Premanisme: Kritik Moral dan Refleksi Kepribadian


Premanisme: Kritik Moral dan Refleksi Kepribadian

Salah satu persoalan akut yang kini mendera di negeri ini adalah masalah premanisme. Preman sendiri berasal dari bahasa Inggris "freeman" yang artinya orang merdeka, orang bebas, tak terikat dengan beban tanggung jawab dari institusi tertentu dalam mencari nafkah. Dalam perkembangannya, istilah tersebut menuai konotasi negatif ketika para orang bebas itu menyalahgunakan kebebasan yang dimiliki untuk melanggar hukum guna memenuhi kebutuhan materinya.

Prof Ronny Nitibaskara juga menambahkan, tatkala tindakan melawan hukum itu menjadi semakin terpola dan berkelanjutan, maka lama kelamaan menjadi "isme". Menjadi sejenis faham dalam melakukan kejahatan, sehingga siapapun yang melakukan tindakan tersebut dimasukkan ke dalam kategori sebagai preman. Pada kondisi inilah aksi para preman berubah menjadi premanisme (Nitibaskara:2006). Beliau juga menambahkan bahwa, Terdapat dua jenis preman yaitu preman terdidik dan preman tidak terdidik. Preman tidak terdidik, biasanya berasal dari kelas sosial bawah, cenderung menggunakan otot daripada akal. Sedangkan preman yang terdidik, condong menggunakan otak daripada otot. 

Lain halnya Prof. Koentjoro, Ph.D premanisme adalah segala tindakan melawan aturan, vandalisme, tindakan brutal, dan merupakan perilaku yang tidak cerdas yang kebanyakan dengan menggunakan kekuatan (uang, pengaruh, massa, dll.) untuk mendapatkan tujuan tertentu dengan mengabaikan konsensus bersama.
Boleh dikatakan preman sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut di negara pengaku “Rechtstaat”(negara hukum) ini. Apakah premanisme dalam hukum terlihat sebagai sisi lain hukum? Apakah hanya digantungkan pada ketegasan aparat penegak hukum? Apakah Hukum adalah cerminan dari aparatnya sendiri ? Apakah ‘birokrasi bobrokisasi’ juga akibat dari kecacatan aparat ?
Premanisme, pelanggaran hukum nyata;
Bentuk dari pelanggaran hukum tidak semuanya berupa pertentangan yang nyata, akan tetapi dapat juga seperti lobi hukum, penyuapan, pemanipulasian, dan mencari celah yang ambigu dalam hukum untuk tindakan pelanggaran. Bila manusia ingin mempelajari hukum, maka urgensi yang utama berupa mencari celah agar dapat melancarkan aksi penyimpangan, bahkan kejahatan. Ini semua menandakan bahwa hukum diciptakan dengan banyak kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
Premanisme, wujud kegagalan konstitusi;
Dunia hitam hukum muncul karena kegagalan konstitusi. Pada awalnya, kita sudah memberi “label” buruk pada aparat hukum. Menurut teori labelling, pemberian julukan dunia hukum sama dengan dunia hitam adalah penyebabnya. Aparat yang jujur dalam konstitusi akan terpengaruh untuk melakukan penyimpangan, akibat dari pemberian julukan. Sampai kapan pun, bila julukan sudah melekat, maka nilai buruk juga akan terus mengalir dalam darah konstitusi.
Tak hanya konstitusi, penegak hukum yang berhasil membelokkan bekerjanya sistem hukum konstitusi itu, boleh jadi, di satu sisi menganggap apa yang diperbuatnya memang paradoks secara kultural dengan norma hukum, akan tetapi di sisi lain menganggap bahwa yang diperbuatnya merupakan cermin strukturisasi premanisme yang sudah merasuk dan menghegemoni setiap nafas negara ini, khususnya di lingkaran yang lebih kuat darinya.

Realitas paradoksal itu dapat terbaca lewat maraknya idiom seperti “hukum hanya tegak ke bawah, lemas ke atas”, atau “hukum tak kompromi ke bawah, ke atas serba mudah dinegosiasi”. Idiom ini menjadi kritik keras terhadap jagat peradilan yang masih kental mengeliminasi keadilan dan memenangkan kejahatan. Dan kejahatan premanisme unjuk kekuatan dan pembuktian bahwa dirinya lebih hebat dibandingkan aparat negara.

Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat. 

Premanisme, sumum ius suma iuria?

Memang, adil tidaknya sesuatu  akan tergantung dari pihak yang merasakannya (sumum ius suma iuria). Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Adil di mata aparat penegak hukum, belum tentu adil seperti dirasakan rakyat. Hakim berhak meyakini dan merasionalisasi bahwa putusan yang dijatuhkan sudah tepat dan adil, namun adil versi ini tidak selalu dirasakan oleh rakyat sebagai keadilan yang memanusiawikan. 

Socrates, memang tidak membenarkan cara memperjuangkan atau merebut keadilan dengan kejahatan, melanggar, dan menyelingkuhi hukum, atau “main pintu belakang” seperti suap-menyuap. Tetapi idealisme Socrates ini dipatahkan oleh para oportunis yang bermental premanisme. 

Miris, bahkan marak premanisme yang sering mengatasnamakan (agama, suku, ras ataupun golongan) dari generasi ke generasi tumbuh meningkat dibandingkan pertumbuhan kaum yang berprestasi itu sendiri. Kalau dibiarkan sampai kapan dan kemana ia kan berhenti mengalir? Bukankah “Biarkan Hukum Mengalir”. Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”.

Benar, progresif itu berintikan peranan perilaku manusia dalam berhukum. Apakah harus dipaksakan? Untuk apa dan kenapa dipaksakan? Apakah ini budaya menuntut tanpa menjawab?

Di tiap buruk hati insan manusialah dimulainya semua ini. Maka jujur akan kritik moral dan refleksi kepribadian menuju profetik harus menjadi vitamin kita bersama, agar tidak terjadi aksi-aksi premanisme sehingga peradilan tidak sama dengan peradilan pasaran.

“Telah kucoba pahami dunia
  Telah ku tuturkan peluhku oh dunia
  Tapi dunia tak senyap berbisik “
                “Semua ini bukan inginku, bukan harapku
                  Ku mohon sejenak urai semua
                  Ku mohon pahami beban ini”
“Maafkanlah Aku Oh dunia
  Yang  telah ukir jejak yang goyah _(Maafkan Dunia,Lirik:Putra AT)

(Dari berbagai sumber: terinspirasi dari kerinduan akan Bunda, Aisyah, dkk disana_”Assalamualaikum”_*)


Komentar

Postingan Populer