihkan, tak dipungkiri hal itu
sedang dan telah terjadi. Takut akan sanksi semata tetapi tidak diimbangi dengan perbaikan semangat tiap pihak itulah ketakutan yang sesungguhnya. Budaya takut minta maaf, takut akan semua begitu me-label. Apakah kita bangsa Penakut? bukankah kita sudah merdeka? Seandainya sanksi atau hukuman FIFA harus dijatuhkan,
rakyat pasti akan menerima bila itulah yang terbaik. Meski harus diperdebatkan
lebih lanjut, sudah saatnya semua pihak harus berani menerima “sanksi” sebagai “obat
efek jera”, harus bertanggung jawab. Saatnya diakhiri, pihak terkait termasuk Adressat hukum sekaligus
masyarakat supaya belajar atas “euphoria” ini semua, belajar merefleksikan arti sanksi hukum serta
merefleksikan arti “reformasi” dalam “stagnasi”
yang berintikan kearifan serta sportifitas dalam dunia bola.
Sumber:
Zainuddin Ali,
Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu.
Roscoe Pound,
Interpretation Of Legal History. (USA : Hlmes Heaxh, Florida, 1986).
Satjipto Rahardjo,
Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1983).
Frans Magnis Suseno,
Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1987),
Satjipto Rahardjo,
Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukum
Nasional, (Bandung: Sinar baru, 1985),
Mulyana W. Kusumah,
Beberapa Perkembangan Pemikiran dan Masalah Dalam Sosiologi Hukum, (Bandung:
Alumni, 1981),
Soerjono Soekanto,
Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).
Majalah Konstitusi No
43 Tahun 2010
Komentar
Posting Komentar