Goyangan twitter Wamenkumham
Goyangan twitter Wamenkumham
Menilik goyangan twitter
Wamenkumham: Sangat wajar kerinduan munculnya Al Pacino (ala Indonesia) bak
dalam film “And Justice for All” (Sosok yang bisa memosisikan diri, kapan harus
mengatakan seorang koruptor adalah koruptor, walau sedang ia bela sekalipun).
Ekspekstasi itu tak selayaknya diwujudkan dengan sikap miris jauh dari pemahaman presumption of guilt.
Ekspekstasi itu tak selayaknya diwujudkan dengan sikap miris jauh dari pemahaman presumption of guilt.
Bukankah Inti praduga tidak bersalah
bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir? Bukankah
semata bersifat deskriptif faktual, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka
akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, harus dilakukan proses hukum
mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan.
Tidak boleh berhenti di tengah jalan? Sangat beda saat postulat dasar hukum
berkata res judicata pro veritate habetur (putusan hakim itu dianggap benar dan
harus dihormati). Terlepas pengkajian runtut aturan serta pemahaman
komprehensif akan etika dan profesi hukum, semangat para penegak hukum,
pemerintah serta masyarakat sebagai addresat hukum haruslah menyatu akan
hidupnya nilai serta azas-azas hukum dasar yang ada.
Saling berintrospeksi, jika tidak maka goyangan itu tak ubahnya indikasi power tend to corrupt and absolut power corrupts absolutely. Indikasi penyesatan pemahaman tersebut tak ubahnya indikasi abuse of power meski perdebatan perbedaan status jabatan goyangannya. Off side hukum progresif mengerikan jauh dari pemahamannya meski seorang pakar sekalipun.
Mengkaitkan pendapat dari Alm. Prof.
Satjipto Rahardjo, S.H; Perspektif Hukum Progresif tidak bersifat rule bound, Hukum bukanlah institusi
yang absolute dan final, hukum selalu dalam proses menjadi (law as process, law
in the making). Progresif tak semata terjebak dalam absolutisme manusia, dalam
arti peniadaan rambu-rambu atau aturan hukum, konsep Progresif haruslah berakar
pada sikap “Menghargai Hukum dan Menempatkan Hukum Sebagai Pijakan”, meskipun
“Tidak Absolut.”
Ekspektasi besar untuk selalu berimprovisasi dan berpikiran progresif haruslah arif dan bijak dan konstruktif bukan dengan prilaku yang konservatif cenderung “galau”. Dasar pesan moral yang baik dengan Stigmatisasi negatif jauh dari cara konstruktif haruslah dikaji ulang. Bukankah hanya dengan bersikap “benar” kita pula temukan “ketidakbenaran”. Marilah kita ambil hikmah semua sudut pandang untuk pembangunan hukum yang bermatabat._*
Komentar
Posting Komentar