Diskresi, Terjebak “Offside”
Kondisi lingkungan
peradilan di Indonesia tidak dipungkiri masih sarat dengan permasalahan. Lambatnya
proses penyelesaian perkara, manipulasi selama proses peradilan serta biaya
berperkara yang relatif mahal, banyak pihak menghendaki agar penyelesaian
perkara dilakukan secara cepat tanpa melibatkan lembaga peradilan (out of court).
Penyelesaian secara out of court yang diwujudkan dengan cara
tidak dilanjutkannya proses penyidikan ke tahap penuntutan, masih jarang
dilakukan, sekalipun undang-undang telah memberikan peluang dipergunakannya
kewenangan ini oleh para penegak hukum terutama kepolisian.
Kepolisian
dibenarkan untuk melakukan diskresi,
berdasar kehendak memperoleh penyelesaian perkara (pidana) secara sederhana, cepat,
mengurangi terjadinya penumpukan perkara, tidak terkecuali memberikan rasa adil
bagi para pencari keadilan.
Akhir-akhir ini
masyarakat dihebohkan dengan kasus
pembantaran John Kei yang menarik perhatian dorong-mendorongnya Equality Before The Law, Legalitas
dengan diskresi itu sendiri. Pembantaran ini sangat rentan
disalahgunakan oleh penegak hukum. Selayaknya dalam menyelesaikan masalah
haruslah baik, yaitu dengan tidak menindak kejahatan dengan tindakan kejahatan
prosedural.
Terkait
pembantaran, setelah pembantaran (stuiting) selesai, tenggang waktu penahanan
berjalan kembali dan dihitung sesuai ketentuan KUHAP lamanya
waktu terdakwa berada dalam perawatan-nginap di rumah sakit di luar Rumah
Tahanan Negara yang tenggang waktu penahannya dibantar (gestuit), tidak boleh
dimasukkan atau ikut dihitung hal ini telah diatur dalam SEMA No 1 TAHUN 1989, Pembantaran (STUITING). Secara teknis perawatan tahanan diatur juga dalam PERMEN KEHAKIMAN NO: M.04-UM.01.06 TAHUN 1983 Tata
Cara Penempatan, Perawatan Tahanan Dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara.
Diskresi kepolisian tumbuh
dan berkembang dalam penegakan hukum pidana, sejatinya dipengaruhi banyak
faktor. Dari berat ringannya kejahatan, penyebab
terjadinya, jumlah kerugian yang diderita korban, atau kehendak dari
korban sendiri atas tuntutan yang telah dipenuhi oleh pelaku misalnya dalam
pencemaran nama baik.
Menurut Roescoe Pound, sebagaimana dikutip
oleh R. Abdussalam, (1997, 25-26) mengartikan
diskresi kepolisian yaitu: an authority conferred by law to act in certain
condition or situation; in accordance with official’s or an official agency’s
own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to
the twilight zone between law and morals. (diskresi kepolisian
adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak
pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan
nuraninya sendiri) Jadi, diskresi merupakan kewenangan
polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam
menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya.
Dalam pelaksanaannya, James
Q Wilson mengemukakan ada 4 (empat) tipe situasi tindakan diskresi yang
mungkin dilaksanakan, yaitu:
- Police-invoked law enforcement, dimana petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;
- Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;
- Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan
- Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.
Sekalipun aparat kepolisian memiliki
kewenangan bertindak atas dasar penilaiannya sendiri, hal ini tidak boleh
ditafsirkan secara sempit. Oleh karena itu, Lahirnya diskresi tidak dapat
dipisahkan dari adanya suatu wewenang kepolisian secara umum serta adanya hukum
yang mengatur untuk bertindak, sehingga diskresi harus dilakukan dalam kerangka
adanya wewenang yang diberikan oleh hukum.
Penerapan diskresi kepolisian harus
tegas mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, diskresi pun
dapat diberlakukan dengan mendasarkan pada hukum adat/kebiasaan setempat secara
bijak. Penegak Hukum harus menghukum pihak yang bersalah walau
pada sisi yang lain juga harus “tega” membebaskan orang yang tidak bersalah.
*)Dari berbagai Sumber _Nirwan_
Komentar
Posting Komentar